Para pekerja konstruksi bangunan di Bali ( Foto: The Bali Sun.com )
BALI, bisniswisata.co.id: Para pemimpin di Indonesia sedang bersiap untuk memperkenalkan undang-undang baru yang akan melarang pembangunan hotel, resor, vila, dan beberapa tempat hiburan baru di resor pariwisata tersibuk di Bali selama tiga hingga lima tahun ke depan.
Dilansir dari thebalisun.com, draf akhir belum dipublikasikan, tetapi para pemimpin telah mengeluarkan pembaruan baru mengenai kapan moratorium akan berlaku.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia, Sandiaga Uno, telah mengonfirmasi bahwa moratorium akan diberlakukan pada awal Oktober 2024.
Kebijakan baru ini ditetapkan untuk membantu mengendalikan laju pertumbuhan di kawasan resor yang tengah berkembang pesat di selatan Bali, termasuk Canggu dan Uluwatu.
Berbicara kepada wartawan di Bali International Air Show, Menteri Uno mengatakan, “Kami telah mengajukannya, menunggu jadwal dari pimpinan. Mudah-mudahan segera terlaksana. Targetnya awal Oktober sudah bisa dilaksanakan.”
Menteri Sandiapgap Uno menegaskan kembali bahwa kebijakan ini sangat dibutuhkan untuk membantu mengurangi jumlah lahan pertanian yang diubah menjadi properti komersial, yang sebagian besar digunakan untuk sektor pariwisata.
Kebijakan ini juga diharapkan dapat berdampak langsung pada masalah kemacetan lalu lintas yang semakin meningkat di pulau ini.
Masalah lalu lintas di Bali tersebar luas dan dirasakan oleh hampir semua pengunjung pulau ini, termasuk Menteri Pariwisata sendiri. Dia bahkan meminta maaf kepada para peserta International Air Show karena terjebak macet saat berkunjung ke Bali.
Menteri Uno mengatakan urgensi [inisiatif ini] adalah sebelumnya terlihat sangat ramai, bahkan saat saya datang ke sini. “Maaf, saya agak terlambat karena sangat ramai dan sangat macet. Beban hampir mencapai titik kritis.” tambahnya.
Moratorium akan diberlakukan selama tiga hingga lima tahun, meskipun Menteri Investasi dan Kelautan Indonesia, Luhur Binsar Pandjatan, telah menyatakan bahwa kebijakan tersebut dapat berlaku hingga sepuluh tahun.
Dalam pernyataan pers yang disampaikan awal bulan ini, Menteri luhut Pandjaitan mengatakan, “Kita lihat nanti. Bisa (berlaku) lima tahun, bisa juga sepuluh tahun. Itu tergantung evaluasi saja.”
Dia ingin memastikan bahwa kebijakan tersebut menciptakan dampak positif jangka panjang bagi Bali dan bukan solusi sementara.
Penduduk setempat, tokoh masyarakat, wisatawan, dan pengembang bisnis kini menanti dengan napas tertahan agar moratorium diterbitkan guna memperoleh pemahaman terperinci tentang cakupan kebijakan yang akan membatasi pembangunan dan alih fungsi lanskap pertanian.
Diperkirakan Bali kehilangan rata-rata 2.000 hektar lanskap sawah utama setiap tahun; ini belum termasuk pembangunan plot pertanian non-sawah, lanskap pesisir, dan tanah adat desa yang sudah ada.
Dalam pernyataan yang pertama kali memperkenalkan gagasan moratorium kepada publik, Penjabat Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya, menjelaskan, “Pemerintah Provinsi Bali telah mengajukan usulan kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi untuk melaksanakan moratorium pembangunan hotel, villa, diskotik, dan beach club di kawasan Sarbagita selama satu hingga dua tahun, kami ingin menatanya terlebih dahulu.”
Wilayah Sarbagita merujuk pada pusat-pusat pariwisata utama di Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan, seperti Canggu, Seminyak, Legian, Nusa Dua, Sanur, Ubud, Tanah Lot, Kedungu, dan banyak lagi.
Penjabat Gubernur Jaya telah menyatakan keterkejutannya atas pesatnya perkembangan properti pariwisata di seluruh Bali selatan bagian tengah dan mengatakan bahwa banyak dari properti ini dibangun di atas lahan yang baru dikonversi.
Ia ingin melihat reorganisasi sistem Pengajuan Tunggal Online sehingga keputusan diberikan dari dalam provinsi, bukan dari otoritas di luar pulau.
Awal minggu ini, Mantan Wakil Gubernur Bali dan Ketua Asosiasi Hotel dan Restoran Bali, yang akrab disapa Cok Ace, menyerukan agar sektor pariwisata dinilai dengan cara lain selain volume kedatangan.
Menurut Cok Ace, lebih banyak belum tentu lebih baik dalam hal pariwisata di Bali. Bali dituduh ‘mengutamakan pertumbuhan dengan cara apa pun’, dan dampak negatif dari pertumbuhan eksponensial ini mulai dirasakan oleh masyarakat lokal dan wisatawan juga.