Empat sekawan di sayap Elang Gancik, Selo, Jateng. ( foto-foto: Forwarpar)
Forum Wartawan Pariwisata (forwarpar) Kemenparekraf menyelenggarakan famtrip dari 18- 21 November 2019. Selama kegiatan berlangsung para awak media di ajak mengunjungi sejumlah destinasi andalan Jawa Tengah di Solo, Boyolali dan Klaten. Berikut laporan perjalanannya
SELO, Boyolali, bisniswisata.co.id: Siap-siap bangun di pagi buta untuk melihat matahari terbit ( sunrise) menjadi agenda hari ke empat eksplor obyek-obyek wisata di Boyolali dan Klaten, Jawa Tengah.
Kegiatan hari ini kental dengan wisata alam dan petualangan karena dari Boyolali akan mengunjungi Mata Air Cokro, Klaten lanjut kembali ke Solo untuk naik kereta Api Argo Dwipangga tujuan Jakarta jam 20.00 WIB.
” Kita siap kumpul di cafe Damandiri tempat kita datang ke homestay ya. Jangan lupa sudah kumpul jam 4.00 pagi,” ujar Johan Sompotan sang ketua Forwarpar.
Maklum selama di Selo kami tidur di berbagai homestay yang ada sehingga titik kumpul saat makan adalah di cafe Damandiri dan kali ini untuk berangkat bersama mengintip matahari terbit juga di tempat yang sama.
Tepatnya homestay kami berada di Dukuh Jarakan RT04/RW07, Samiran, Selo, Boyolali, Jawa Tengah. Fasilitas di cafe ini bisa untuk parkir 10 mobil sehingga mobil-mobil jeep untuk membawa anggota Forwarpar ke Bukit Gancik Selo Boyolali stand by di sini.
Naik jeep terbuka di pagi buta memang menjadi tantangan sendiri, apalagi perut terasa lapar terus di tengah udara dingin. Sementara sebagian anggota rombongan berangkat dengan tiga jeep, sisanya tetap berada di bawah selimut.
Berada di ketinggian sekitar 1.850 Mdpl, lokasinya di kaki Gunung Merbabu. Keberadaan Gancik Hill Top Selo ini cukup populer di kalangan wisatawan karena pemandangannya yang indah dan instagramable.
Konsep utamanya adalah gardu pandang sehingga bisa menyaksikan pesona alam desa Selo Nduwur dan desa-desa lainnya yang terlihat asri dari ketinggian. Ada beberapa gardu pandang yang dihubungkan langsung jembatan bambu, sehingga mempermudah pengunjung berkeliling di area wisata itu.
Kalau takut ketinggian dan nafas tersengal-sengal memang sulit mencapai Gancik untuk berpose di sayap elang. Pagi itu hanya Imam, Bowo, Aaron dan Vessy Frizona yang bisa berpose ria dan menikmati siraman matahari di tempat tertinggi.
Di tempat inilah pengunjung berburu keindahan sunrise maupun saat matahari tenggelam (sunset). Pesona matahari yang terbit dari bukit tak usah diragukan keindahannya, hanya saja harus datang tepat waktu karena belum lagi jam lima pagi, sinar matahari sudah mulai muncul.
Saat matahari terbit maka dari gardu pandang saja pengunjung bisa menyaksikan hamparan sawah, rumah-rumah dan area perkebunan warga sekitar. Keindahan yang sulit didapatkan ketika hidup di kota.
Selain dijadikan objek wisata alam kekinian, wisata Gancik Hill Top Boyolali juga dijadikan sebagai jalur pendakian baru ke gunung Merbabu. Jika mendaki melalui jalur Gancik maka akan muncul di pos tiga jalur pendakian gunung Merbabu melalui Selo lama.
Supaya memudahkan berwisata disana, pihak pengelola telah menyediakan berbagai fasilitas wisata seperti spot foto, area parkir luas, toilet umum, ojek, warung-warung makan dan camping ground.
Sebelum menjadi objek wisata, Bukit Gancik sudah tersohor di kalangan pendaki karena berada di sini juga kerap dijuluki Negeri di Atas Awan. Konon pada musim penghujan, Bukit Gancik seolah menyembul di atas lautan awan yang menaungi lereng Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.
Jadi ingat saat kemarin duduk manis di depan pondokan. Dari kejauhan bisa melihat bukit New Selo, lereng Gn Merapi berkalung awan tapi puncaknya tetap jelas terlihat, menjadi panorama yang indah.
Banyak teman dan keponakan yang justru bolak-balik ke Jepang menikmati pegunungan di negri Sakura itu. Padahal di Selo juga tidak kalah cantiknya. Mau lihat bunga-bunga indah juga bertebaran di halaman pondokan. Bahkan bunga mawarnya anti mainstream alias banyak warna seperti oranye yang jarang saya lihat di toko bunga Jakarta.
Gancik awalnya dibuat untuk tempat nongkrong sederhana buat masyarakat sekitar dan pendaki yang baru turun dari puncak gunung pada 2016 saat objek wisata alternatif berbasis alam sedang tren. Bambu-bambunya juga sumbangan dari masyarakat.
Gardu pandang itu disambungkan dengan ‘jalan layang’ yang juga dibuat dari bambu, mulai dari lantai, pagar, dan tiang-tiang penyangganya. Jalan atau jembatan layang itu cukup panjang dan berliku-liku mengikuti kontur tepi Bukit Gancik sisi timur dan selatan.
Selain menjadi panggung untuk menyaksikan keindahan lanskap lereng Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, estetika bentuk gardu pandang dan jalan layang bambu itu menarik perhatian wisatawan pula sehingga banyak yang datang.
Berkat foto-foto dan cerita pengalaman pengunjung yang merebak di media sosial, Gancik Hill Top pun naik daun, sampai ke telinga Presiden Joko Widodo. Orang nomor satu di RI sudah pernah berkunjung ke sini loh. Kekinian banget kan beliau.
Makan pagi minum susu segar panas dan pisang serta ubi rebusan kembali dilakukan di cafe Damandari yang menjadi titik kumpul. Ada permintaan makan mie instan untuk menikmati kuah panasnya juga dipenuhi oleh Johan Soputan. Kami boleh tidur lagi sejenak dan berkemas untuk meninggalkan Selo jam 11.00 siang.
Tiba di dalam Elf, anggota rombongan sudah lengkap sehingga langsung menuju obytk lainnya yaitu Mata Air Cokro Klaten, kota yang menyimpan tempat wisata menarik di antara Solo dan Jogja.
Selain terkenal akan Candi Prambanannya, Kota kecil ini juga populer dengan wisata air atau umbulnya. Sebut saja Umbul Ponggok yang bisa berfoto ria dengan ikan-ikan aneka warna seperti di dasar laut saja padahal cuma di kolam mata air juga.
Kurang dari satu jam rombongan sudah tiba di obyek wisata ini. Rupanya benar-benar mata air yang menjadi andal an pasokan air bersih untuk kota Solo dan sekitarnya. Dulu namanya dikenal dengan nama Umbul Ingas karena mata airnya berada diantara pohon Ingas berukuran besar.
Pohon ini pula yang menjadi atap alami lokasi tersebut sehingga hawa sejuk dan rindang akan menemani setiap wisatawan berkunjung. Selain itu pohon – pohon raksasa yang mengelilingi obyek wisata Klaten ini juga merupakan salah satu alasan air di umbul ini selalu jernih
Obyek Mata Air Cokro ( OMAC ) memiliki luas ± 15.000 m2. Di dalamnya jadi tempat yang asyik untuk bersantai bersama keluarga. Meski datang pada hari kerja ternyata tetap ramai oleh berbagai komunitas seperti Forwarpar yang khusus darang untuk river tubing dan makan siang.
Di Lokasi ini wisatawan baik anak – anak hingga dewasa akan menemukan keseruan yang berbeda. Selain umbulnya yang begitu jernih dan sejuk, tempat wisata ini juga telah memiliki berbagai fasilitas dan wahana yang menarik.
Saat melintas di atas jembatan irigasi di kawasan obyek, saya jadi berhenti memandang jernihnya air dan banyaknya ikan tawar yang berenang bebas. Ukurannya lumayan besar buat makan siang he he he..
Aktivitas kalau diturutin bisa menghabiskan banyak waktu karena ada mini waterboom, water slide yang kekinian, snorkeling atau menyelam di air tawar alami, river tubing, permainan susur sungai yang seru, rafting, bungy jumping, wahana pacu andrenalin terjun dari atas jembatan Sungai Cokro atau bisa melakukan aktivitas outbound.
Banyak ya aktivitas yang bisa dilakukan. Maaf banget waktu baru datang sempat under estimate juga, ternyata kreativitas menciptakan produk membuat pengunjung cukup sibuk.
Mau wisata kuliner juga bisa menyewa tikar untuk beristrahat dibawah rindangnya pohon – pohon Ingas dan menikmati berbagai menu yang ditawarkan.
Harga tiket masuk mata air Cokro Klaten ini juga sangat terjangkau bagi semua lapisan hanya sebesar Rp 10.500/ orang, harga tiket river tubing Rp 40.000. Sedangkan biaya parkir Omac sebesar Rp 3.000,-.
River tubing di Indonesia menjadi salah satu kegiatan wisata petualangan di berbagai daerah. Sensasi menghanyut dengan sarana ban di sungai tentu cukup menantang bagi sejumlah orang.
Dalam river tubing, wisatawan akan menaiki perahu dari ban truk satu persatu, setiap orang menaiki ban nya masing-masing. Namun, tak sembarang ban, ban yang digunakan ialah bekas ban dalam truk kontainer, yang dapat melindungi tubuh manusia dari sisi kanan dan kiri.
Ban truk tersebut kemudian dilengkapi webing, atau tali khusus outdoor di bagian bawahnya. Tali-temali ini berfungsi menjaga bagian pantat dari wisatawan saat melewati jeram yang ada batu di bawahnya.
River tubing kali ini dilakukan di aliran irigasi, dan sungai yang mengalir dengan ban untuk menghanyut. Di ban itu ada pegangan untuk tangan, ada juga yang polos tanpa pegangan.
Untuk pengaman hanya helm untuk pelindung kepala, pelampung dan sepatu karet saja yang digunakan rombongan. Body protector lain seperti pelindung siku sampai lengan, juga pelindung lutut hingga tulang kering kaki tidak ada.
Tak apalah karena medan susur sungainya tidak jauh dan aman dan sungainya juga tak begitu dalam, dimana pengunjung segala umur dapat berenang sepuasnya.
Namanya main air, agaknya memang permainan yang membuat lupa umur sehingga semua asyik menikmati kegiatan river tubing dan berfoto ria. Kapan lagi para pemburu berita ini bisa santai jika bukan sedang famtrip seperti ini meski tetap ada beban moral dan membuat laporan perjalanannya juga.
Makan siang yang tertunda hingga pukul 15.00 juga tidak masalah karena keseruan yang baru saja dilalui. Makan nasi bungkus, ikan goreng garing dan lalapan di atas tikar, di bawah rerimbunan pohon ingas memang luar biasa membuat aktivitas terakhir terasa komplit.
Di mobil ELF dalam perjalanan belanja oleh-oleh dan menuju ke stasiun Solo Balapan untuk kembali pulang, memang lagu Koes Plus yang paling pas di dendangkan terutama bagian reffrain
“Ke jakarta aku kan kembali……
Walaupun apa yang kan terjadi………”
Di sana rumahku
Dalam kabut biru
Di sana kasihku
Berdiri menunggu
Di batas waktu
Yang telah tertentu