LAPORAN PERJALANAN

Wisata di Bibir  Kawah Anak Krakatau 

Resti berpose dekat semburan pasir panas yang bisa membuat payung jadi bolong ( Foto- foto: Heryus Saputro Samhudi)

JAKARTA,bisniswisata.co.id: Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda erupsi lagi pada Jumat sore dan Sabtu dinihari tanggal 11 April 2020, mengejutkan masyarakat yang tengah menerapkan social dan physical distancing terkait pandemi virus Covid-19 yang melanda dunia. 

Kontan saya jadi ingat kunjungan ke bibir kawah Gunung Anak Krakatau beberapa waktu lalu. Udara cerah saat saya menggandeng Resti – istri saya, mendaki ke pucuk pulau vulkanik dan menikmati bibir kawah Gunung Anak Krakatau yang populer seantero dunia itu.

Dengan ketinggian tak lebih dari 200 m-dpl (meter di atas permukaan laut), pulau gunung api itu lebih mirip sebuah bukit. Namun begitu, butuh ketrampilan dan ketabahan tersendiri untuk bisa mencapai bibir kawah yang menggelegak di pucuknya. 

Susah payah kami melangkah mendaki kemiringan tebing pasir, yang tiap ditapaki maka tapak kaki kami akan balik melorot ke bawah, karena gembur dan tebalnya pasir. 

Tak ada kehijauan sama sekali yang bisa dijadikan pegangan untuk merambat ke atas. Sementara, sesekali tanah pasir yang kami pijak terasa bergetar, pertanda kawah di pucuk pulau tengah memuntahkan isi perutnya ke langit, menghasilkan debu pasir, kerikil bahkan batu-batu seukuran kepalan tangan yang berjatuhan ke sekitar kami.

Beberapa payung nylon yang digunakan teman sebagai alat tadah teduh, tampak bolong-bolong oleh jatuhan pasir panas yang cukup melepuhkan bila terkena kulit. 

Jadi ingat saat tadi kami baru mendarat di pesisir pulau vulkanik Anak Krakatau yang kehadirannya baru diketahui para ahli di tahun 1927. Ada bagian pesisir pulau ini yang sudah dihiasi oleh kehijauan hutan pionir, berjenis pohon jenis baringtonia dan pohon kayu lainnya bertumbuhan menjadi hutan. 

Uniknya, banyak pohon besar yang bagian cabangnya semplak dan sempal. Daun di bagian cabang tersebut kering terbakar, akibat kejatuhan bongkah lahar panas yang muncrat dari kepundan Gunung Anak Krakatau yang erupsi dari waktu ke waktu. 

Trip to the top of montain yang sungguh mendebarkan sekaligus menjadi catatan prestasi tersendiri bagi kami. Banyak orang berduit dan berpengalaman berwisata ke berbagai tempat indah. Tapi (maaf) belum tentu punya kesempatan seperti ini: menjejakkan kaki di bibir kawah gunung berapi terpopuler dunia Subhanallah…!

Batuwara, Sang Purba

Apa dan siapa Gunung Anak Krakatau yang gerak-geriknya tak lepas dari teropong ilmiah para ahli? Melihat struktur dan tipe lingkungan sekitar, para ahli memperkirakan bahwa di masa purba di kawasan Selat Sunda terdapat gunung amat besar, yang akhirnya meletus dahsyat.

Letusan itu bukan cuma menyisakan sebuah kaldera (kawah besar) bernama Gunung Krakatau, tapi juga membelah pulau dimana gunung purba itu berada, menjadi dua pulau Jawa dan Andalas atau Sumatera.  

Seberkas catatan menyebut, gunung purba tersebut meletus pada tahun 416 Masehi. Para ahli juga mengaitkan letusan gunung purba dan akibat yang ditimbulkannya ini dengan sebentuk pupuh sebagaimana tertuang dalam Kitab Pedalangan Pustaka Raja Purwa:   

“… ada suara guntur menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Lalu bumi menggoncang menakutkan. Petir dan kilat menyambar-nyambar. Lalu datang badai angin dan hujan. Mengerikan. Dunia gelap total. Banjir besar datang dari Gunung Batuwara, mengalir ke timur ke arah Gunung Kamula dan menenggelamkannya. Ketika air surut, pulau Jawa terpisah jadi dua, menciptakan pulau Sumatra…”

Pakar geologi Berend George Escher, berpendapat bahwa Gunung Batuwara sebagaimana disebut dalam teks Pustaka Raja Purwa, itu tak lain adalah Gunung Krakatau Purba dengan tinggi 2.000 m-dpl dan lingkar pantai mencapai 11 Kilometer. 

Ledakan Gunung Krakatau Purba diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan perkiraan kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut telah membentuk perisai atmosfer setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur sebesar 5-10 derajat selama 10-20 tahun.  

Letusan Gunung Krakatau Purba disinyalir bertanggung jawab atas terjadinya tahun kegelapan di muka bumi. Wabah sampar terjadi karena suhu bumi menurun. Penyakit ini secara signifikan mengurangi jumlah penduduk di muka bumi. 

Letusan ini juga dianggap turut andil atas berakhirnya masa kejayaan Persia purba, transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Byzantium, berakhirnya peradaban Arab Selatan, punahnya kota besar Maya, Tikal dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh teka-teki.

Berperahu motor menuju Anak Krakatau di kejauhan

Berita dunia

Ledakan dahsyat di abad ke-4 Masehi itu menyebabkan tiga per empat tubuh Gunung Krakatau Purba hancur, menyisakan sebuah kaldera besar di Selat Sunda, yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera. 

Kaldera besar tersebut lantas dikenal masyarakat sekitar sebagai Pulau Rakata atau Pulau Krakatau. Toponimi “rakata” atau “Krakatau” diambil dari keberadaan sejenis kepiting batu, yang hingga kini banyak hidup di kawasan tersebut.

Pulau Rakata atau Krakatau tumbuh sesuai dorongan vulkanik dari perut bumi, menghadirkan kawah api dan membentuk kerucut Gunung Krakatau. Belakangan pada papar kaldera tersebut juga muncul dua gunung api lain, yakni Gunung Danan dan Gunung Perbuatan.

Keduanya menyatu bareng kerucut Gunung Krakatau yang muncul lebih dulu, menghasilkan sebuah pulau gunung api yang awam menyebutnya sebagai Pulau Gunung Krakatau.

Gunung yang pernah meletus di tahun 1680 menghasilkan lava andesitik asam. Lalu di tahun 1880, Gunung Perbuwatan juga aktif mengeluarkan lava, tapi tidak sampai meletus. 

Setelah itu, Gunung Krakatau seperti tidur panjang selama 200 tahun, tanpa aktivitas vulkanis yang berarti, sampai kemudian tanggal 20 Mei 1883, para ahli mencatat terjadinya ledakan kecil yang ditengarai sebagai pertanda bakal terjadinya letusan dahsyat di Selat Sunda. 

Benar saja, ledakan-ledakan kecil terjadi susul-menyusul, dan puncaknya pada 26-27 Agustus 1883. Gunung Krakatau meledak mengguncang dunia. Saat itu peradaban modern sedang tumbuh mengisi kehidupan masyarakat dunia. 

Dimulai dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt dan lahirnya Revolusi Perancis, berbagai perangkat baru juga ditemukan. Jaringan telegraf bawah laut misalnya, sudah ditemukan dan dibentang dari daratan Eropa ataupun Amerika ke di seberang samudera, termasuk kawasan Nusantara yang sedang dikuasai Belanda.

Komunikasi antar manusia jadi lebih cepat tinimbang jasa pos burung merpati. Juga saat Gunung Krakatau di Selat Sunda meletus. Sebentar saja beritanya mendunia. 

Dari Hawaii hingga Arab

Modernitas dan kemajuan ilmu pengetahuan saat itu menghasilkan gambaran cukup jelas, berkait ledakan Krakatau. Simon Winchester, ahli geologi lulusan Universitas Oxford Inggris yang juga penulis di majalah National Geographic misalnya, mencatat bahwa pada hari Senin, 27 Agustus 1883, pukul 10:20, terjadi ledakan paling besar, dengan suara paling keras. 

Peristiwa vulkanik itu disebutnya sebagai yang paling meluluhlantakkan dalam sejarah manusia modern. Suaranya terdengar sampai 4.600 km dari pusat letusan, bahkan dapat didengar oleh 1/8 penduduk bumi saat itu.

Berkas lain juga mengungkap, letusan Gunung Krakatau terdengar sampai di Alice Springs, Australia, dan Pulau Rodrigues dekat Afrika yang berjarak 4.653 kilometer dari Selat Sunda. Daya ledaknya (tulis peneliti modern) diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang diledakkan Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II.

The Guiness Book of Records mencatat ledakan Krakatau sebagai ledakan paling hebat yang tercatat dalam sejarah. Para peneliti di University of North Dakota menambahkan bahwa ledakan Krakatau bersama ledakan Tambora (1815) mencatatkan nilai Volcanic Explosivity Index (VEI) terbesar dalam sejarah modern. 

Dibandingkan letusan Gunung Toba dan Gunung Tambora di Indonesia, Gunung berapi Taupo di Selandia Baru dan Gunung Katmai di Alaska, sebenarnya ledakan Krakatau masih kalah hebat, Namun gunung-gunung tersebut meletus jauh pada masa ketika populasi manusia masih sedikit. 

Sementara saat Gunung Krakatau meletus, populasi manusia sudah cukup padat, sains dan teknologi telah berkembang, telegraf sudah ditemukan, dan kabel bawah laut sudah dipasang. Bisa dibilang, teknologi informasi sedang tumbuh dan berkembang pesat, menjadikan letusan Krakatau dicatat sebagai berdampak paling besar terhadap kehidupan manusia.

Gegara letusan Krakatau, ikllim global saat itu mengalami perobahan. Dunia gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York.

Ledakan Krakatau telah melemparkan batu-batu apung dan abu vulkanik dengan volume 18 kilometer kubik. Semburan debu vulkanisnya mencapai 80 km. Benda-benda keras yang berhamburan ke udara itu jatuh di dataran pulau Jawa dan Sumatra bahkan sampai ke Sri Lanka, India, Pakistan, Australia dan Selandia Baru.

Letusan itu juga menghancurkan Gunung Danan, Gunung Perbuwatan serta sebagian Gunung Rakata (Krakatau) di mana setengah kerucutnya hilang, membuat cekungan selebar 7 km dan sedalam 250 meter. 

Tsunami (gelombang laut) naik setinggi 40 meter menghancurkan desa-desa dan apa saja yang ada di pesisir pantai. Tsunami ini timbul bukan hanya karena letusan tetapi juga longsoran bawah laut.

Sampai sebelum tanggal 26 Desember 2004, dimana terjadi gempa tektonik dan tsunami Aceh, tsunami tahun 1883 merupakan yang terdahsyar di kawasan Samudera Hindia. Tercatat 36.417 jiwa melayang akibat awan panas dan tsunami yang ditimbulkan ledakan tersebut. 

Korban tewas itu terutama berasal dari 295 kampung kawasan pantai, mulai dari Merak di Kota Cilegon hingga Cilamaya di Karawang, pantai barat Banten hingga Tanjung Layar di Ujung Kulon dan Pulau Panaitan, serta Sumatra Bagian selatan. 

Di Ujungkulon, gelombang tsunami masuk sampai 15 km ke arah barat. Keesokan harinya sampai beberapa hari kemudian, penduduk Jakarta dan Lampung pedalaman tidak lagi melihat matahari. Gelombang Tsunami yang ditimbulkan bahkan merambat hingga ke pantai Hawaii, pantai barat Amerika Tengah dan Semenanjung Arab yang jauhnya 7 ribu kilometer. ( bersambung).

 

Hana Fahila