ART & CULTURE

Warisan Budaya Jharan Kecak Dilestarikan Via Festival

LUMAJANG, bisniswisata.co.id: Jharan Kencak, kesenian tradisional khas dari Lumajang, Jawa Timur yang hingga kini masih tetap eksis. Dengan menggunakan kelincahan seekor kuda yang dihias pakaian jazirah perang khas Jawa. Memang kesenian serupa adalah Jaran Jenggo di Pantura dan Kuda Renggong di Sunda.

Agar tetap lestari sekaligus dikenal kepada generasi milenial, Pemkab Lumajang menggelar Festival Jharan Kecak bertepatan Hari Jadi Kabupaten Lumajang ke-763. Festival berlangsung di lapangan GOR Wira Bhakti di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Ahad (2/12/2018), mendapat sambutan yang luar biasa.

Bupati Lumajang Thoriqul Haq bersama Wakil Bupati Lumajang Indah Amperawati mengatakan, akan terus berkomitmen melestarikan warisan budaya tak benda asli Kabupaten Lumajang tersebut. “Saya dan Bunda Indah berkomitmen melestarikan kesenian daerah dan saya lihat kuda-kudanya itu sudah luar biasa,” kata Thoriqul Haq.

Ia berkeinginan agar Festival Jaran Kecak di Kabupaten Lumajang tersebut menjadi agenda budaya nasional, agar dikenal oleh masyarakat luas. “Sebagai salah satu perhatian pemerintah kepada para seniman Jharan Kecak, saya meminta Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata untuk membentuk paguyuban seniman jaran kecak, agar pemerintah bisa memberikan bantuan melalui dana hibah,” ujarnya.

Masyarakat Lumajang wajib berbangga dan melestarikan warisan budaya asli Kabupaten Lumajang, sehingga Pemkab Lumajang akan mencari lagi potensi budaya asli lumajang, selain Jaran Kencak, sambungnya.

Ketua Panitia Festival Jharan Kencak Indriyanto mengatakan kegiatan festival tersebut bertujuan untuk memberikan motivasi kepada para seniman, agar tetap konsisten dalam pelestarian kesenian daerah yang sudah diakui sebagai warisan budaya tak benda Kabupaten Lumajang tersebut.

Kuda-kuda itu mengikuti irama tetabuhan berupa gong, kenong, ketipung, dan sronen (sejenis terompet) yang dimainkan tujuh hingga sembilan orang yang berjalan di belakangnya. Festival Jaran Kecak tersebut melibatkan 150 kuda, 30 kuda kecak dan 120 kuda manten.

Setelah pertunjukan di lapangan GOR Wira Bhakti, ratusan Jharan Kecak itu diarak menuju Alun-alun Lumajang melalui Jalan HOS Cokroaminoto, Jalan PB. Sudirman dan Jalan S. Parman untuk kemudian finis di Alun-alun Utara Lumajang.

Awal sejarah Jharan Kencak disebut dengan jaran kepang, meski bukan terbuat dari anyaman bambu, karena pada saat itu kuda yang dikenderai rombongan dari Ponorogo hendak mengirimkan delegasi ke Bali, untuk menjalin persaudaraan kerabat dan saudara Batara Kathong dari kerajaan Majapahit yang mengungsi ke Bali.

Saat sampai di Lumajang, kuda yang dikenakan seragam jazirah perang seperti di pewayangan untuk dipersembahkan di Bali memberontak kesana kemari dan menendang-nendang tiada henti melawan rombongan, hingga dibuat sebuah keputusan bahwa kuda dan beberapa penjaga untuk tetap tinggal di Lumajang untuk menenangkan kuda, sedangkan rombongan tetap melanjutkan ke Bali.

Kuda yang memberontak akhirnya bisa menjadi tenang dan jinak kembali, warga sekitar yang melihat kuda dijinakan tersebut merasa terhibur. Sejak saat itu menjadi sebuah kesenian bernama Jaran Ngepang yang berarti kuda menendang, namun lebih dikenal dengan nama Jaran Kepang.

Tahun 1806, Cakraningrat sampang memindahkan sebanyak 250.000 orang Sampang Madura ke Pulau Jawa, bagian tapal kuda seperti Lumajang. Orang Madura menjadi punduduk Lumajang juga menggemari kesenian bernama Jaran Kepang ini, karena seokor kuda dengan kostum perang khas pewayangan Jawa bertarung berdiri menggunakan dua kaki dengan pawangnya, setelah kemerdekaan Republik Indonesia Jaran Kepang lebih dikenal dengan Jharan Pencak dan menjadi Jharan Kencak yang dikenal hingga saat ini. (EP)

Endy Poerwanto