NEWS

10 Mitos Penting Seputar COVID-19 yang Sering Terabaikan

Banyak mitos seputar COVID-19 yang sering terabaikan (foto: article19)

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Pandemi COVID-19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Sejumlah negara, termasuk Indonesia, bahkan masih mencatat penambahan kasus baru.

Sejak virus corona mulai merebak ke seluruh dunia, informasi seputar mitos virus yang telah menginfeksi 29 juta orang lebih, sangatlah berlimpah. 

Jadi, mudah bagi kebanyakan orang untuk terjebak pada satu informasi yang sesungguhnya hanya mitos belaka. Mengenali mitos ini penting terutama bagi para perencana event atau penyelenggara acara yang melibatkan banyak orang.

Berikut ini 10 kesalahaphaman seputar COVID-19 yang paling sering ditemukan seperti dilansir Skift:

1.Pilih salah satu: mengenakan masker atau jaga jarak sosial

Banyak orang salah pengertian, menganggap jika sudah memakai masker maka tak perlu lagi menjaga jarak sosial. Itu tidak benar, karena tidak ada cara yang 100 persen efektif untuk mencegah penularan virus Corona.

Jadi, solusi yang tersedia sifatnya parsial. Itupun tidak dapat sepenuhnya menghilangkan risiko, hanya membantu mengurangi penularan. Oleh sebab itu, kita tetap perlu mengenakan masker dan jaga jarak sosial.

Bagi penyelenggara event yang hendak membuat hajatan di dalam ruangan maka perlu menetapkan aturan tegas yang mewajibkan peserta untuk mengenakan masker sambil tetap menjaga jarak setidaknya 6 kaki.  

2.Mengenakan masker membahayakan pernafasan

Menurut banyak pengkritik, pemakaian masker dapat menyebabkan Hipoksia [kekurangan oksigen dalam sel dan jaringan tubuh sehingga yang dapat mengganggu fungsi otak, hati, dan organ lainnya] dan hiperkapnia [kondisi di mana kadar oksigen dalam darah tinggi atau terlalu banyak]. Faktanya, itu tidak benar.

Bagi mereka yang masih belum yakin, lihatlah video yang diunggah beberapa tenaga medis profesional yang mengenakan masker selama bertugas. Dalam video itu ditunjukkan bahwa kadar oksigen mereka tetap konisten saat mereka bekerja dengan masker. Jadi, tidak ada alasan medis yang membenarkan seseorang yang menolak memakai masker.

3.Masker adalah tempat berkembang biaknya virus

Meski ada kemungkinan sejumlah mikroba berpotensi berkembang biak pada masker yang dipakai berulang kali tanpa dicuci, fenomena ini tidak berlaku pada kasus SARS-CoV-2. Sebab, corona adalah virus yang tidak mungkin bereplikasi tanpa terlebih dahulu membajak sel inang yang hidup.

Jadi, jika Anda adalah penyelenggara acara maka cukup menyediakan satu masker sekali pakai per hari untuk dibagikan ke peserta. Cara ini sudah efektik untuk menjaga kebersihan.

4.Orang diizinkan untuk memilih aturan keamanan yang cocok bagi dirinya

Ini mitos yang salah. Menurut Steven Adelman, pengacara sekaligus VP dari Event Safety Alliance, aturan jaga jarak sosial harus konsisten ditegakkan demi meminimalkan risiko penularan.

Menurutnya setiap kasus Covid-19 baru akan berpeluang memberi kontribusi yang lebih besar bagi penyebaran virus sehingga menciptakan lingkungan yang kurang aman bagi semua orang.

5.Kebersihan cukup untuk mencegah transmisi

Satu-satunya faktor yang membuat infeksi saluran pernafasan sulit dikendalikan adalah penyebarannya lewat udara yang terkontaminasi. Jadi, membersihkan permukaan benda tidak terlalu efekti untuk mencegah penularannya. 

Akhir Mei lalu, CDC merilisi pedoman baru yang menyatakan penularan virus corona dari orang ke orang jauh lebih besar ketimbang tertular karena menyentuh permukaan yang terkontaminasi. Membersihkan segala permukaan dapat mengurangi risiko penyebaran, tetapi itu bukanlah solusi.

6.Pemeriksaan termal dapat membantu mengidentifikasi kasus Covid-19

Pengecekan suhu tubuh dengan termal dapat membantu mengurani transmisi COVID-19, tetapi cara ini tidak efektif untuk mengidentifikasi adanya kasus.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, ada orang yang tanpa gejala, artinya tidak demam, tetapi ia membawa virus corona. Orang-orang seperti ini tidak dapat terdeteksi oleh alat ini.

7.Terpapar berarti: semua atau tidak sama sekali

Banyak argumen menentang upaya pengendalian COVID-19 yang bertumpu pada gagasan bahwa perlindugan parsial tidak berguna. Menurut pendukungnya, tidak ada gunanya memberlakukan aturan jarak sosial atau kewajiban mengenakan masker jika ternyata ditemukan virus corona tetap dapat menulari manusia meski sudah berjarak 6 kaki.

Logika ini gagal karena tidak memperhitungkan fakta bahwa dosis infeksi – jumlah virus yang terpapar pada seseorang – dapat menulari dan memperparah kondisi orang yang telah memiliki penyakit bawaan.  

8.Hanya orang lanjut usia atau mereka yang memiliki kelainan sistem kekebalan tubuh yang perlu khawatir

Studi menunjukkan orang tua yang terkena COVID-19 lebih rentan untuk meninggal ketimbang anak muda. Tetapi kesenjangan itu tidak terlalu besar saat melihat jumlah kasus yang dirawat inap.

Menurut statistik dari CDC, kelompok usia 65 hingga 74 tahun memiliki  90 kali lebih mungkin meninggal karena virus corona daripada orang dewasa muda, tetapi dalam kasus rawat inap angkanya hanya 5 kali lebih mungkin dibanding orang muda.

Ada juga persepsi yang menyatakan bahwa semua kasus parah di kalangan anak muda terkait dengan kondisi kesehatan bawaannya. Terbukti bahwa hipertensi dan obesitas dapat memperparah kondisi sang pasien. Jarang ada kasus anak muda yang tidak memiliki penyakit bawaan akan meninggal dunia karena Covid-19.

Sejumlah peneliti berpendapat anak muda yang sehat dapat menjadi pendorong utama penularan virus corona. Oleh sebab itu, mereka harus diprioritaskan untuk divaksin, jika vaksin sudah tersedia.

9.Covid-19 Adalah Virus Musiman

Lonjakan kasus baru di AS yang terjadi selama musim panas mematahkan mitos bahwa cuaca panas akan mengakhiri pandemi COVID-19. Meski demikian, masih banyak orang yang keukeuh percaya adanya relevansi antara virus corona dengan iklim. Lalu, apakah musim dingin berarti akan terjadi gelombang kasus baru yang lebih besar?

Medical News Today baru-baru ini merilis penelitian yang menunjukkan bahwa kelembaban mungkin merupakan faktor lingkungan paling konkret. Jika suatu daerah memiliki kelembaban 40 sampai 60% maka tingkat penularan lebih rendah dan gejala orang tertular pun lebih ringan.

10.Orang Tanpa Gejala Tidak Dapat Menulari COVID-19

Masih belum jelas betul seberapa besar sebenarnya peran orang tanpa gejala (OTG) dalam  menyebarkan COVID-19. Tetapi sejumlah bukti menunjukkan penularan dari orang-orang yang tanpa gejala itu sangat nyata. Sebuah riset baru-baru ini menunjukkan 44% kasus baru tertular oleh mereka yang tanpa gejala. 

Sementara studi yang didasarkan pada penelusuran kontak menemukan bahwa penularan dari orang-orang tanpa gejala menyumbang 6,4 hingga 12,6 persen kasus baru. Ini berarti sangat mungkin penularan terjadi dari orang yang tanpa gejala. 

Jadi kesimpulannya, belum ada informasi yang betul-betul memuaskan terkait COVID-19. Peneliti masih terus mempelajari perilaku virus yang bergerak secara eksponensial ini.

Ilmuwan baru dapat memahami bagaimana virus ini menyerang tubuh manusia. Mereka masih terus meneliti bagaimana cara mengurangi penularannya. Oleh sebab itu penting untuk tetap up-to-date sehingga kita dapat memisahkan fakta dari fiksi.

 

Rin Hindryati