Event Global Tourism Forum – Leaders Summit Asia 2021 menghadirkan 49 pembicara internasional dan 22 pembicara dari Indonesia. Acara yang berlangsung di Hotel Raffles, Jakarta 15-16 September terdiri dari 23 sesi dan ada 1.1 juta viewers dalam dua hari dengan sekitar 71 speakers dari dalam dan luar negeri. Berikut laporan ke dua.
JAKARTA, bisniswisata.co.id: Magnet dari event Global Tourism Forum dari World Tourism Forum Institute yang diselenggarakan Indonesia Tourism Forum ( ITF) di dukung Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta kalangan swasta adalah Taleb Rifai, mantan Sekjen UNWTO 2009-2017 dan Tony Blair, mantan Perdana Menteri Inggris selama 10 tahun (1997-2007).
Taleb Rifai yang kini menjadi Sekjen WTFI mengatakan Global Tourism Forum ( GTF) adalah event dari WTFI yang menjadi platform kolaborasi internasional dan berfokus untuk mengatasi tantangan bagi industri perjalanan.
“Kemitraan apa pun, besar atau kecil, akan bekerja paling baik jika ada tujuan bersama. Itulah mengapa di WTFI kemitraan penting,” kata Taleb Rifai.
Menggabungkan upaya bersama lembaga pemerintah, pemangku kepentingan industri, akademisi menjadi upaya mencapai model pembangunan berkelanjutan untuk pasar perjalanan yang sedang berkembang, serta menyusun strategi untuk memastikan pertumbuhan pariwisata.
Sedangkan Tony Blair mendesak komunitas internasional untuk menciptakan sistem verifikasi kesehatan yang universal menghadapi kehidupan di era New Normal ini.
“Pandemi COVID-19 telah menciptakan masalah global, masalah ekonomi dan perawatan kesehatan, serta memiliki efek beriak pada bisnis global, khususnya industri pariwisata dan perjalanan,” kata Tony Blair.
UNWTO memperkirakan pendapatan ekspor dari pariwisata dapat turun sebesar US$910 miliar menjadi US$1,2 triliun pada tahun 2020. Hal ini akan berdampak lebih luas dan dapat mengurangi PDB global sebesar 1,5% hingga 2,8%.
“Satu hal yang perlu kami lakukan adalah memastikan bahwa kami mulai membuat aturan umum tentang bagaimana kami mendapatkan tiket perjalanan, dan verifikasi status pengujian atau status vaksinasi.”
Blair mengusulkan sertifikat atau paspor kesehatan digital yang diakui secara universal, menggabungkan status vaksinasi dan pengujian.
“Ini akan memungkinkan negara negara untuk melindungi diri mereka sendiri dengan lebih baik dari penyebaran virus corona sambil juga memungkinkan individu untuk bepergian dan berpartisipasi dalam kegiatan favorit mereka,”.
Namun, dia mengakui akan ada keberatan dari masyarakat terkait rencana ini. Namun, dia mengklaim bahwa membuat sistem verifikasi universal adalah satu-satunya cara untuk menghidupkan kembali industri pariwisata dengan aman.
Lebih lanjut, ia mendesak negara kaya untuk bantu negara berkembang dalam program vaksin COVID -19. “Saya mengerti negara-negara kaya ingin memvaksinasi populasi mereka sendiri terlebih dahulu. Tapi kita harus membantu negara lain jika kami ingin menciptakan populasi kekebalan global.” kata Blairs.
Dia menyarankan agar masyarakat rentan, seperti masyarakat marginal, dan tenaga kesehatan garda terdepan, harus diprioritaskan sebagai penerima vaksin. Untuk itu, ia juga berharap vaksinasi dapat selesai pada akhir tahun 2022.
Bulut Bagci. President WTFI mengatakan pihaknya menempatkan pariwisata dalam agenda para pemimpin dunia dan Untuk memastikan investasi asing langsung di negara-negara tuan rumah GTF.
Sejak 2015, dia telah mengadakan pertemuan internasional dengan nama Global Tourism Forum ( GTF) di puluhan negara dan kota dengan 1100 pembicara dan lebih dari jutaan pendengar. ” Kami menjamu politisi, tokoh LSM, dan pengusaha di meja yang sama dan hari ini, kami mengadakan pertemuan kami di Indonesia dengan penuh semangat,”
Dalam acara ini, katanya, peserta akan menemukan pembicaraan yang sangat berharga tentang topik-topik seperti tren baru, investasi asing langsung, investasi berkelanjutan, efek dan solusi Covid-19, transformasi digital, dan kebijakan gender, dll.
Dr. Sapta Nirwandar, Chairman Indonesia Tourism Forum (ITF) yang berafiliasi dengan WTFI sebagai penyelenggara menilai pelaksanaan GTF merupakan sinyal kuat bahwa situasi pandemi saat ini di Indonesia kini telah terkelola dengan baik.
“Ini merupakan langkah besar bagi pemulihan industri pariwisata termasuk pengembangan industri pariwisata halal karena ada sesi khusus halal tourism pula,” kata Sapta yang juga Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kabinet Indonesia Bersatu II periode 2011-2014 ini.
Untuk negara-negara dan asosiasi pariwisata yang telah saling mendukung untuk industri pariwisata dalam situasi ini maka mereka telah mencerminkan bahwa kolaborasi dan sinergi dapat menciptakan harapan dan peluang besar untuk merevitalisasi industri pariwisata Indonesia maupun dunia.
Industri pariwisata ASEAN akan memiliki peluang lebih baik kali ini setelah terowongan pandemi dan akan menemukan jalannya untuk tumbuh kembali sedikit demi sedikit.
“Acara ini diharapkan dapat membawa dampak besar bagi lanskap pariwisata dan lingkungan yang segar bagi industri melalui respons Reset, Revival, dan Refreshing Global Industri pariwisata,”. kata Sapta Nirwandar.
Sesi khusus peluang investasi
Di hari pertama sesi khusus menampilkan Investor Roundtable dengan pembicara dalam negri yaitu Abdulbar M Mansoer, President Director/ CEO Indonesia Tourism Development ( ITDC) yang mengelola kawasan Nusa Dua, Bali dan Lombok.
Ada Rajat Misra, Directorat General, Infrastucture Investment Departement ( Region 1) Asian Infrastructure Invesment Bank serta dipandu oleh Laurel Osfield, Director General, Communications Departement, Asian Infrastructure & Investment Bank.
Tampil pula Harry Warganegara, Presdir PT Berdikari, David Makes. anggota Indonesia Sustainable Tourism Council yang juga CEO Sustainable Management dan pendiri Plataran Menjangan Resort & Spa di kawasan Taman Nasional Bali Barat.
Pembicara lainnya adalah Alain St Ange, kandidat Sekjen UNWTO dari Seychelles yang juga mantan Menteri Pariwisata di negara itu periode 2012-2016. Acara dipandu Adi Satria, Senior Vice President Operation & Goverment Relation Accor Indonesia dan Malaysia.
Investor Roundtable berlanjut dengan tema Sustainable Investment in Luxury Tourism Properties. Maklum Indonesia di kenal sebagai destinasi wisata yang memiliki properti mewah dan dikunjungi keluarga kerajaan mulai dari almarhum Lady Diana dari Inggris hingga ke Raja Salman, Saudia Arabia.
Di tema ini ada Emma Wong PhD, GAICD, Associate Professor Pariwisata di Torrens University Australia, Aaron McGrath, Manajer Umum Regional Six Senses Hotels Resorts Spas, Arab Saudi dan Michael Scully, Managing Director First & Foremost Hotels and Resorts with Travel Connections, UK.
Emma menunjukkan bahwa ada baiknya untuk mulai melihat sektor pariwisata yang selektif, terutama produk mewah dan berkelanjutan. Ini akan menarik untuk dilihat selama 5 tahun ke depan.
Hotel dan pariwisata sangat berkomitmen terhadap keberlanjutan. Dia melihat spektrum, agenda keberlanjutan yang sangat terlibat. Juga bergerak maju dengan melibatkan masyarakat lokal untuk memiliki kesadaran menjaga lingkungan.
“Kami berharap mitra bisnis memiliki tingkat kesadaran yang sama di tahun-tahun mendatang” tambahnya.
Sedangkan Aaron McGrath dari Six Senses Hotels Resorts Spas mengatakan bahwa pengalaman keramahan mewah penting untuk pengalaman liburan baru. Namun, dalam situasi COVID saat ini, kesehatan dan keberlanjutan adalah masalah utama.
Biaya yang cukup mahal untuk upaya keberlanjutan sehingga perlu penghematan biaya operasional. Selain itu konsumsi energi yang efisien untuk lingkungan juga harus mendapat perhatian.
“Kita harus meningkatkan kesadaran tentang keberlanjutan di hotel dan resort’ Kami dapat menghasilkan konsep terbaik dan mempraktekkan inisiatif berkelanjutan,” tegasnya.
Michael Scully, Managing Director First & Foremost Hotels and Resorts with Travel Connections, UK berbicara tentang pengelolaan dan pengembangan hotel juga.
Dia menyatakan bahwa industri harus mulai menggunakan produk lokal dan bahan bangunan lokal selain fokus untuk mendapatkan investor. Itu akan mengubah biaya perjalanan di masa depan.
Di hari kedua, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria memulai sesi dengan mengatakan dalam perang melawan COVID-19, vaksin adalah salah satu perangkat penting untuk penyelamat jiwa dan pemulihan pandemi.
” Percepatan vaksin membuat Jakarta sebagai kota tercepat serta terbesar dalam hal pelaksanaan vaksin di dunia. Untuk memastikan The New Normal, industri pariwisata Jakarta, menerapkan protokol kesehatan secara ketat di seluruh aspek,” tegas Wagub DKI Jakarta ini.
Sesi khusus pariwisata halal global
Sesi halal global menghubungkan nara sumber dari tiga benua yang berbeda. Halal tourism memang menjadi perhatian utama Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang membuka langsung event GTF ini dan berpesan bahwa literasi masyarakat terhadap konsep wisata halal agar terus ditingkatkan.
Bagi Indonesia, kata Wapres, konsep wisata halal berarti pemenuhan fasilitas layanan halal yang ramah bagi wisatawan Muslim di destinasi wisata, seperti akomodasi, restoran atau makanan halal, tempat ibadah yang memadai, dan fasilitas layanan halal lainnya.
Upaya ini dimaksudkan untuk dukung Indonesia menjadi pemimpin dalam pariwisata halal global sekaligus untuk meningkatkan minat kunjungan wisatawan Muslim dunia di Indonesia
Reem El Shafaki, Partner/Lead of Travel and Tourism Sector of DinarStandard ungkapkan perkembangan saat Ini pariwisata Halal Global. Pada sesi ini dia mengatakan hampir 70 persen bisnis pariwisata anjlok, termasuk wisata halal.
“Dalam hal sinyal peluang, banyak pariwisata yang beragam seperti pariwisata domestik harus didorong. Dalam konteks peluang, dorong generasi muda sadar akan pentingnya pariwisata halal dalam perspektif yang berbeda,”tambahnya.
Kabar baiknya, masih ada investor yang tertarik dengan sektor perjalanan dengan munculnya aplikasi perjalanan digital. Oleh karena itu, ia berbagi strategi untuk memulihkan pariwisata dalam jangka pendek dan jangka panjang untuk beradaptasi di era normal baru ini.
Nara sumber lainnya, Dr. Hamid Slimi, Conference Advisory-Chairman Halal Expo Canada – Model dan Teknologi Bisnis Baru (Kasus Industri Halal Kanada). Dia menunjukkan bahwa kita menghadapi transisi dan kontemplasi dalam kondisi pandemi ini.
“Kami tidak bisa duduk dan hanya meninjau bisnis Anda tapi kita harus optimistis. Perencanaan yang baik adalah kunci keberhasilan,” kata Slimi.
Dalam hal industri pariwisata halal di Kanada, kami memiliki populasi muslim besar yang telah meningkat secara signifikan. Sekarang kami memiliki setidaknya 2 juta Muslim di Kanada.
Kami mencoba mencari alternatif dan penyesuaian untuk pendatang dan investor baru seperti membangun aplikasi sosial untuk layanan keluarga, dana ekonomi, dana pendidikan, semuanya untuk konsumen, ujarnya.
Industri halal di Kanada fokus pada makanan dan obat-obatan, home industry , pembiayaan syariah untuk profesional muda, bahkan event dan seminar.
Dia menambahkan bahwa situasi industri halal cukup menjanjikan. Orang-orang telah memesan segalanya dan berencana untuk bepergian ke seluruh dunia, termasuk wisatawan Kanada. Kita bisa menciptakan “zona aman” dengan standar internasional dimulai dari bandara.
Dr. James Noh, Co-founder & Direktur Jenderal Institut Industri Halal Korea (KIHI) fokus pasa rantai pasokan makanan baru agar Korea Selatan terus berkembang menjadi destinasi ramah Muslim ( Muslim Friendly).
“Caranya menjadi destinasi muslim dengan menjaga suplai makanan halal bagi wisatawan lokal dan internasional. Korea Selatan memiliki produsen makanan halal, distributor makanan, “
Lebih dari 200.000 penduduk Muslim dari pekerja imigran, mahasiswa asing, dan pelancong Muslim, lebih dari setengahnya adalah orang Malaysia dan Indonesia, katanya.
Pandemi COVID-19 tmenyebabkan perubahan perdagangan utama di Korea Selatan.Begitu pula perubahan sosial yang disebabkan oleh pandemi adalah pertumbuhan pasar e-commerce, aplikasi restoran dan layanan, platform makanan segar online, toko dan kios tak berawak dengan teknologi baru dan mesin pintar.
Selanjutnya, Korea Selatan akan mengembangkan lebih banyak rantai pasokan makanan seperti kotak makan siang halal dan daging halal sebagai inovasi bisnis baru untuk merespon perubahan besar kondisi pandemi ini.
Akademisi dan peduli budaya
Dua akademisi yang menjadi narasumber di hari kedua menekankan tidak ada budaya tidak ada pariwisata dan pandemi global membuat tidak ada bisnis seperti biasanya pula.
Bagaimana masa depan pariwisata? jawabannya adalah budaya. Tidak ada budaya tidak ada pariwisata, kata Prof Ir Windu Nuryanti M.Arch, PhD.
Di masa pandemi ini, dunia mengalami banyak ketidakpastian dalam berbagai hal terutama pariwisata.
“Bagaimana kita bisa memelihara dan mengembangkan wisata budaya di Indonesia karena kalau tidak ada budaya tidak ada pariwisata,” tegasnya.
Menurut dia, keberlanjutan masa depan pariwisata indonesia terletak pada wisata budaya dan ada 7 zona wisata budaya terpenting yaitu Bali dan Jawa (dominan), Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Kalimantan, Maluku, Papua, yang termasuk kedalam zona budaya penting.
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan republik indonesia yang menjabat pada tahun periode 2011 – 2014 ini menambahkan RI dikaruniai oleh berbagai macam budaya dari 17.000 pulau dan termasuk negara kepulauan terbesar di dunia dengan 583 bahasa yang dikenali dan 1.340 suku bangsa.
“Ada 7 faktor indeks perkembangan budaya,diantaranya pertama, keaslian budaya yang berasal dari berbagai suku di Indonesia yang memiliki berbagai keberagaman etnis “.
Kedua, kata Windu, keaslian budaya, ketiga, ketangguhan,keempat upaya pelestarian budaya,kelima, komunikasi lintas budaya, keenam, lembaga sumber daya manusia dan budaya dan ketujuh infrastruktur budaya.
“Oleh karena itu Indonesia harus lebih percaya diri dan tangguh untuk bisa melewati masa penuh tantangan masa pandemi ini dengan menjadikan kekayaan budaya ini sebagai kekuatannya,” tegasnya.
Sementara itu Dr. Devi Roza Kausar, Associate Professor dan Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Pancasila menyatakan bahwa keberlanjutan sektor pariwisata pasca pandemi akan mengalami berbagai pembaharuan.
“Terutama berlaku dalam aspek manajemen akses, isu kesehatan, penggunaan teknologi, komunikasi melalui story-telling, dan pengembalian fokus terhadap anggaran,” kata Devi.
Menurut dia, ada tuntutan khusus untuk keberlanjutan pariwisata agar dapat terus bertahan pasca pandemi. karena pebisnis tidak bisa melakukan bisnis seperti biasa lagi dan menjadi bisnis yang tidak biasa.
Story-telling dijadikan sorotan sebagai salah satu adaptasi dari Unusual Business tersebut karena dapat membantu terhadap promosi destinasi pariwisata dan membangun kepercayaan konsumen. Selain itu dapat menarik masyarakat lokal untuk terkoneksi dengan destinasi wisata.
Saat ini terdapat beberapa contoh strategi dari dalam maupun luar negeri yang dapat diadaptasi sebagai cerminan perubahan strategi pariwisata pasca pandemi.
Misalnya, Teater Kabuki dari Jepang yang sudah diselenggarakan secara online, kunjungan Candi Borobudur secara virtual dari Indonesia, dan Festival Social Distancing dari Kanada.
Merespon dari adanya Teater Kabuki online, Wayang Kulit juga memiliki potensi yang sama untuk berkembang dan ditayangkan secara online, kata Devi.
Terakhir, Bali menjadi topik utama dalam membahas pariwisata nasional karena kesadarannya untuk mempertahankan keberlanjutan pariwisata dengan kolaborasinya terhadap budaya tradisional daerah.
“Pariwisata yang lebih berkualitas sebenarnya juga penting saat ini, dibandingkan dengan kuantitas. Saya pikir itu akan berlaku untuk Bali yang kaya dengan wisata budayanya, ucap Dr. Devi menutup sesi strategi budaya di era pandemi ini.
Isu gender dan peran wanita dalam industri pariwisata
Sumaira Issac, CEO WTFI memandu langsung sesi yang membahas isu gender dan transformasi industri pariwisata di bawah kepemimpinan perempuan.
Mantan artis di negara asalnya, Pakistan, adalah seorang pengusaha dan veteran Industri dengan pengalaman lebih dari 25 tahun. Bekerja dalam industri pariwisata dan bisnis pendukung yang kembangkan beberapa tujuan wisata yang paling produktif.
Sumaira Isaacs telah bekerja baik sebagai praktisi destinasi (DMC, PCO) maupun sebagai konsultan penasihat untuk Badan Pariwisata, Asosiasi dan Pemerintah Daerah di Asia, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Utara.
Wanita yang kini berdomisili di Toronto ini berspesialisasi dalam pariwisata hingga pengembangan MICE, hingga pengembangan strategi destinasi dan perencanaan aksi.
Sumaira tidak hanya memperluas platform Forum Pariwisata Global secara berkelanjutan ke semua benua, tetapi juga mewujudkan impian pribadinya untuk membantu mengentaskan kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja melalui pariwisata, di negara-negara yang dilayaninya.
Para pembivara di sesi ini adalah Dr. Nisha Abu Bakar, Co-Founder World Women Tourism, Singapura. Dia berfokus pada kebutuhan perempuan dalam pengambilan keputusan. “Kami sangat sadar tentang pemberdayaan perempuan,” ucapnya.
Begitu banyak masalah di era pandemi ini dan dia memiliki perspektif untuk melihat kesenjangan gender, yang bisa kita lakukan adalah memobilisasi sumber daya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ini adalah ide fantastis menggunakan jaringan untuk membuat program kepemimpinan perempuan, pelatihan, dll.
Industri pariwisata kesehatan, pariwisata berbasis lokal, rumah pedesaan dan komunitas harus dijalankan oleh perempuan.” Kami mempersiapkan diri dan melatih orang untuk siap terjun. Kami melihat peluang baru bagi pebisnis dan wisatawan wanita dan. Kami melihat ini adalah tren yang sedang berkembang”, tambahnya.
Somi Arian, Pendiri dan CEO FemPeak, Inggris mengatakan bahwa kita perlu membangun bisnis yang sama sekali baru selama pandemi, karena ada peluang bagi perempuan dalam ekosistem bisnis dan teknologi dan banyak fokus untuk berdayakan perempuan membuat jaringan mereka sendiri.
“Masa depan adalah transformasi digital bagi pengusaha perempuan. Ini penting bagi wanita karena kita sekarang terintegrasi dengan teknologi,” katanya.
Masih sedikit perempuan yang memimpin di bidang teknologi dan keuangan. Sudah waktunya bagi wanita untuk melangkah dan tertarik pada pengetahuan teknologi.
Yulia Stark, Presiden Asosiasi Wanita Eropa melihat dampak dari investasi yang dilakukan perempuan. Kita semua masih terhubung dan saling mendukung dalam kondisi pandemi ini. Kami memiliki banyak anggota untuk bertukar pikiran tentang peluang bisnis dan pengetahuan tentang menghabiskan lebih banyak uang dengan bijak.
“Perempuan bisa memiliki bisnis. Ini adalah hal yang baik dalam situasi pandemi ini. Ke depan, anak-anak kita bisa melihatnya sebagai panutan”, tambahnya.
“