EVENT INTERNATIONAL NASIONAL NEWS

Dewan Pers: Belum Ada Satu Regulasipun Untuk Melindungi Wartawan Perempuan Dari Kekerasan

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Dewan Pers menyoroti belum adanya satupun regulasi yang memberikan perlindungan terhadap wartawan perempuan yang mengalami kekerasan.

Hal itu diungkapkan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu pada acara Silaturahmi Wartawati PWI (SIWI) sebagai rangkaian acara Hari Pers Nasional (HPN) 2024 di Candi Bentar Putri Duyung Ancol, Jakarta Utara, hari ini, Sabtu (17/2/2024).

“Belum ada satu pun regulasi yang memberikan perlindungan terhadap wartawan perempuan yang mengalami kekerasan,” tegasnya di acara pertemuan yang sekaligus launching Bidang Pemberdayaan Perempuan di struktur organisasi PWI Pusat kepengurusan 2024-2028.

Diakui Nanik, Dewan Pers juga belum memiliki data riset yang utuh terhadap fenomena dan bentuk kekerasan yang dialami wartawan perempuan di seluruh Indonesia. Dibutuhkan perlindungab pada Wartawan perempuan yang terancam kekerasan seksual terutama yang berbasis siber serta gerakan agar seluruh wartawan dapat berperan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pers.

“Saat ini Indonesia memiliki mekanisme pencatatan kasus kekerasan berbasis gender pada perempuan yaitu SIMFONI PPA dan Catahu Komnas Perempuan. Namun tidak ada data terpilah tentang kekerasan Online pada wartawan perempuan yang dicatat oleh masing-masing mekanisme,”

Kekerasan terhadap wartawati itu, ujarnya, bisa disaat kerja berupa kekerasan verbal dari nara sumber, bisa juga kekerasan khas melalui media sosial si wartawati yang ‘dihantam’ oleh oknum yang diduga merasa dirugikan atas pemberitaan yang dibuat si wartawati tersebut.

Dari hasil riset UI dan AJI tahun 2022 terdapat bentuk kekerasan online ( cyber bullying)  terhadap jurnalis perempuan diantaranya adalah doxing atau penyebarluasan identitas jurnalis perempuan itu berupa pelecehan atau kata-kata kasar, body shaming , menerima pesan teks dan audio visual bersifat seksual dan eksplisit secara daring, komentar kasar atau menghina bersifat seksual secara online. 

Tak hanya kekerasan dari luar kantor, namun kekerasan juga bisa diterima sang wartawati dari atasan, sejawat dalam rangka menjalankan tugasnya. Makanya, menjadi penting forum ini bagi wartawati di SIWI HPN 2024 kali ini, sehingga wartawati bisa sejajar dengan wartawan lainnya, baik soal kerja sampai posisi atau jabatan. Juga adanya upaya mempercepat dibuatnya regulasi yang membela dan melindungi wartawati.

Menurut Ninik, belum adanya regulator perlindungan terhadap wartawan perempuan ternyata bukan hanya di Indonesia saja, melainkan ada di 39 negara lainnya seperti di Philipina.

“Pada salah satu Forum 32 negara, saya sampaikan bahwa Indonesia belum ada memberikan perlindungan terhadap wartawan perempuan karena bentuk kekerasannya khas. Ternyata tak bisa pakai UU yang baru disahkan yakni UU nomor 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” ungkapnya.

Ia memberi contoh seorang wartawati menulis tentang korupsi yang dilakukan pejabat publik. Tulisan ini lantas beredar dan banyak yang mencoba mendalami kasus tersebut. Namun caranya justru merusak alat-alat kerja dan merusak nama wartawan perempuan tersebut di media sosial dengan mensasar seksualitasnya, mengulik tentang pribadinya.

“Akhirnya secara tidak langsung, wartawan perempuan tadi berhenti melanjutkan berita tersebut karena terganggu di media sosial,” jelas Ninik.

Hasil survei Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) menunjukkan angka cukup tinggi sebesar 87 persen wartawan perempuan mengalami kekerasan seksual dalam menjalankan tugasnya.

Ninik juga mempertanyakan kenapa upaya pencegahan dalam kekerasan terhadap perempuan terlalu lambat. Contohnya kekerasan seksual di kampus juga tinggi, tapi demi melindungi institusi pendidikan kasus banyak ditutupi. 

Di sisi lain, masih ada wartawan buat berita perkosaan atau kekerasan terhadap anak perempuan dengan membuat nama inisial korban “Bunga” misalnya. Meski tak menyebut nama korban, tapi justru orang-orang yang bernama Bunga jadi korban.

Ada lagi wartawan yang membuat berita nama pelaku dibuat jelas.Padahal nama pelaku yang jelas dan benar justru jadi pintu masuk untuk mencari nama korbannya. Sedangkan korban belum tentu bisa menerima kejaran pers apalagi dalam kasus pemerkosaan yang membuatnya syok dan menjauh dari publik.

“Ternyata ruang pemberitaan kita masih belum bersih. Oleh karena itu Dewan Pers terus melakukan perlindungan terutama pada wartawati termasuk membuat riset terhadap gaji karena gaji wartawati ternyata masih lebih rendah dari rekan kerjanya yang pria dan perusahaan pers belum terbuka akan hal itu,” tegas Ninik.

Wanita yang sangat belasan tahun aktif dalam berbagai organisasi yang memperjuangkan nasih perempuan dan anak ini mengaku telah melakukan riset ke banyak kekerasan seksual terhadap perempuan. Ternyata masih banyak takut yang melapor.

Tahun 1996, Ninik menyebut dirinya pernah mendampingi kasus seorang anak perempuan diperkosa sama pacarnya. Inipun salah karena pacaran kok diperkosa. Akhirnya si perempuan itu tak diterima keluarganya dan masyarakat. Dia masuk ke rumah Doli Surabaya.

“Selama lima tahun dia terus kami dampingi. Perempuan tersebut kini akhirnya bisa diterima keluarga dan masyarakat,” kata Ninik dan  menambahkan sekarang Dewan Pers kerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA)
di kampus. 

Menurut Ninik, pers itu ruang yang sangat terbuka. Siapapun boleh berprofesi bekerja di pers, asal punya uang sekarang sudah bisa bikin portal berita (online). “Tapi mari sama-sama kita pagari dengan upaya mendirikan perusahaan pers profesional dan jurnalis profesional,” tegasnya.

 

Hilda Ansariah Sabri

Pendiri, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan pemegang sertifikasi Wartawan Utama Dewan Pers dan Ketua Departemen Pariwisata PWI Pusat (2018-2023)