SINGAPURA, bisniswisata.co.id: Muslimah boleh bepergian selama syarat keamanan dan menjaga agama dan kehormatannya terpenuhi. Sebagian memperbolehkan perempuan melancong tanpa didampingi mahram dengan ketentuan tertentu, sedangkan pihak yang lain berpandangan hal itu tidak diperbolehkan berdasarkan rentetan argumentasi.
1.Tidak diperbolehkannya seorang wanita bepergian tanpa mahram
Pendapat ini dianut oleh ulama dari mazhab Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal. Hal ini didasarkan pada pemahaman mutlak dari banyak riwayat dari Nabi s.a.w.
Abu Hurairah r.a. menyatakan: Rasulullah bersabda,
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan perjalanan sehari semalam kecuali dia ditemani oleh seorang mahram (suami atau kerabat laki-laki yang dilarang untuk dinikahinya).” [Al Bukhari dan Muslim]
Ibnu ‘Abbas r.a. mengatakankan: Nabi bersabda,
“Tidak boleh seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali di hadapan mahramnya. Tidak boleh seorang wanita bepergian kecuali ditemani mahramnya.
” Seorang laki-laki berkata: “Ya Rasulullah! Saya telah terdaftar untuk ekspedisi ini dan itu, dan istri saya berangkat haji.” Dia berkata kepadanya, “Pergi dan lakukan haji dengan istrimu.” [Al Bukhari dan Muslim].
2.Dibolehkan bagi seorang wanita untuk bepergian tanpa mahram
Dilansir dari Muslim.sg, pendapat ini dianut oleh ulama dari mazhab Imam Syafi’i, Imam Malik dan oleh sebagian besar ulama kontemporer: Syekh Yusuf Al Qardhawi, Dewan Fatwa Eropa, Darul Ifta’ dari Mesir, Syekh Qara Daghi dan ulama dari Al Azhar.
Jelas, para ulama ini menyadari keberadaan riwayat otentik yang disebutkan di atas dari Nabi . Namun, mereka menggunakan ilmu-ilmu hadits untuk mengkaji hadits secara mendalam termasuk melihat asbab al wurud (alasan mengapa hadits diucapkan oleh Nabi ), isnad (rantai narasi) dan illah (alasan efektif).
Para ulama ini menyimpulkan bahwa illah (alasan efektif) mengapa wanita tidak diizinkan bepergian tanpa mahram di masa lalu adalah karena masalah keamanan. Jika dia dapat memenuhi persyaratan yang memungkinkannya untuk bepergian dengan aman, larangan itu dicabut.
Untuk mendukung keputusan ini, ada riwayat lain berdasarkan Sahih Bukhari dalam Fathul Bari yang ditulis oleh Ibnu Hajar: Diriwayatkan melalui ‘Adiy Ibn Hatem r.a. bahwa Nabi mengatakan kepadanya, “Dan jika Anda panjang umur, Anda pasti akan melihat wanita bepergian dari Hira sampai mereka tawaf Ka’bah, tidak takut kepada siapa pun kecuali Allah”.
Diriwayatkan Imam Ahmad dari hadits tersebut meliputi: “Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya Allah akan menyelesaikan urusan ini [Islam] sampai wanita bepergian dari Hira dan tawaf Ka’bah tanpa ditemani oleh siapa pun.” Para ulama menyebutkan bahwa riwayat khusus dari Nabi ini adalah bentuk kabar gembira.
Oleh karena itu, menurut para ulama yang cenderung pada pendapat ini, diperbolehkan bagi seorang wanita untuk bepergian tanpa mahram jika dia memperhatikan hal-hal berikut:
- Dia memastikan bahwa jalan menuju tujuannya dan dalam perjalanan pulangnya aman dan dia tidak menemui gangguan dan kekacauan yang dapat membahayakan keselamatan.
- Dia memiliki teman yang dapat dipercaya sepanjang perjalanan.
Mayoritas ulama, seperti ‘Ata’, Sa’id Ibn Jubair, Ibn Sirin dan Hasan al Basri, juga telah mengizinkan seorang wanita untuk melakukan perjalanan haji wajib tanpa mahram jika dia ditemani oleh orang-orang yang dapat dipercaya.
Imam Abu al Hasan Ibn Batal disebutkan dalam Sharh Bukhari, “Imam Malik, Imam Al Awza’i dan Imam Syafi’i berkata, ‘Seorang wanita yang tidak memiliki mahram dapat melakukan perjalanan haji wajib dengan wanita lain di perusahaan yang dapat dipercaya.’
Para ulama ini mendasarkan pendapat mereka pada sebuah preseden – Ibu Mukminin ra melakukan haji setelah kematian Nabi dan selama kekhalifahan ‘Umar ra sementara mereka ditemani oleh ‘Utsman bin ‘Affan ra, yang jelas bukan mahram. Selanjutnya, Ibn ‘Umar menemani wanita dari antara tetangganya untuk haji.
Dalam pendapat lain, Imam Al Baji, seorang ulama Maliki, menyebutkan dalam Al Muntaqa Sharh Al-Muwatta bahwa perjalanan seorang wanita tanpa mahram tergantung pada jumlah orang yang menemaninya.
Tidak halal baginya bepergian tanpa mahram jika dia bersama sekelompok kecil orang. Akan tetapi, boleh bepergian tanpa mahram jika ditemani oleh banyak orang yang dapat menjamin keselamatannya. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Al Awza’i.
Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini tetapi menurut pendapat pribadi saya bahwa lebih baik bagi seorang wanita untuk berhati-hati dan melakukan semua upaya untuk bepergian dengan perusahaan yang dapat dipercaya yang dapat menjaga keselamatannya, dan itu mungkin termasuk maḥram.
Dalam Islam, wanita diberikan status tinggi dan tidak dianggap sebagai jenis kelamin yang lebih lemah. Prinsip di balik riwayat Nabi tentang bepergian dengan mahram adalah untuk menghormati, melindungi, dan memberikan perhatian khusus kepada wanita.
Terserah individu untuk memilih pendapat mana yang dia rasa nyaman, tanpa mengabaikan yang lain. Semua pendapat yang disebutkan berasal dari para ulama yang berpengetahuan dan layak dalam memberikan ijtihad mereka. Semoga Allah merahmati mereka dan semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua.