PARIS, bisniswisata.co.id: Salah satu yang menarik dari Indonesia adalah berbagai cerita rakyat dan legenda serta hal-hal mistis yang melingkupinya. Jika ditilik lebih dalam, sebagian besar figur mistis tersebut digambarkan dalam sosok perempuan berambut panjang tergerai.
Mengapa banyak perempuan yang digambarkan sebagai sosok yang kuat, namun menakutkan? Mungkin ini hanya sebuah kebetulan ataukah ada nilai-nilai dan efek dari kecenderungan budaya patriarki yang menimbulkannya, yang membentuk tradisi dan peran perempuan dalam masyarakat? Sampai sekarang, ini masih jadi sebuah misteri.
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi titik awal Toton dalam menciptakan koleksi musim dingin 2018-nya. Lewat koleksi terbarunya yang bertajuk Sihir, Toton mencoba menggali lebih dalam akan makna dari stereotip identikal soal hantu dan perempuan.
“Saya mengamati dalam cerita misteri, jarang perempuan jadi pahlawan. Biasanya perempuan digambarkan menjadi korban, lalu membalas dendam menjadi setan. Mengapa hal ini sering muncul?” katanya penuh pertanyaan.
“Menurut saya, salah satunya mungkin karena ketakutan laki-laki akan sosok perempuan yang kuat. Di sini kami mengambil referensi-referensi kecantikan perempuan, seperti bunga-bunga, yang memakan siluet-siluet maskulin seperti trench coat, jaket, dan denim.” sambungnya seperti dilansir laman CNNIndonesia.com, Selasa (06/03/2018).
Diperagakan bersama 29 desainer internasional lainnya di Tranoi Week, sebuah pameran trading fashion internasional di Paris, Toton menyajikan koleksi kontemporer yang memikat, tapi bukan karena ia menyajikan budaya Indonesia secara-terang-terangan, seperti memakai kain batik atau kain tradisional lainnya.
Ke-Indonesia-an koleksi Toton tersembunyi rapi di jahitan-jahitan dan variasi payet serta sulaman. Hal ini menjadi salah satu keuntungan para emerging desainer, karena karya mereka dilihat lebih dari kualitas desain dan bukan dari cerita latar belakang atau asal-usul sang desainer.
“Meskipun salah satu ide awalnya datang dari legenda serta cerita rakyat, termasuk Suzanna dalam berbagai tokoh dan versi, tapi tidak ada kegelapan di sini,” kata Toton di Paris.
“Justru itulah tantangannya, bagaimana mengambil karakter yang kuat dan menciptakan pakaian yang feminin dan maskulin di saat yang sama.”
Dikemas dalam koleksi yang terlihat seperti karya kolase sebelumnya – denim, rafia, mutiara sebagai bordir, dan kain perca, Toton menggali lebih dalam definisi feminisme dan tidak terjebak dengan klise-klise yang biasa sehingga menghasilkan koleksi yang matang namun tetap beraura mistis.
Pemberdayaan lokal saat ini menjadi semangat para desainer baru dan juga kaum milenial, Toton pun secara konsisten mendukung gagasan itu. “Kita ingin memberdayakan tenaga dan sumber daya lokal, dibuat di Indonesia, dibuat oleh orang-orang Indonesia. Meskipun ada beberapa bahan yang kami impor dari luar negeri, seperti sutera organdi, semuanya masih harus diproses di Indonesia,” ujarnya.
Setelah memenangkan Woolmark Prize untuk region Asia di tahun 2016, Toton, yang juga meyakini bahwa label luxury bisa ramah lingkungan, mendaur ulang sisa bahan wool dan denim dari koleksi-koleksi sebelumnya.
“Repurpose, recycle. Kami yakin hasilnya akan sangat baik, dan karena beberapa bahan bakunya daur ulang, hal ini menjadikan banyak pakaian kami tidak ada yang sama persis.”
Apakah hal ini tidak akan menjadi perhatian para buyer? “Keunikan ini saya pikir justru menjadi sebuah benefit bagi para buyer, karena banyak dari konsumen yang menginginkan item yang eksklusif.”
Dengan membuka showroomnya di Tranoi Week di 108 rue Vieille du Temple, Paris selama pagelaran Paris Fashion Week, Toton yakin, meskipun tidak mengusung karya-karya yang selalu diasosiasikan dengan Indonesia seperti batik dan modest wear, karyanya akan diterima masyarakat luas, termasuk warga kota mode, Paris. (CNN)