MAGELANG, bisniswisata.co.id: Candi Borobudur warisan budaya tak pernah berhenti menginspirasi peradaban di sekitarnya. Salah satunya, kerajinan batik yang berkembang dengan mengangkat potensi dan keindahan obyek lokal. Keunikan motif batik khas Borobudur ini, antara lain, ditampilkan oleh batik Kembang Batik yang dibuat Siti Khamzanah (31), warga Desa Kembanglimus, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Berawal dari mengikuti pelatihan membatik di kantor desa pada 2018, kini aktivitas membatik tidak bisa ditinggalkan. Siti khusus memproduksi karya batik tulis, yang setiap prosesnya dia kerjakan sendirian. Selama setahun ini, dia membuat batik bermotif benda-benda yang biasa dilihat dari lingkungan sekitar, mulai dari daun jaruman—tanaman serupa alang-alang—balai ekonomi desa (balkondes) dengan atap bergambar nanas, hingga Gereja Ayam.
Gereja Ayam atau disebut Gereja Merpati adalah obyek wisata di Perbukitan Menoreh yang populer setelah menjadi lokasi shooting film Ada Apa Dengan Cinta 2, yang hanya berjarak sekitar 300 meter dari rumah Siti. Balkondes adalah pusat kegiatan, penggerak ekonomi desa yang didirikan Kementerian BUMN sejak 2017. Kini, di kawasan Balkondes Kembanglimus tengah dibudidayakan nanas sebagai komoditas unggulan.
Tak mau memakai motif batik klasik seperti parang atau kawung, Siti menegaskan akan terus membatik dengan menggunakan motif-motif khas yang bersumber dari kekayaan alam di desa. ”Saya juga berencana memakai motif singkong, baik tanaman maupun daun-daunnya, serta daun pepaya,” ujarnya.
Selain mengembangkan motif batik, Siti juga belajar pewarnaan. Kebetulan, tahun ini, bersama UNESCO, sejumlah perajin batik, termasuk dirinya, diajarkan membuat pewarna dari bahan-bahan alami. ”Dari pelatihan tersebut, saya baru tahu, ternyata gula aren pun bisa bermanfaat untuk dipakai dalam proses pewarnaan,” lanjutnya seperti dilansir laman Kompas, Kamis (14/11/2019).
Gula aren biasa dipadukan dengan warna indigo. Paduan keduanya akan menghasilkan warna biru yang mencolok. Dari pelatihan tersebut, dia pun mengetahui bahwa daun rambutan bisa menghasilkan warna hitam, sedangkan kulit daun mahoni bisa menghasilkan warna kuning.
Inspirasi alam
Gairah membatik juga tumbuh di Desa Ngargoretno, Kecamatan Salaman, yang berjarak sekitar 9 kilometer dari Candi Borobudur. Di sana, Widiharto (33) bersama kakaknya, Widarsih (36), berkarya membuat batik tulis khas berlabel Batik Kere Blirik Gendis.
Batik tulis karya Widiharto ini memiliki kekhasan berupa motif yang terinspirasi dari keadaan alam di desanya. Keunikan lain juga terdapat pada teknik canting berupa blirik atau zig-zag. Salah satu motif yang dikembangkannya adalah motif kricaan, yang merupakan gambar pecahan-pecahan marmer berwarna merah hati.
Batik tulis karya Widiharto ini memiliki kekhasan berupa motif yang terinspirasi dari keadaan alam di desanya. ”Motif kricaan ini terinspirasi dari bongkahan marmer merah yang merupakan ikon desa ini,” ucap Widiharto yang akrab disapa Widi.
Selain motif kricaan, ada pula motif kambing etawa yang merupakan komoditas ternak unggulan warga Desa Ngargoretno. Daun bambu menjelma menjadi motif godong garing atau daun kering serta godong kobong atau daun terbakar. Ada pula motif gula dengan wujud kombinasi antara sulur pohon kelapa dan perbukitan.
Widi mengatakan, nama ”kere” yang dipakai sebagai label batik ini dalam bahasa Jawa bermakna miskin. Kata ini sengaja dipakai untuk menggambarkan usaha batiknya yang memang dirintisnya dalam kondisi miskin modal dan pendanaan.
Kata ”kere” juga dimaksudkan merupakan pelesetan dari keri, yang dalam bahasa Jawa bermakna ketinggalan. Widi menyebutkan, batiknya ketinggalan atau tertinggal dalam arti ada sejumlah tempat lain yang lebih dahulu mengembangkan batik, misalnya daerah Wanurejo dan Sawangan, Magelang.
Widi merupakan lulusan D-3 Perhotelan Akademi Pariwisata STIPARY Yogyakarta dan pernah bekerja sebagai juru masak di hotel di Jakarta. Sembari bekerja, ia mendalami ilmu tentang batik dan kemudian pulang kampung untuk mendirikan usaha Batik Kere. ”Saya prihatin, tidak banyak anak muda yang meneruskan membatik ini,” katanya.
Menurut Widi, jiwa seninya berasal dari kakek-neneknya yang hidup di lingkungan membatik di Samigaluh, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Semangat membatik tersebut kemudian dibawanya ke tempat kelahirannya di Desa Ngargoretno.
Salah satu kendala yang dihadapi Widi adalah kurangnya sumber daya manusia yang tekun untuk mencanting di desa itu. Meski ada sekitar 10 ibu rumah tangga yang pernah mendapatkan pelatihan membatik, mereka belum tertarik menjadikan batik sebagai sumber pemasukan karena sebagian besar masih mengandalkan hasil bertani.
Akhirnya, karena hanya dikerjakan secara intensif dengan sang kakak, Widi baru bisa memproduksi 5 sampai 10 lembar batik tulis per bulan. Bahkan, ada juga batik tulis yang baru bisa diselesaikan hingga tiga bulan. Biasanya batik ini punya kerumitan motif dan pewarnaan. Batik karya Widi dijual mulai harga Rp 300.000 sampai Rp 450.000 per lembar. Penjualannya pun berdasarkan pemesanan orang per orang.
Hal ini juga diakui Siti Khamzanah. Menurut dia, dari 12 warga Desa Kembanglimus yang pernah mengikuti pelatihan membatik pada 2018, kini hanya lima orang yang terus tekun dan menjalankan aktivitas memproduksi batik. Sebagai pemula yang belum memiliki permintaan rutin, Siti pun belum berani mencurahkan segenap perhatiannya pada usaha batik.
”Saat ini, saya masih melakukan aktivitas membatik sebagai kegiatan untuk mengisi waktu luang saja,” ujarnya. Dengan pola seperti itu, dalam waktu sebulan, Siti hanya menghasilkan satu atau dua lembar kain. (ndy/Kompas)