HILDA'S NOTE

Jakob Oetama: Kematian, Makna dan Bagaimana Menyikapinya

                                Ilustrasi: Monica Kumalasari

Oleh Nur Hidayat

Banyak kalangan merasa kehilangan ketika tokoh pers, pendiri Kompas Gramedia, humanis dan pemersatu Jakob Oetama, meninggal di Jakarta, 9 September, karena sakit pada usia 88 tahun. Ucapan turut berduka cita datang nyaris tanpa henti. Mendiang dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta, Kamis 10 September.

Seperti itulah gambaran saat seorang tokoh wafat. Jakob, yang membesarkan harian _Kompas_ hingga menjadi konglomerasi, meninggal di saat media cetak sudah melewati zaman keemasannya. Seakan-akan satu ironi. Namun, itulah realitas. Keniscayaan. Zaman keemasan selalu diikuti dengan periode kemunduran.

Nur Hidayat, Senior Journalist, pengamat & penikmat wisata

Kita sadar, kematian adalah gerbang menuju kehidupan baru di alam lain. Bagi umat Islam, mereka harus membawa bekal cukup menuju ke sana. Siap bertanggungjawab. Tetapi, sebagian orang lain yakin hidupnya berakhir saat kematian. Tidak ada akhirat. Tidak ada yang harus dipertanggungjawabkan.

Toh masih ada saja orang muslim yang “melupakannya”. Tidak mengingat pesan Imam Syafii, “Jadikan akhirat di hatimu, dunia di tanganmu dan kematian di pelupuk matamu.” Mereka tidak termasuk manusia cerdas, yang selalu ingat mati dan menyiapkan diri sebaik-baiknya.

Nabi Muhammad SAW sudah berpesan agar kita selalu ingat mati. Mengingat kematian, mudah-mudahan, akan menimbulkan ketidaksenangan terhadap dunia.

Mendorong manusia untuk melakukan persiapan di kehidupan akhirat. Kelalaian terhadap maut akan mengarahkan manusia tenggelam dalam kehidupan dan kenikmatan duniawi.

Kematian, bagi tokoh sufi Jalaluddin Rumi, bukanlah satu perpisahan yang meninggalkan semua hal yang telah dimiliki. Baginya, kematian adalah pertemuan kembali dari segala kepunyaan yang sebelumnya tidak dimiliki.

Tahun 1273, saat Rumi menderita sakit yang sangat serius, dokter-dokter yang mengobati demamnya tak tahu apa penyebabnya. Mereka kehilangan harapan. Masyarakat Konya hanya berharap pada sebuah keajaiban.

Namun tidak bagi Rumi. Beliau sangat bahagia dan senang. Kebahagiaannya itu dilukiskan dalam satu puisi: “Mengetahui bahwa adalah Engkau yang mengambil kehidupan, kematian menjadi sangat manis. Selama aku bersama-Mu, kematian bahkan lebih manis dibandingkan dengan kehidupan itu sendiri.” tulisnya.

Rasulullah SAW bersabda, “Kematian adalah hadiah yang sangat berharga bagi orang yang beriman.” (HR Muslim). Dengan kematian lah orang-orang beriman akan mendapatkan hasil dari buah iman dan amal ibadah yang dilakukannya selama di dunia.

Segala hasil keletihan yang ia rasakan selama di dunia dalam mentaati Allah dan Rasul-Nya akan segera dipanen oleh mereka.

Sebaliknya, kematian sangat menakutkan bagi ahli maksiat. Mereka yang tidak bertobat. Terbayang pedihnya siksa kubur. Apalagi siksa neraka, yang di situ mereka kekal.

Penderitaan amat sangat berat, yang sulit kita bayangkan. Api neraka lebih panas 70 kali dibanding api di dunia. Belum lagi berbagai jenis siksaan lainnya.

Nabi Muhammad SAW bersabda, “Neraka dinyalakan selama seribu tahun hingga tampak merah. Lalu dinyalakan lagi selama seribu tahun sampai kelihatan putih. Kemudian dinyalakan selama seribu tahun sehingga terlihat hitam. Hingga sekarang neraka itu hitam dan gelap.” (HR Tirmidzi).

Di dalam neraka terdapat bukit api. Bukit ini bernama Ash Shu-uud. Rasulullah SAW bersabda, “Ash Shu-uud adalah sebuah bukit api. Orang kafir menaikinya selama tujuh puluh tahun, kemudian ia terjatuh dari atasnya. (Lalu naik lagi ke atas dan terjatuh lagi) demikian seterusnya.” (HR Tirmidzi).

Nabi Muhammad SAW dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad menjelaskan, “Seorang mukmin saat menjelang kematiannya, akan didatangi oleh malaikat sambil menyampaikan dan memperlihatkan kepadanya apa yang bakal dialaminya setelah kematian.

Ketika itu tidak ada yang lebih disenanginya, kecuali bertemu dengan Tuhan (mati). Berbeda halnya dengan orang kafir yang juga diperlihatkan kepadanya apa yang bakal dihadapinya. Dan, ketika itu tidak ada sesuatu yang lebih dibencinya daripada bertemu dengan Tuhan.”

Penulis adalah Senior Journalist, Pengamat Pariwisata dan traveler ke mancanegara

Dwi Yani

Representatif Bali- Nusra Jln G Talang I, No 31B, Buana Indah Padangsambian, Denpasar, Bali Tlp. +628100426003/WA +628123948305 *Omnia tempus habent.*