BAHARI DAERAH LAPORAN PERJALANAN

Melongok Surga Tersembunyi Karampuang di Mamuju, Sulbar

Dermaga kayu di Pulau Karampuang.( foto: Hilda Sabri Sulistyo).

MAMUJU, bisniswisata.co.id: Pagi-pagi jam 7.30 saya sudah tiba di dermaga TPI untuk menyebrang ke pulau Karampuang di seberang kota Mamuju untuk menikmati keindahan pulau yang menyimpan keindahan bawah laut tidak kalah dengan tempat-tempat selam (diving) dan snorkling yang sudah mendunia.

Dermaganya berada di areal Tempat Pelelangan Ikan ( TPI) yang  menjual aneka ikan hasil laut segar serta deretan toko kelontong. Lingkungan pasarnya belum tertata rapih dan masyarakat maupun pengelolanya kurang menjaga kebersihan.

Saat tiba di dermaga, banyak masyarakat yang tengah menyebrang dari pulau ke kota. Memang waktu pagi adalah waktu sibuknya lalu lintas perahu nelayan dari pulau Karampuang ke kota Mamuju. Jarak tempuh yang tidak terlalu jauh dan akses transportasi yang sudah tersedia menjadikan masyarakat pulau sering bolak-balik menyebrang untuk memenuhi kebutuhannya maupun transaksi dagang.

Untunglah pemandangan aktivitas hilir mudiknya perahu nelayan dan satu kapal besar yang tengah mengisi muatan beragam komoditi tujuan Balikpapan serta birunya air laut membuat saya bisa mengalihkan perhatian dari kesan kumuh untuk menikmati aktivitas di dermaga.

Semalam Kapolda Sulawesi Barat ( Sulbar),  Brigjen Pol Drs. Baharuddin Djafar, M.Si sudah menelpon stafnya untuk menyiapkan speed boat milik DitPol Air Sulbar untuk mengantar menyeberang.Oleh karena itu saya rajin menyapa petugas karena tidak tahu siapa yang akan membawa menyebrang.

Jajaran perahu nelayan juga siap di sewa atau naik angkutan kapal umum seharga Rp 10.000/orang. Sayang kapal rakyat belum terlihat dilengkapi pelampung.

Akhirnya saya jumpa Marcel anggota Pol Air dan rekannya Supardi yang bertugas mengantar ke Pulau Karampuang. Marcel lalu mengambil speed boat kecil namanya speed RIB dengan empat tempat duduk namun masih bisa mengakomodir 7 orang.

Bersama rekan -rekan dari Dinas Pariwisata dan Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Barat

Perjalanan kami pagi ini cukup lengkap ada ibu Farida dan Mahmud dari Dinas Pariwisata tingkat Provinsi, Ibu Darmawati dan pak Asri dari Dishub Prov Sulbar ditambah Marcel dan Supardi dari Pol Air.

Ketika speed boat mulai berjalan sering sekali kami berpapasan dengan sampah plastik. Bahkan tak jarang ada botol minuman ringan hingga plastik dirigen bekas kemasan mingak goreng ikut mengapung. 

Rupanya SDM setempat belum bisa menjaga kebersihan lingkungan baik di darat maupun laut. Perhatian Pemda dan tingkat sadar wisatanya juga  masih rendah karena Karampuang sudah digadang-gadang sebagai ‘ surga yang tersembunyi ‘.

Marcel asal Papua yang mengemudikan speed boat. Dia  sempat mematikan mesin karena baling-baling terkena sampah plastik. Untunglah keprihatinan saya ini tergantikan dengan melihat dermaga kayu yang menjorok ke laut tanda kami sudah tiba di sisi Utara pulau yang banyak dikunjungi wisatawan.

Ada  6 titik untuk masuk ke dalam pulau yang dihuni oleh 3.327 . Pulau ini luasnya sekitar 6 Km persegi dan  keberadaannya tepat di depan ibukota provinsi Sulawesi Barat itu menjadikan Karampuang layaknya merupakan lahan hutan kota Mamuju.

Karampuang tepatnya berada di Kecamatan Simboro Kepulauan, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Pulau ini terkenal akan keindahan lautnya berupa terumbu karang dan biota laut lainnya.

Tidak perlu menyelam untuk dapat melihat keindahan tersebut. Dari atas dermaga, kita bisa melihat berbagai terumbu karang dan ikan di bawahnya. Air lautnya sangat bersih dan jernih sehingga memungkinkan setiap pengunjung di pulau ini untuk melihat keindahan laut yang mengagumkan.

Terdapat satu dermaga sepanjang ±500 m sebagai akses masuk ke dalam pulau. Untuk naik ke dermaga cukup curam sehingga bagi yang  sudah lanjut usia harus super hati-hati menapaki tangga dari bibir speed boat langsung melangkah ke tangga di ujung dermaga.

Begitu naik ke atas dermaga kayu tanpa sungkan rombongan saya langsung duduk di atas papan kayu. Wow…nikmatnya duduk meski beralaskan papan kayu yang kokoh. Farida langsung membuka bekal makan pagi berupa nasi kuning dan lauk pekengkapnya yaitu satu ekor ikan goreng, sepotong telor dan tumis tempe.

Baunya yang harum jadi menggugah selera sehingga Supardi dan Marcel yang sudah sarapan juga duduk melahap makanan yang ada. Saya juga sudah makan dan mau snorkeling.

Memang sesaat setelah makan tidak boleh berenang mencegah kram perut. Tenggelamnya seseorang saat berenang sering juga disebabkan karena kegiatan tersebut dilakukan setelah makan.

Sumur tiga rasa, panen labu madu dan keindahan bunga di Pulau Karampuang.

Asal usul nama 

Nah untuk mengambil jeda waktu kami habiskan waktu mengobrol dan membahas potensi Pulau Karampuang yang berasal dari bahasa Mamuju. Namanya kalau diartikan dalam bahasa Indonesia artinya rembulan atau bulan purnama.

Ada versi lain dalam soal nama Karampuang. Konon pulau itu menjadi tempat persembunyian para raja dari kejaran tentara Belanda di jaman penjajahan dulu.  Tempat persembunyian itu dinamakan Karampuang sebab kata itu disusun dari Kara artinya karang, batu, atau pulau dan Puang artinya bangsawan, ningrat, raja (maradika).

Dari gabungan dua kata itu membentuk sebuah arti pulau para raja atau pulau para bangsawan. Bahasa itu berasal dari bahasa suku di Sulawesi seperti Bugis, Makassar, dan Toraja. Apapun asal-usul namanya yang jelas bila kita singgah di pulau yang dihuni mayoritas etnis Suku Mamuju itu kita akan takjub meski minim fasilitas.

Kami lalu berjalan menuju pantai dan bertemu dengan pengunjung lainnya. Di depan gubuk penyewaan pelampung, saya berjumpa dengan pak Jongke, sesepuh pulau yang mengelola obyek wisata di bagian utara pulau ini. Jongke mengatakan ada satu desa dan 11 dusun di Pulau Karampuang ini.

“Penduduk selain menjadi nelayan juga bertani dan berkebun. Bahkan pohon sagu juga banyak di pulau ini tanda tanahnya lebih subur dibandingkan pulau-pulau lain,” kata Jongke.

Dia menaruh harapan yang besar dari Pemprov Sulbar untuk memperbaiki sarana dan prasarana yang ada. Dulu pulau ini belum tersuplai listrik dari PLN  sehingga masyarakatnya masih bergantung pada mesin berbahan solar yang dikelola secara swadaya yang aktif mulai pukul 6 sore hingga 10 malam.

Aktivitas pengunjung di Pulau Karampuang.

“Saat ini Pulau Karampuang telah ditunjang dengan fasilitas aliran listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya. Jadi kalau resmi dijadikan pulau wisata maka peluang penduduk untuk membuka usaha besar. Itu warga pulau sudah bisa membuat kerajinan dari batang kelapa,” ujar Jongke sambil menunjuk cindramata yang dijajakan depan sebuah warung “

Saya dan ibu Fatmawati asyik mendengarkan potensi wisata lainnya di pulau ini. Jongke mengatakan di kawasan pulau ini juga terdapat sumur tiga rasa atau yang sering dikenal dengan nama Sumur Jodoh.

Sumur ini tepatnya berada di bagian Selatan dari Pulau Karampuang. Banyak masyarakat yang percaya bahwa sumur ini bisa mendatangkan jodoh bagi siapa saja baik perjaka ataupun gadis yang meminum air sumur ini.  Untuk rasa air di sumur ini memang benar bahwa sumur ini memiliki 3 rasa yang berbeda yakni asin, tawar dan payau.

Selain itu, di pulau ini juga terdapat sebuah goa yang diberi nama dengan Goa Lidah. Terdapat tangga yang bisa digunakan untuk menyusuri gua hingga ke dalam. Meski mulut goa terlihat kecil, namun setelah memasuki gua dan sampai ke dalam maka kita akan menjumpai ruangan gua yang luas dengan dinding gua kokoh dan banyak kelelawar di dalamnya.

Saat mencari toilet, lagi-lagi tak ada kesiapan untuk menyiapkan sarpras yang baik dari Pemprov Sulbar yang wajib disediakan untuk menjaga kenyamanan wisatawan yang datang berkunjung ke Karampuang. Saya baru menyadari dekat pantai banyak gubuk-gubuk sewaan untuk menikmati pemandangan.

Sensasi Snorkling 

Akhirnya saya dan rombongan kembali ke ujung dermaga karena pilihan snorkling justru lebih baik di sini. Sekitar pantai banyak bulu babi yang mengurungkan saya untuk melihat ikan-ikan hias dan terumbu karang yang ada.

Di ujung dermaga ada tiga tangga yang menghubungkan langsung dengan tepi laut. Jadi jika mau snorkling bisa langsung nyemplung dari ujung dermaga karena dari situ saja terumbu karangnya sudah tampak cantik.

Air yang jernih membuat saya langsung dikepung ribuan ikan semacam ikan teri yang di sini disebut ikan penja. Ikan ini muncul terutama saat bulan purnama. Untuk oleh-oleh khas Mamuju masyarakat setempat membuatnya menjadi sambal botol.

Duh ingat sambel penja yang semalam saya santap bersama Kapolda Sulawesi Barat, Baharuddin Djafar dan Ustadz Subki Al Bughury. Saya jadi terpaku saat ikan-ikan itu mengelilingi saya. Ampun maaf ya..maaf…temen-temennya saya makan, ungkap saya dalam hati pada ikan-ikan hias itu. 

Sesaat saya jadi lupa sedang berada di tepi laut bersama ikan-ikan yang berwarna warni meskipun warnanya tidak secemerlang nemo. Kadang tanpa sadar saya mengejar ikan yang ekornya berwarna biru cantik sekali.

Saya pernah snorkling di Maumere, Wakatobi, Pulau Seribu, Bunaken, Belitung, Bali, Lembeh ( Menado)  dan kali ini di Mamuju. Setiap daerah memang punya kekhasan karang-karangnya sendiri dan karena tidak berenang di laut dalam,  hanya berkisar kedalaman kurang dari dua meter maka saya sudah bersyukur jumpa dengan ikan-ikan hias itu dengan mudah.

Alhamdulillah keindahannya belum terlalu terkenal sehingga masih begitu alami dan terjaga. Seekor ikan bahkan ada yang berani berenang tepat di depan kacamata  snorkel saya. Dalam hati saya mengucapkan assalamualaikum dan hasilnya dia seperti ingin bermain dengan saya.

Keindahan pantai dari arah dermaga. ( foto: google)

Kalau ikan-ikan hias lainnya mengintai keberadaan saya dari kejauhan dan langsung kabur begitu di dekati nah si ikan kecil ini malah terus maju sehingga kami berhadapan. Melihat keberaniannya itu gantian saya yang menghindar buru-buru naik ke tangga.

Tidak terasa memang sudah hampir satu jam bermain air. Saya duduk sejenak di tangga sambil berzikir dan berterima kasih pada Allah SWT yang telah membawa saya ke Pulau Karampuang. Gemes juga tak mampu mengingat nama ikan bandel itu tapi hati menghibur mustinya bisa searching di Google.

Saya langsung mengajak rombongan kembali ke TPI tanpa bilas badan terlebih dulu karena fasilitas di pulau kurang memadai. Perjalanan pulang terasa lebih cepat dan speed boat  seperti melompat-lompat. Tiba di TPI saya langsung bilas dan ganti baju.

Kami berpisah di TPI karena saya mau melanjutkan melihat ikon pariwisata ke kota Mamuju sedangkan yang lain harus kembali ke kantornya masing-masing. Ikon Pantai Makarra dan Mamuju City menjadi tujuan berikutnya.








Hilda Ansariah Sabri

Pendiri, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan pemegang sertifikasi Wartawan Utama Dewan Pers dan Ketua Departemen Pariwisata PWI Pusat (2018-2023)