JAKARTA, bisniswista.co.id: Bank Indonesia (BI) menilai besarnya potensi jumlah wisatawan muslim global yang berkunjung ke Indonesia membuat wisata halal menjadi mesin pendorong industri halal Indonesia. Tercatat tahun 2018, terdapat 140 juta wisatawan muslim yang melakukan perjalanan wisata, termasuk berkunjung ke Indonesia dengan belanja online sebesar US$35 miliar. Tahun 2020 diproyeksikan mencapai 158 juta orang.
Dari jumlah itu, kunjungan wisatawan asing muslim ditargetkan mencapai lima juta orang pada 2019. Tahun lalu, kedatangan mereka berjumlah 2,6 juta orang dari total 15,8 juta turis asing.
“Tahun 2019 Indonesia bersama Malaysia menempati posisi teratas negara dengan destinasi wisata halal terbaik (menurut laporan Global Muslim Travel Index 2019),” papar Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Dody Budi Waluyo, pada acara Indonesia Halal Tourism Summit di Jakarta, Jumat (15/11/2019).
Dilanjutkan, dalam pengembangan wisata halal, paradigma utama yang perlu dipahami bersama adalah wisata halal tidak bertujuan untuk mengasingkan wisatawan muslim dari kegiatan pariwisata umum atau untuk membatasi wisatawan nonmuslim di tujuan wisata tertentu.
Namun, pengembangan wisata halal bertujuan untuk memberikan kenyamanan bagi wisatawan muslim dalam melaksanakan ibadah sesuai syariat agama pada saat bepergian. “Bagi wisatawan nonmuslim, wisata halal diharapkan dapat memberikan layanan wisata yang aman dan sehat sekaligus untuk memperkenalkan ajaran islam sebagai nilai yang universal,” tambah Dody.
Sementara Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memberikan lima jurus untuk mendorong industri halal di Indonesia. Kelima jurus tersebut adalah competitiveness (daya saing), certification (sertifikasi), coordination (koordinasi), campaign (publikasi), dan cooperation (kerja sama). “Implementasi lima jurus tersebut dapat menjadi kunci untuk menjadikan Indonesia tidak hanya sebagai pasar, tetapi juga sebagai basis produksi industri halal global,” ungkapnya.
Dilanjutkan, competitiveness alias daya saing dapat dilakukan melalui pemetaan sektor-sektor potensial yang dapat dikembangkan, seperti sektor makanan dan minuman, fesyen, wisata, dan ekonomi digital. Sementara sertifikasi diperlukan untuk memperluas akses pasar. Oleh karena itu, para pengambil kebijakan dan pelaku perlu bersama mendorong agar barang dan jasa yang dihasilkan memperoleh sertifikasi halal.
Sedangkan, sambung dia, Koordinasi dan sinergi kebijakan dan program antara pemerintah, BI, dan lembaga terkait diperlukan untuk menjadikan ekonomi syariah sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru. Promosi diperlukan untuk memperkenalkan kepada publik bahwa gaya hidup halal bersifat universal, tidak hanya untuk muslim, namun juga untuk nonmuslim.
Yang terakhir, kerja sama antara pemangku kepentingan industri halal nasional dan internasional juga merupakan prasyarat untuk membangun dan mengembangkan industri halal global, tandas Gubernur BI.
“Kelima jurus di atas untuk menjawab tantangan perkembangan industri halal global yang dapat dimanfaatkan Indonesia, yaitu potensi pasar industri halal global yang semakin meningkat sejalan dengan populasi penduduk muslim sebanyak 1,84 miliar atau sekitar 24,4% dari populasi dunia,Potensi pengembangan sektor usaha berbasis syariah serta halal telah menjadi pilihan gaya hidup baik bagi muslim maupun non-muslim,” kata Perry sebagaimana dikutip dari laman BI.
Menurut Global Islamic Economy Report, pada akhir 2023, industri makanan halal akan bernilai US$1,8 triliun, industri pariwisata halal akan bernilai US$274 miliar, dan industri mode halal akan bernilai US$361 miliar.
Potensi tersebut, kata Perry, harus didukung dengan langkah antisipatif untuk menjawab beberapa tantangan, antara lain perkembangan digitalisasi, perlunya konvergensi internasional, tata kelola industri halal dan regulasi yang tepat di seluruh dunia, termasuk mekanisme pembiayaan syariah yang dapat dipertanggungjawabkan dan selalu berusaha menghasilkan barang dan jasa yang halal. (ndy)