NEWS

Pemasaran & PR Perlu Menyatu Untuk Raih Kepercayaan Wisatawan di Era New Normal.

Keindahan alam Indonesia  bisa menarik kunjungan  jika wisatawan sebagai konsumen mempunyai trust and confidence. ( Foto: Kemenparekraf).

Oleh : Wuryastuti Sunario

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Enam bulan lalu, di bulan Maret 2020, Badan Kesehatan Dunia. WHO, mengumumkan bahwa dunia telah terinfeksi pandemi virus covid-19, dan sekaligus mendesak agar semua negara segera menutup perbatasan dengan lockdown agar pandemi tidak semakin menjalar dan meluas. 

Masyarakat di seluruh duniapun dilarang beraktivitas di luar rumah,  bekerja dan belajar dari rumah.  Maka dalam sekejap saja pergerakan manusia dan kegiatan ekonomi jadi mati suri. Dari mobil, pesawat hingga bermacam kendaraan dan keramaian duniapun berhenti.

Sejak saat itu sampai sekarang, lebih 213 negara dunia tepapar virus COVID-19, lebih 24juta pasien terinfeksi dan lebih 840 ribu orang lebih imeninggal dunia. Sedangkan, sampai saat ini masih belum juga tersedia vaksin yang terbukti mampu meredam penularan pandemi global ini.  

Pada bulan Juli, 4 bulan sesudah lockdown, sebagian besar negara menyatakan bahwa sudah tidak mungkin lagi negara ditutup terus, karena ekonomi perlu bergerak kembali demi pendapatan keluarga sementara sejumlah negara telah terpuruk kedalaman resesi.

Maka tidak ada jalan lain lagi yang terbuka terkecuali bangsa-bangsa dan negara  dengan  sangat hati-hati mulai memanaskan kembali sektor ekonomi ditengah pandemi yang masih merajalela. 

Masa transisi ini dikenal dengan istilah  “the New Normal”, yaitu dimana dunia mulai membuka ruangan bagi kegiatan manusia, namun dengan syarat  tetap mentaati peraturan protokol kesehatan, yaitu: pakai masker, jaga jarak, dan sering cuci tangan supaya tidak tertular dan menularkan penyakit mengerikan ini pada banyak orang. 

Akan tetapi ternyata bahwa untuk mengembalikan dan menggerakkan kembali roda ekonomi tidaklah semudah yang tadinya dibayangkan. 

Meski pengusaha siap segera berproduksi, akan tetapi terbukti bahwa adalah justru sebagian besar masyarakat  pembeli yang takut keluar rumah, karena khawatir akan tertular. 

Sedangkan  untuk berwisata, merekapun masih harus menjalani rapid test atau swab test, bahkan harus menjalani lagi isolasi atau karantina, hal mana selain menggerogoti waktu libur, juga memakan banyak biaya.  

Oleh para ahli Komunikasi dan Pemasaran, situasi demikian dinyatakan bahwa pasar pembeli atau konsumen belum mempunyai kepercayaan – Trust and Confidence 

Mereka masih takut akan apa yang mungkin bisa dialaminya karena belum ada  kepastian keamanan. Dan karena  konsumen juga belum memiliki kepercayaan, maka ujungnya-ujungnya  mereka juga tidak mungkin membuat transaksi pembelian ataupun pergi berwisata, sehingga ekonomipun susah berkembang.  

Jadi,  bagaimanakah produsen bisa memberi kepercayaan dan keyakinan pada konsumen dalam situasi dan kondisi yang masih serba berobah begini?   Mau tidak mau masalah ini menjadi tugas utama bagi para penanggung jawab bidang Pemasaran  (Marketing) dan Public Relations/Hubungan Masyarakat

Termasuk pelaku dan pimpinan Kementerian Parekraf yang sudah lama merencanakan pembangunan Pariwisata  yang berkelanjutan.    

Pemasaran dan PR harus merajut

David Meerman Scott, penulis terkenal mengenai Pemasaran dan Komunikasi Publik (PR) telah menerbitkan buku panduan baru dengan judul: The New Rules of Marketing & PR. 

Dalam buku ini Meerman Scott  merombak total semua peraturan Marketing dan PR yang dianggap kuno, karena menurutnya, dunia digital yang dewasa ini mendominasi dunia telah merobah seluruh sistem komunikasi antara produsen dan konsumen.  

Ini sebab teknologi internet telah memberi kemampuan kepada setiap konsumen untuk mendapatkan informasi sendiri yang bisa diterima dari segala penjuru dunia secara langsung dan cepat. 

Jadi apabila usaha Pemasaran dan PR hendak berhasil, maka kedua disiplin (bagian) yang merupakan fungsi setiap perusahaan maupun instansi/organisasi,  tidak mungkin lagi bekerja sendiri-sendiri secara terpisah seperti sediakala.

Keduanya sekarang harus menyatu apabila perusahaan atau organisasi bersangkutan mengharap menggapai Kepercayaan (Trust and confidence) dari konsumen. 

 Internet dan digitalisasi yang dimulai pada akhir abad ke-20 telah menghasilkan revolusi komunikasi kedua setelah yang pertama waktu ditemukannya mesin cetak di abad ke-15, kata Scott. Hal ini terjadi karena saat ini dunia Internetlah yang mendominasi secara global.

Dimana kita semua, tanpa terkecuali, mendapatkan pengetahuan dan informasi terkini mengenai hal apa saja yang ingin dicari. Soalnya peraturan-peraturan berkomunikasi yang tadinya berlaku di ilmu Pemasaran dan Hubungan Masyarakat jadi kedaluwarsa akibat cara lama sudah tidak akan mampu lagi mencapai sasaran yang diinginkan. 

Dulu peran Pemasaran (Marketing) terfokus  kepada Branding dan Periklanan saja yang diarahkan kepada publik lewat komunikasi satu arah, yakni pesan dari pihak produsen ke konsumen. 

Mengapa sampai saat ini kedudukan Pemasaran masih terpisah dari PR ? adalah karena keduanya dianggap disiplin yang  berbeda, yang mengharuskan adanya strategi dan tujuan yang berbeda pula.

Lagipula fungsi PR dianggap lebih tertuju kepada hubungan dengan media massa saja, dengan tugas terutama untuk memberitakan mengenai prestasi apa yang dicapai oleh pimpinan perusahaan atau instansi dan organisasi bersangkutan, dan yang biasanya diberi dalam bentuk press release saja, kata Meerman Scott.

Maka dengan berkembangnya teknologi digital dan semakin banyaknya  masyarakat dunia menggunakan Internet maka fungsi Pemasaran dan Public Relations telah berobah.  Mengapa demikian?

Lewat komunikasi Internet, konsumen atau pasar (market) mengharapkan peran lebih dari fungsi Pemasaran, yaitu lebih dari hanya membuat iklan.  Demikian juga orang mengharapkan jauh lebih dari fungsi PR dari sekedar menerbitkan berita press release belaka.  

Oleh karena teknologi Internet inilah, masyarakat dewasa ini mengharapkan  bahwa berita dan informasi,  selain mampu membawa suara organisasi induknya , juga mampu berkomunikasi langsung dengan konsumen lewat komunikasi dua arah, yang transparan, tulus dan akurat.Tidak saja disajikan lewat pihak ketiga yaitu wartawan media massa. 

Publik sekarang ternyata juga jenuh dengan iklan-iklan yang mengganggu dan memotong program, dan kurang peduli pada harapan konsumen. Maka, lewat teknologi digital, masyarakat  konsumen (dan wisatawan) dewasa ini mendesak agar mereka turut diikutsertakan.  

Mereka minta berpartisipasi dan turut menentukan dalam pembahasan produk dan service.  Dan, karena dunia digital ini tersambung setiap saat, mereka juga mengharapkan bahwa komunikasi tersebut terbuka 24 jam sehari. 

Jadi yang diinginkan konsumen zaman Now adalah informasi dan data content yang mampu disajikan pada saat yang tepat dan up-to-date,  pada saat diperlukan pemirsa,  yaitu dengan cara pemberitaan secara rasional maupun menarik  hati, dengan mengemukakan kepedulian  yang tulus terhadap kepentingan konsumen dan harapan pasar.   

Maka sejalan dengan revolusi komunikasi ini dan terutama dalam menghadapi krisis pandemi Covid-19,  bidang Pemasaran Pariwisata baik di perusahaan, destinasi, industri pariwisata dan pada pemegang pimpinan Kepariwisataan,  yakni Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, diharapkan tidak saja mampu berkomunikasi lewat media massa dan iklan.

Tetapi juga dengan masyarakat dan dunia pariwisata sekarang mengharapkan bahwa perusahaan dan instansi berwenang dapat  berkomunikasi langsung dengan wisatawan secara interaktif, misalnya lewat suatu Call Center, atau website dan media sosial.

 Maka barulah Pemasaran bersama PR Pariwisata yang menyatu dan bekerja sinkron dan bersambung demikian akan dianggap memenuhi harapan mereka, yaitu menarik hati dan memberi kepercayaan  kepada wisatawan. Merekapun akan mau , berani  dan dengan senang hati kembali berwisata di Indonesia

Menarik Kepercayaan Wisatawan 

Kita fahami bahwa masalah utama yang dihadapi Indonesia dalam proses Recovery Kepariwisataan di era New Normal ini adalah kurangnya  trust and confidence dari pihak pasar dan wisatawan.

Calon wisatawan masih khawatir apakah mereka akan aman dari penularan COVID-19 di Indonesia, dan siapkah setiap mata rantai perjalanan pariwisata ke Destinasi dambaan mereka sampai mereka kembali pulang kerumahnya? 

Maka pertanyaan selanjutnya menjadi: Bagaimanakah kita bisa mengembalikan dan membangun kembali  Kepercayaan (trust and confidence) wisatawan tersebut? 

Harus diingat bahwa Kepariwisataan merupakan kegiatan menyangkut pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain. Dan dari satu negara ke negara lain. 

Pariwisata juga merupakan  industri yang  tidak terlepas dari pergaulan manusia dengan manusia secara rasional maupun secaraf emosional.  Melalui Pariwisata terjadi kontak budaya, pertemuan adat dan kebiasaan perorangan dan antar-bangsa. 

Maka faktor lepercayaan, apalagi dalam komunikasi mengenai COVID-19 yang melanda seluruh dunia ini,  sangatlah diperlukan Komunikasi dua arah yang terus menerus dan terkini.

Menurut Wikipedia terdapat 2 macam Trust, yaitu yang micro dan yang macro.  Yang micro adalah kepercayaan seorang terhadap orang lain, yang di dunia Pariwisata terjadi antara wisatawan dengan tour operator dan guide

Sedangkan kepercayaan macro adalah kepercayaan manusia pada instansi, penguasa, pemimpin dan anggota kelompok, atau keluarga, kawan dan komunitas.  Jelaslah bahwa dalam menghadapi pandemi COVID- 19 ini diperlukan kedua-duanya.

Selain si wisatawan bertumpu pada sifat dan karakter pribadi orang yang harus dipercayai selama perjalanannya, wisatawan juga akan menilai kemampuan orang atau instansi atau bahkan negara bersangkutan.

Apakah yang dijanjikan memang bisa diandalkan, ataukah hanya merupakan janji kosong belaka?   Akan tetapi dalam keadaan dinamis seperti yang dialami selama krisis pandemi ini.

Yaitu dimana peraturan masih sering perlu berobah mendadak serta berbeda satu daerah dengan daerah lain, maka mau tidak mau wisatawan juga harus percaya kepada otoritas, termasuk  pada pernyataan para ahli maupun penguasa.  

Maka, selain mendengarkan tour operator dan keluarga atau kawan yang dipercayainya, wisatawan juga akan browsing perihal situasi kesehatan di situs WHO dan aplikasi dari instansi resmi Kesehatan di destinasi bersangkutan. 

Kalau ternyata informasi keduanya tidak sinkron atau bahkan bentrokan, maka confidence-nya juga akan hilang, yang berujung  pada si wisatawan batal berwisata ke destinasi yang diharapkan.     

Disini peran Promosi saja ternyata tidak akan mempan.  Karena yang diharapkan oleh wisatawan adalah bahwa otoritas, dalam hal ini selain Otorita Kesehatan , juga Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatiflah yang menyuarakan melalui Crisis Communication Center

Harus mampu memberi  kepastian data dan informasi secara transparan dan terpercaya mengenai apa yang bisa dijanjikan dan apa yang tidak mungkin dipastikan, ditinjau dari segi kepentingan Wisatawan.   

Pemerintah lewat Kementerian Parekraf dan Pemerintah Daerah maupun industri pariwisata memang sudah dan sedang giat mensosialisasikan Strategi, Rencana dan pelaksanaan serta membagikan buku panduan protokol  mengenai apa saja yang perlu ditaati di setiap destinasi  dalam New Normal, yang disingkat CHSE, yakni menjaga Cleanliness, Health, Safety and Environmental Sustainability. 

Maskapai Penerbangan dibawah IATA juga sudah menerbitkan panduan rinci mengenai penanganan penumpang sebelum, selama penerbangan, dan waktu pendaratan pesawat.   

Akan tetapi terbukti bahwa,  sebagaimanapun giatnya Pemasaran  dilakukan di TV dan medsos serta media masa, tetapi konsumen toh masih belum tertarik berwisata karena mereka masih saja merasa was-was, takut dan kurang percaya akan janji-janji tersebut.      

Maka mau tidak mau, apabila Indonesia berharap untuk meraih wisatawan domestik maupun internasional,  tidak ada jalan lain kecuali menarik hati dan kepercayaan segmen-segmen pasar yang menjadi sasaran pemasaran, melalui peran Public Relations dengan berkomunikasi langsung dengan Konsumen secara terbuka dan interaktif, untuk memberi penjelasan dan menenangkan kekhawatiran calon pembeli.  

Untuk itu dianjurkan agar Kemenparkraf bisa membuka semacam Call Center atau Website interaktif (dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing) , lebih banyak berkomunikasi di media sosial, dan  menangani pertanyaan dan keluhan konsumen secara langsung . 

Dengan demikian bidang Pemasaran bersama Hubungan Publik akan  dirasakan oleh publik memang menyatu dengan satu suara memenuhi harapan publik pariwisata.

Mampu memberi ketenangan hati dan kepastian kepada wisatawan domestik maupun luar negeri.  Sebab apa yang dinyatakan bersama memang bisa dipercaya. Semoga.

Penulis adalah : Pengamat pariwisata dan mantan CEO Badan Promosi Pariwisata Indonesia ( BPPI)

 

 

Dwi Yani

Representatif Bali- Nusra Jln G Talang I, No 31B, Buana Indah Padangsambian, Denpasar, Bali Tlp. +628100426003/WA +628123948305 *Omnia tempus habent.*