ENTREPRENEUR PENDIDIKAN REVIEW RISET

Membangun Values Mengembalikan Kemanusiaan 

Oleh : Dr. (HC) Ary Ginanjar Agustian

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Saya pernah mengirimkan salah seorang tim konsultan untuk mengikuti sebuah konferensi  di Cape Town. Konferensi ini diselenggarakan oleh lembaga yang bermarkas di Amerika Serikat yang bergerak di bidang pengukuran kesehatan budaya korporasi kelas dunia.

Ada yang menarik dari Konferensi Internasional yang diadakan di Afrika Selatan itu. Sebanyak 200 orang dari berbagai belahan dunia berkumpul mencari rumusan agar terciptanya perubahan untuk masa depan dunia yang lebih baik.

Dalam event dunia yang bertema “Realising Our Human Potential: Creating the Shift Towards a Sustainable Future” peserta diminta merenungkan apakah berbagai kemajuan fisik yang dicapai dunia ini benar-benar memperbaiki kualitas kehidupan manusia itu sendiri? 

Daftar panjang penurunan kualitas kehidupan terus terjadi. Di antaranya beberapa spesies hewan telah punah, contohnya jumlah mamalia besar yang punah sebesar 95%. Luas hutan pun kian  berkurang hingga 90% lenyap. Belum lagi meningkatnya berbagai jenis penyakit -sebagaimana Covid-19 berikut berbagai variannya yang masih terus bermunculan, serta timbulnya berbagai jenis polusi. 

Fakta di atas baru dari sisi fisik lingkungan, lalu bagaimana dari sisi sosial? Menurunnya kepercayaan pada lembaga pernikahan yang mengakibatkan tingginya perceraian, tingginya kriminalitas, pengguna narkoba, dan kekerasan; serta meningkatnya jumlah penderita depresi atau mental illness pada kalangan remaja, dan masih banyak lagi permasalahan sosial.

Lalu siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kerusakan bumi ini? Tentunya semua akan mengatakan “kita semua”. Namun sadarkah kita bahwa sesungguhnya dunia bisnislah yang menentukan perputaran ekonomi dunia, yang memiliki andil sangat besar dalam menentukan wajah dunia. Begitu pula dampak yang dihasilkan dari bisnis yang mereka lakukan.

Para pelaku bisnis (capitalism) yang bertanggung jawab atas eksploitasi alam yang berlebihan untuk kepentingan ekonomi, mereka juga yang bertanggung jawab atas kapitalisasi teknologi untuk kepentingan ekonomi yang ternyata membawa dampak sosial luar biasa.

Sejak pertama kali dicetuskan, kapitalisme berhasil mengelevasi kehidupan manusia ke taraf yang tidak pernah dicapai sebelumnya. Tetapi, publik kini memandang kapitalisme sebagai suatu praktik yang memiliki lebih banyak dampak negatif dibanding dampak positif. 

Salah satu penyebabnya sebagaimana disampaikan ekonom sekaligus profesor di Harvard Business School David Korten dalam bukunya When Corporations Rule the World (2015), perusahaan seringkali dibutakan oleh keinginannya untuk meraih keuntungan finansial jangka pendek.

Dampaknya terjadilah penurunan kepercayaan pada para para kapitalis atau dunia korporasi. Edelman Trust Barometer 2020 melakukan survei terhadap lebih dari 34.000 orang di 28 negara di dunia, salah satunya Indonesia. 

Perusahaan public relations dan pemasaran terbesar di dunia, melaporkan bahwa 56% orang menganggap bahwa kapitalisme memiliki lebih banyak dampak negatif dibanding dampak positif. Survei tersebut juga menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap para CEO hanya sebesar 51%.

Menanggapi berbagai pandangan negatif terhadap kapitalisme yang menimbulkan berbagai permasalahan, Raj Sisodia beberapa tahun lalu telah menawarkan konsep Concious Capitalism dalam bukunya Firm of Endearment: How World Class Companies Profit from Passion and Purpose. 

Konsep ini mengacu pada filosofi ekonomi dan politik yang bertanggung jawab secara sosial. Premis di balik Concious Capitalism adalah bahwa bisnis harus beroperasi secara etis sambil mengejar keuntungan. 

Dia menyampaikan empat komponen dari Concious Capitalism tersebut, yaitu:

1.Stakeholder Integration, yaitu integrasi para stakeholder.

2.Concious Leadership, yaitu Leadership yang berbasis hari nurani.

3.Concious Management, yaitu manajemen yang berbasis hati nurani

4.Concious Culture, dan budaya yang berbasis hati nurani. 

Pusat dari empat hal tersebut adalah Conciousness on Higher Purpose and Core Values, atau sebuah kesadaran yang berpusat kepada tujuan luhur dan nilai luhur, atau dengan kata lain ekonomi dan manajemen yang berpusat kepada nilai -nilai spiritulitas. 

Karena tanpa kesadaran akan makna mulia kehidupan serta nilai-nilai mulia atau spiritulitas, maka para pelaku bisnis hanya akan terus memikirkan kepentingan bisnis masing-masing serta mengabaikan dampak yang mereka berikan terhadap dunia.

Dalam buku Good to Great, Jim Collins banyak mengulas perusahaan ternama dunia yang menunjukkan kinerja luar biasa hanya dari segi finansial, padahal beberapa di antaranya justru ambruk saat krisis ekonomi beberapa waktu yang lalu, atau bahkan termasuk dalam perusahaan yang menjadi penyebab krisis ekonomi. 

Sisodia dalam buku itu mendata perusahaan yang memiliki kesadaran akan pengaruh mereka terhadap kualitas kehidupan manusia. Perusahaan tersebut ia sebut sebagai perusahaan yang masuk kategori Firms of Endearment. 

Mereka adalah perusahaan yang memiliki “purpose” bukan untuk mengejar keuntungan semata,  namun mendapatkan keuntungan karena berbisnis untuk sebuah tujuan yang mulia, dan mendapatkan keuntungan karena berbisnis berdasarkan nilai mulia yang dipegang teguh.

Tak hanya Sisodia, dalam konferensi tersebut hampir semua pembicara menyatakan pentingnya  values atau kesadaran spiritual dalam setiap aspek kehidupan, termasuk juga dalam dunia bisnis. Di luar sana, khususnya di Barat, kesadaran ini makin mengemuka dan bahkan menjadi tren.

Jika kita ingin melihat kehidupan yang lebih baik di dunia ini bagi generasi yang akan datang, maka para pelaku bisnis harus mulai membangun kesadaran akan pentingnya “nilai (values) dan makna (meaning)”  di balik apapun yang mereka lakukan memiliki meaning. Nilai atau values di sini bukan hanya nilai ekonomi tapi nilai atau values sebagai panduan mereka dalam berbisnis dan kehidupan.

Sebagaimana kita ketahui bersama semenjak tahun 2020, perekenomian dunia tiba-tiba memburuk karena adanya pandemi yang mematikan jalannya proses bisnis hampir di semua sektor. Berdasarkan survei Kemnaker pada akhir tahun 2020, di Indonesia sebanyak 88% perusahaan yang terdaftar terdampak langsung oleh pandemi. 

Bagaimana membangkitkan dunia bisnis yang akan menggerakan perekonomian bangsa dengan tetap mengedepankan values dan meaning, ini merupakan tantangan.

Arie de Geus menyimpulkan dalam bukunya yang berjudul The Living Company bahwa perusahaan-perusahaan yang bertahan hingga seratus tahun ke atas karena ada dua hal yang selalu mereka pegang dan pertahankan dalam menjalankan perusahaan mereka: Core Values (nilai dasar) dan Core Purpose.

Oleh karena itu tak heran jika presiden meluncurkan Core Values baru yaitu BerAKHLAK (Berorientasi pada pelayanan, Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, Kolaboratif) bagi seluruh ASN dan juga AKHLAK di berbagai perusahaan BUMN. 

Tujuannya adalah bagaimana perusahaan atau organisasi bukan lagi hanya memikirkan permasalahan ekonomi atau profit semata akan tetapi juga membangun jiwa, moral, dan karakter. 

Hal itu juga yang menjadi concern kami selama ini bagaimana membangun values dan karakter bagi sumber daya manusia khsusnya generasi muda yang kelak akan menjadi para pemimpin, dan para pelaku bisnis. 

Ini menjadi terasa urgen mengingat profil penduduk Indonesia pada tahun 2030 akan didominasi oleh usia produktif yang akan mencapai 70,72%, yang sekarang popular disebut bonus demografi.

Sudah satu dasawarsa kami membangun ESQ Business School dengan membentuk karakter tangguh dengan nilai-nilai luhur, meningkatkan produktivitas, dan memiliki spirit berkontribusi dengan   menggunakan   metode   SKI   (Spiritual, Kreativitas,  Intelektual)  yang  menggabungkan  tiga  potensi  manusia  yaitu  kecerdasan Intelektual  (IQ), Emosional  (EQ),  dan  Spiritual  (SQ). 

Penggunaan Metode SKI  (spiritual, kreativitas  dan  intelektual) ini  dapat  menumbuhkan dorongan nilai spiritual yang berasal  dari dalam (Why), kemudian  sisi  kreativitas  (How), yaitu dapat memandang ide-ide baru untuk menjawab persoalan dan permasalahan  dengan  teori-teori  yang  ada  secara  intelektual  (What).

Ini menjawab keresahan Shoshana Zuboff, seorang profesor di Harvard Business School dan telah mengajar selama lebih dari dua dasawarsa di program MBA, keruntuhan ekonomi dunia yang terjadi beberapa waktu lalu hingga saat ini, ada hubungannya dengan sistem pendidikan di sekolah bisnis. Ia mengatakan bahwa yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah bisnis telah melahirkan para pelaku bisnis yang tidak lagi dapat dipercaya.

Oleh karena itu mari kita kembalikan  “Ruh” kemanusiaan bangsa kita dengan membangun karakter dan values sedini mungkin pada generasi muda kita. Jangan sampai bonus demografi Indonesia yang digadang-gadang akan mendatangkan berkah bagi bangsa malah sebaliknya menjadi musibah, diakibatkan kualitas generasi muda yang bermental lemah.

Penulis adalah :Founder ESQ Group/Pakar Pembangunan Karakter

admin