MATARAM, bisniswisata.co.id: Wisata halal terus digaungkan. Pro kontra pun lahir ditengah gegap gempita. Beberapa daerah sempat menolak wisata halal seperti Bali, Tana Toraja, Nusa Tenggara Timur (NTT). Penolakan itu lantaran wisata halal identik dengan wisata syariah atau wisata religi. Namun beberapa daerah ada yang menerima, malah ada yang ragu-ragu dalam penerapannya.
Ketua Asosiasi Pariwisata Islam Indonesia (APII) Fauzan Zakaria mengatakan konsep wisata halal di Nusa Tenggara Barat (NTB) belum dimaksimalkan secara konkret pada tataran implementasi di lapangan. NTB, terutama Pulau Lombok yang sudah kadung dikenal sebagai destinasi wisata halal perlu memiliki kawasan yang menjadi proyek percontohan wisata halal.
Hal ini penting, sambungnya, untuk menjawab keinginan pasar wisata halal. “Saat kita berpromosi khususnya pada pasar wisata halal, selalu saja para pelaku wisata menanyakan mana wisata halal di NTB, wujudnya seperti apa, apakah (Gili) Trawangan, Senggigi, atau Mandalika,” ujar Fauzan di Mataram, Rabu (26/6).
Ia menilai adanya kawasan wisata halal memudahkan para pelaku usaha wisata menjawab pertanyaan dari pelaku wisata mancanegara atau wisatawan mancanegara (wisman) terkait destinasi wisata halal di NTB. “Saya pikir sudah saatnya harus ada sebuah kawasan proyek percontohan untuk wisata halal ini di NTB,” ucap Fauzan.
APII mendorong adanya proyek percontohan wisata halal. APII pernah mengusulkan proyek percontohan wisata halal di beberapa objek wisata seperti Pantai Mawun di Lombok Tengah dan Gili Meno di Lombok Utara. Kedua tempat ini memiliki pantai eksotis yang relatif belum begitu ramai dan dapat dikembangkan menjadi destinasi wisata keluarga yang nyaman. “APII sudah berkali-kali sampaikan harus ada proyek percontohan wisata halal, tapi kembali ke kebijakan pemerintah,” lanjut Fauzan.
Fauzan mengungkapkan NTB pada dasarnya sudah berhasil mengenalkan citra daerah sebagai destinasi wisata halal. Provinsi ini pernah meraih The Best World Halal Destination dan The Best Halal Honeymoon Destination pada 2015. Meski begitu, keberhasilan ini dapat menjadi bumerang apabila gambaran tentang wisata halal saat promosi tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Seperti dilansir laman Republika, Kamis (27/06/2019), menurut Fauzan, NTB perlu melakukan pembenahan destinasi wisata mulai dari sarana, prasarana, hingga kualitas sumber daya manusia (SDM). Selain itu, Fauzan juga menyoroti belum adanya aturan baku mengenai prosedur operasi standar (POS) wisata halal di NTB.
Dicontohkan, model wisata sejarah dan religi yang ditawarkan Mesir seperti di Masjid Al-Azhar, di mana dalam POS diatur tata cara busana dengan menyediakan gamis bagi para wisatawan. “Wisatawan merasa senang. Mereka mau menggunakan baju gamis yang disediakan, malah bangga berswafoto di masjid tersebut,” kata Fauzan.
Fauzan ingin wisata halal NTB memiliki POS yang kurang-lebih serupa di mana ada tata cara aturan hingga penggunaan busana dengan mengangkat kearifan lokal. “Wisatawan juga pasti senang karena ada pengalaman baru sehingga kita tidak hanya sekadar jual keindahan alam, tapi juga keunikan kultur budaya,” ujarnya.
Fauzan menegaskan konsep wisata halal di NTB tidak akan menghilangkan segmentasi wisata konvensional. Akan tetapi semakin memperkuat potensi wisata NTB lantaran keduanya memiliki pangsa pasar yang berbeda. Sebagai ‘pemain baru’, segmentasi wisata halal harus tampil lebih baik dari wisata konvensional baik dari aspek layanan, kebersihan, hingga kenyamanan.
“Wisata halal sumbernya Islam dan sangat menekankan pentingnya kebersihan. Tidak bisa dikatakan wisata halal kalau tidak bersih. Pun dengan servis wisata halal juga harus lebih dari wisata konvensional. Memuliakan tamu harus jadi ciri khas wisata halal NTB,” kata Fauzan menambahkan.
Mispersepsi
Pakar Pariwisata Universitas Andalas, Sari Lenggogeni menilai kurangnya pemahaman masyarakat mengenai definisi wisata halal menjadi salah satu kendala yang menyebabkan destinasi halal Indonesia dinilai masih kurang populer. Masyarakat di negara mayoritas muslim seperti Indonesia cenderung melihat wisata halal sama dengan wisata religi.
“Jadi masalah pemahaman pariwisata halal, yang jadi bias di masyarakat. Karena masyarakat mikirnya wisata halal itu sama dengan wisata syariah atau religi,” lontar Sari.
Sari menjelaskan wisata halal merupakan adopsi dari negara-negara non Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang melihat potensi besar dari pertumbuhan muslim di seluruh dunia. Wisata halal diciptakan untuk mewadahi kebutuhan beribadah bagi para muslim di negara- negara non OKI, seperti penyediaan tempat ibadah (mushola) dan restoran halal.
“Tetapi hal ini kemudian menjadi misintepretasi ketika Kementerian Pariwisata mengadopsi wisata halal, karena diciptakan di negara yang mayoritas muslim seperti Indonesia. Karena mayoritas muslim jadi masyarakat pikir semuanya sudah pasti halal dan wisata halal sama seperti wisata religi,” paparnya.
Sari menjelaskan ada tiga jenis wisata religi. Pertama, wisata dengan tujuan beribadah (pilgrim) seperti haji dan umroh. Kedua, wisata bersifat islami contohnya berwisata ke Turki untuk melihat sejarah kebudayaan Islam usai melakukan ibadah umroh. Ketiga, wisata halal yakni pemenuhan ibadah muslim saat mereka berwisata seperti mushola dan restoran halal.
“Jadi mereka melihat seperti wisata syariah Aceh. Di Aceh memang hukumnya syariah, jadi sudah sejak awal terikat hukum syariah. Sementara provinsi yang lain tidak seperti itu,” jelas Sari.
Sama halnya seperti di Sumatera Barat masih pakai hukum adat. Persepsi karena di Sumbar mayoritas muslim dan menggunakan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (Adat itu berfalsafah pada Al quran), maka setiap apapan kegiatan harus bereferensi ke Alquran.
Hal ini membuat mispersepsi muncul sehingga membuat banyak masyarakat yang bingung. Masyarakat menganggap wisata di kedua provinsi tersebut sama dengan wisata religi. “Makanya perlu regulasi untuk menyamakan persepsi. Regulasi ini yang mentok. Tidak akan berjalan dengan baik tanpa ada regulasi. Regulasi ini yang memberikan perlindungan dan asistensi pada pemerintah, wisatawan, stakeholder dan investasi, dan souvenirnya,” jelas Sari.
Wisata Muslim Frendly
Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Prof Azril Azahari menilai memang ada salah persepsi soal wisata halal. Mengingat dalam Hukum Islam ada 5 yakni Wajib, Sunnah, Mubah atau halal, Makruh dan Haram. Lebih baik mengunakan istilah yang umum dan enak didengar.
“Nah kenapa harus memakai istilah halal, itu berat lho karena berkaitan dengan hukum Islam. Kita kan bukan negara Islam. Lebih baik diganti saja istilah wisata halal dengan wisata muslim frendly. Ini lebih cocok,” lontar Azril kepada Bisniswisata.co.id, di Jakarta, Kamis (27/06/2019).
Dilanjutkan, menggunakan istilah wisata muslim frendly itu lebih familiar dan bisa diterima semua kalangan. Jika harus memakai wisata halal, maka pamuwisata wanita hingga pelayan hotel harus pakai jilbab, bahkan wisatawan perempuannya harus berjilbab, apa mau?. “Indonesia itu beda dengan Malaysia yang negara muslim sehingga menerapkan wisata halal. Kenapa sih kita tak pakai istilah sendiri,” tandasnya serius.
Jika, sambung Azril, wisata halal dikaitkan dengan makanan atau kuliner ini sangat tepat dan sangat setuju. “Dan itu harus diterapkan karena wisatawan muslim perlu tahu bahwa makanan itu halal atau tidak,” sambungnya.
Selain itu, tambah dia, penggunaan wisata syariah itu jangan dipakai lagi. Karena istilah syariah itu merupakan hukum Islam yang lebih tinggi lagi dari halal. “Halal saja sudaj berat jika diterapkan, apalagi syariah yang kedudukan lebih tinggi. Jadi lebih baik jangan menggunakan istilah Islam yang kadang kita tak maknanya, namun digunakan seenaknya untuk tujuan komersial,” jelasnya.
Ditambahkan, terkait dengan wisata religi ini sudah umumnya, yang artinya wisatawan melakukan perjalanan ke tempat ibadah atau ingin mengetahui sejarah, kondisi yang berkaitan di tempat ibadah yang harus selalu mengikuti aturan di tempat wisata religi itu.
“Misalnya wisatawan muslim kunjungi Pura di Bali, ya wajib mengikuti aturan memakai selendang. Atau wisatawan non muslim mengunjungi masjid peninggalan Walisongo, ya harus mengikuti aturan melepas sandal atau sepatu. Jadi wisata religi itupada spiritualnya,” tandasnya. (NDY)