Oleh : Nur Hidayat
JAKARTA, bisniswisata co.id: Allamah Thabathaba’I juga bilang, “Dunia ini juga menggambarkan ibarat sekolah dan tempat pendidikan yang terdiri dari fase persiapan, pelatihan, dan penyempurnaan manusia.
Hal ini jelas, tuturnya, dalam firman-Nya,
“Dialah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, siapakah di antara kalian yang paling baik amalnya.” (QS Al-Mulk [67]: 2)
Dikisahkan seorang lelaki datang menemui Sayidina Ali bin Abi Thalib. Dia mulai mencela dunia, karena telah memperdaya manusia, merusak, menipu dan berbuat jahat kepadanya. Tampaknya lelaki itu telah mendengar sejumlah pemuka agama yang mencela dunia, lalu ia mengira bahwa yang mereka cela adalah realitas alam ini – dan menganggap bahwa secara inheren alam ini jahat.
Akan tetapi dia tidak tahu bahwa yang sebenarnya tercela dan jahat adalah “cinta dunia”. Pandangannya sempit dan rendah terhadap wujud, sehingga bertentangan dengan (ketinggian derajat) manusia dan kebahagiaannya.
Kemudian Sayyidina Ali menjawab, “ Sesungguhnya engkaulah yang tertipu oleh dunia ini, padahal dunia tidak menipumu. Engkaulah yang menganiaya dunia, bukan dunia yang menganiayamu,” sampai beliau pun berkata, “Dunia akan jujur pada siapa saja yang memperlakukannya dengan jujur; ia adalah sarana kesembuhan bagi yang mengetahui hakikatnya. Dunia adalah tempat ibadah para kekasih Allah, tempat turunnya wahyu Allah, dan pusat berniaga para wali Allah.”
Akar persoalan
Asumsi-asumsi manusia yang memandang hidup sebagai kesia-siaan sesungguhnya berasal dari sikap mereka yang mengharapkan keabadian, meskipun m8ereka sendiri memandang dan mengetahui bahwa hal demikian mustahil terjadi adanya.
Adapun harapan-harapan itu sendiri muncul sebagai hasil dari konseptualisasi keabadian, kekekalan, keindahan serta berbagai daya tariknya yang mendesak diri kita untuk hidup abadi dan dianugerahi karunia secara terus menerus.
Tak diragukan lagi, sejumlah pandangan demikian berasal dari kaum materialis. Berdampak kontradiksi antara naluri bawaan dan “doktrin rancu” yang diterima oleh seseorang.
Hakikatnya batin manusia sudah dirancang sedemikian rupa sehingga dalam dirinya terdapat “harapan abadi” sebagai sarana untuk meraih kesempurnaan.
Apabila kita memandang kematian sebagai kebinasaan yang berujung pada non–eksistensi, maka akan menjadi suatu kontradiksi bagi eksistensi kita sendiri. Kata hati kita merindukan “sesuatu yang” sebaliknya. Yakni kehidupan yang berlanjut setelah adanya kematian.
Bagi orang-orang yang menganggap dunia ini sebagai sekolah, mereka tidak akan berkata, “Sebaiknya kita tidak dilahirkan ke dunia ini sama sekali, atau kalau sudah lahir, kita tidak boleh mati.” Dengan mengatakan ini, maka sama saja kita bilang,“Sebaiknya jangan kirimkan anak ke sekolah, atau kalau sudah mengirimkannya, maka syaratnya dia harus tinggal selamanya di sana.”
Banyak sekali orang yang tidak bisa mengenyam bangku sekolah karena faktor biaya dan banyak alasan lainnya.
UNESCO memperkirakan 61 juta anak di seluruh dunia tidak bisa mendapat pendidikan yang layak. Kondisi terburuk dialami anak-anak di kawasan sub-Sahara Afrika.
Penulis adalah: Senior journalist, pemerhati pariwisata & Free Individual traveler