SANUR, akhir tahun 1971.
Sepeda motor Honda 90cc berwarna biru itu berhenti di depan saya di bawah pohon kelapa.
“Dik, adik mandor di sini?”
Saya menjawab dengan sikap hormat, “Betul pak, saya tukang menerima truk pasir dan batu.” Beliau melanjutkan lagi,”Mau bangun hotel orang Bandung, yang punya restoran di utara “pengkolan” (kelokan –Red) ke Segara itu?”
Saya menjawab lagi dengan sikap yang sama,“ Betul pak, nama beliau pak Sjachrum Jahja (ejaan lama).”
“Adik namanya siapa?” sambung beliau lagi.
Saya menjawab:” Saya Paul pak…”
Beliau masih melanjutkan lagi, “Nanti kalau ada waktu main-main ke Selatan, ke tempat saya ya. Saya juga lagi bersih-bersih, rencana mau bangun hotel juga. Itu di sebelah Tanjung Sari, lewat sedikit, itu tempat saya. Kalau mau lewat pantai, itu lebih baik lagi. Saya Tjetana, Ida Bagus Tjetana Putra. Saya pegawai Hotel Bali Beach, bagian Personalia.”
Saya mencatat nama itu, di dalam hati dan berjanji akan datang ke sana. Pasti. Lalu beliau menstater hondanya dan pamit menuju ke Selatan. Waktu itu baru ada jalan setapak. Belum ada jalan aspal. Yang lewat, hanya 1-2 orang saja.
Itulah kesan pertama pertemuan saya dengan Ida Pedanda Nabe Gede Dwija Ngenjung.
Sahabat, setelah beliau meninggalkan saya, saya mendapat kesan yang mendalam. Orangnya sederhana, nada bicaranya sangat lembut. Selama berbicara beliau memperhatikan saya yang hanya berbaju kaos, dan sendal jepit tetapi menempatkan saya sebagai lawan bicara tanpa rasa perbedaan.
Saya berhadapan dengan seorang “Ida Bagus” pada saat itu — dari pengalaman saya– “ada rasa beda”, mungkin hanya pendapat dan perasaan pribadi saya.
Tiga hari kemudian, saya menyusuri pantai, melewati Hotel Tanjung Sari, terus ke Selatan ke tempat beliau. Saat itu beliau ada di sana. Saya langsung menyapa dan beliau kelihatan senang bertemu saya. Saya tidak lagi memakai sendal jepit, tetapi sepatu karet. Saya melihat bahwa di situ sudah ada beberapa tumpukan pasir, batu dan bata merah.
“Dik Paul, di sini nanti hotel kami.”
Saya mengangguk tanda mengerti. Lalu kami ngobrol ke sana kemari antara lain rencana pembangunan Gazebo nanti berapa kamar, apakah calon pegawai sudah ada yang semuanya saya menjawab dengan:”tidak tahu.” Karena memang saya belum tahu rencana selanjutnya. Lalu saya pamit pulang lagi ke Utara tempat saya bekerja. Kami masih tetap bertemu hampir setiap minggu, selalu di atas jam 3.00 sore.
Bulan Juli 1972, Hotel GAZEBO secara resmi dibuka. Sejak itu saya sangat sibuk di hotel. Suatu hari saya ingin menengok beliau di Selatan, di tempat beliau saya menemukan papan nama tertulis: “Santrian Beach Hotel”.
Memang beberapa hari sebelumnya saya mendengar suara gamelan yang ramai dan indah datang dari arah selatan, namun saya tidak tahu acara apa yang sedang berjalan di sana. Mungkin itu yang disebut “Melaspas.”
Bali Sanur Bungalow
Pada akhir 1972 bapak Sjachrum Jahja meminta saya untuk mendatangi pak Ida Bagus Tjetana Putra di hotel Santrian dengan membawa pesan agar datang berkunjung ke Gazebo, karena ada pertemuan. Yang hadir di sana adalah Bapak Ida Bagus Tjetana Putra, Bapak Ida Bagus Alit, ada 2 orang bapak dari hotel di sebelah Selatan,– saya lupa nama beliau– dan seorang ibu pemilik hotel di sebelah barat KFC.
Saya tidak tahu isi rapat. Yang hadir waktu adalah Pimpinan Bank Bumi Daya Denpasar. Dari pertemuan itu, sebagai orang yang masih muda dan hijau saya mendengar bisik-bisik bahwa pak Sjahrum memperkenalkan para pemilik hotel dengan Pimpinan Bank Bumi Daya tadi. Yang saya tahu – kemudian– adalah hotel-hotel di Sanur dimerger dengan nama: Bali Sanur Bungalow, — kecuali Santrian Beach Hotel–.
Waktu berjalan sangat cepat. Tanpa saya duga, kami bertemu di Bangkok pada tahun 1982 dalam rangka Pata Mart. Sejak itu kami sering bertemu di pasar wisata di luar negeri di kota-kota negara Asean. Dan saya selalu mengirimkan wisatawan dari perusahaan yang saya pimpin di Jakarta ke Hotel Santrian.
Suatu waktu beliau menitip pesan melalui Kantor Perwakilan saya di Bali —di bawah pimpinan Pak Made Sutapa (Alm)—jika saya ke Bali, diminta “singgah’ ke Hotel Santrian (yang sekarang Hotel Grya Santrian).
Permintaan itu saya penuhi. Ketika bertemu — sambil makan malam–, kami ngobrol tentang wholesaler dan tour operator agar secara berkesinambungan mengirim wisatawan ke Santrian. Saya mengatakan kepada beliau bahwa saya tetap akan mencoba dan memberikan perhatian khusus kepada Santrian Beach Hotel.
Janji saya baru dapat terpenuhi awal 1997 ketika saya menjadi agen dari sebuah wholesaler Amerika. Saya hanya menangani post tour ex Thailand dan Vietnam. Tidak banyak, mereka terdiri dari 4 couple, maksimal 6 couple kadang-kadang seminggu sekali. Mereka saya tempatkan di Grya Santrian. Selama saya beberapa kali ke Grya Santrian, saya tidak bertemu beliau. Selalu berselisih jalan.
Ketika tahun 2000, saya menempatkan group lain dari Amerika –tiap minggu 2 group, masing-masing 32-40 orang–, suatu saat saya bertemu dengan beliau. Beliau menegur saya bahwa mengapa saya tidak mendatangi beliau. Saya memang menghindar dengan mengatakan saya sering keluar daerah, –sebenarnya saya sungkan–. Saya menyaksikan keberhasilan beliau yang luar biasa. Saya ikut merasa bersyukur bahwa beliau mencapai keberhasilan itu dari kerja sangat keras.
Suatu hari di tahun 2001 saya bertemu dengan Sales Managernya Pak Made Suardana di area hotel. Pak Made membisiki saya, katanya:” Bapak bertanya, pak Paul mau apa –sebagai tanda terima kasih–.”
Saya bingung, saya tidak dapat menjawab. Tetapi saya harus memberikan jawaban. Saya mengangkat muka, di depan saya ada pisang hias. Saya mengatakan:” Saya mau pisang hias seperti itu.” Sambil saya menunjuk pohon pisang hias.
Pak Made tertegun, lalu mengatakan:”Baik pak, saya akan menyampaikan kepada Bapak.”
Sore hari ketika saya menerima telepon, ternyata Pak Made Suardana. Dari seberang saya mendengar:” Pak Paul, pohon pisangnya mau di tanam di mana?”
Saya asal menjawab:” Nanti kalau sudah datang, saya tanam sendiri pak.”
“Ohhhhh kami sudah di rumah pak, di sini ada tukang tanam yang siap menanam.”
Saya berpikir sebentar, lalu menjawab, “Baik pak, di sudutTimur depan. Tanam di situ, saya masih di Ubud.”
Ketika saya tiba di rumah, saya sangat kaget, dan juga terharu, karena ada dua pohon pisang besar, tinggnya kira-kira 7 meter. Saya mengira dibawakan anakan pisang yang tingginya 30 cm – 1 meter, itu sudah cukup. Ternyata yang dibawa harus dimuat di sebuah truk dengan lima tenaga gardener ditambah dengan Pak Made Suardana.
Menunggu Bade Melintas
Mendengar bahwa beliau berpulang, saya datang melayat bersama teman-teman dari Asita Bali.
Hari ini 8 Oktober 2021, saya melewati jalan yang biasa saya lalui jika ke kantor, para polisi LLAJR berada di setiap persimpangan jalan. Di sepanjang jalan masyarakat berkelompok dan ada yang duduk-duduk menunggu Bade (tempat jenasah yang hendak dikremasi) melewati rute tersebut. Itulah rute jalan “beliau” –dahulu– ketika mulai merintis membangun hotel, membangun pariwisata, membangun Sanur kampung halamannya dan membangun Bali serta Indonesia.
Di Perempatan Bali Beach saya menyaksikan anak-anak umur Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Mereka duduk-duduk di sana, saya menduga mereka menunggu Ida Pedanda “lewat”. Mereka mengetahui bahwa Ida Pedanda Nabe Gede Dwija Ngenjung tidak hanya membangun, mengurusi hotel untuk pribadi, keluarga dan keluarga besarnya. Tetapi juga membangun Desa Sanur melalui Yayasan Pembangunan Desa Sanur bersama tokoh-tokoh Sanur lainnya. Ikut membangun dan memperhatikan masyarakat banjar dan sekolah-sekolah. Masyarakat hadir, menunggu di pinggir jalan, rute prosesi upacara kremasi Ida Pedanda untuk menyampaikan matur suksema (ucapan terimakasih).
Tanpa terasa air mata saya jatuh. Terkenang wajah teduh, suara lembut dan tampilan sederhana Bapak Ida Bagus Tjetana Putra.
Selamat jalan Pioner Hotel di Sanur-Bali.
Selamat jalan Ida Pedanda Nabe Gede Dwija Ngenjung.
Surga, Nirwana menunggu Ratu di sana.
*Paul Edmundus Tallo, Ketua Umum DPP IINTOA