ART & CULTURE

Seratus Penyair Indonesia & Asia Tenggara Baca Puisi di Kota Wali

KUDUS, bisniswisata.co.id: Sedikitnya seratus penyair nusantara dan negara kawasan Asia Tenggara berkumpul di kota Kretek Kudus Jawa Tengah. sejak Jumat (28/06) hingga Ahad (30/06/2019). Sebuah peristiwa langkah dan bersejarah yang digelar dua tahun sekali untuk membahsa perkembangan sastra dan budaya. Juga membuat buku antologi puisi bersama, serta membaca sajak di atas panggung bersama.

Tercatat dalam pertemuan para Penyair Nusantara (PPN) ke XI tahun 2019 ini, terdiri 46 penyair dari Jawa Tengah, 32 penyair nasional, 6 penyair dari Malaysia, 7 penyair dari Singapura, 6 penyair dari Thailand dan 4 penyair dari Brunei Darussalam.

Para penyair itu bukan hanya dari kalangan generasi tua, namun juga gerenasi muda hadir di Kota Kudus. Dipilihnya kota Kudus, lantaran tahun 2008 pernah sukses menggelar Kongres Sastra Indonesia. Kesuksesan itu menjadi pembicaraan nasional.

“Bakti Budaya Djarum Foundation juga ikut mendukung perkembangan sastra di Indonesia dan juga ajang tahunan penghargaan kesusastraan seperti Kusala Sastra Khatulistiwa Award dan Penghargaan Sastra Litera,” ujar Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation, Renitasari Adrian dalam keterangan resminya.

Memang, lanjut Renitasari, dalam pertemuan penyair ini muncul nama penyair baru, dan ini menunjukkan sebuah harapan baru, wajah baru, era baru dan generasi baru yang dapat diandalkan untuk meneruskan sastra dan budaya nasional. Juga berharap agar penyair muda Kudus bisa bermunculan untuk terus berkarya dan mencintai sastra Indonesia.

Selain itu, kehadiran para penyair dari pelosok nusantara dan negara tetangga diharapkan bisa memviralkan kota Kudus, yang terkenal sebagai kota Wali. Bukan hanya budaya Kudus yang eksotis, juga memiliki wisata sejarah masa lalu ditambah aneka ragam kuliner yang khas dan tradisional, sehingga memberi spirit bagi wisatawan nusantara (wisnus) maupun mancanegara (wisman) berkunjung ke Kota Kudus.

Sabtu (29/06/2019) malam, di pelataran timur Menara Kudus, digelar Panggung Penyair Asia Tenggara. Menara Kudus dibangun pada 1549 Masehi, menara ini penuh dengan rasa kemanusiaan dan keramahan. Menunjukkan para Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam penuh kedamaian.

“Di sini para penyair berkumpul membacakan puisi, seni dan intelektualitas selalu beriringan. Warga Kudus pun sangat antusias menyaksilannya selepas Magrib hingga larutmalam,” papar pengurus Menara Kudus, KH Nadjib Hasan dalam sambutannya yang dilanjutkan , membacapuisi berjudul “Karena Aku Mansuia” karya Mustofa Bisri.

Panggung yang didesain selaras dengan artistik Menara Kudus menambah kekhasan acara tersebut. Sebelum dimulai, kesenian khas Kudus dari kelompok Terbang Papat Menara sudah meramaikan panggung.

Penyair asal Aceh, Fikar W Eda tampil perdana, dengan membacakan kisah pedih yang pernah melanda warga Aceh pada tahun 1901 hingga 1905, yakni pembantaian yang dilakukan oleh penjajah Belanda.Judul puii yang dibacakan Fikar “Gerombolan Anjing Liar dari Netherland”.

Berturut-turut seusai Fikar, afa penyair Emi Suy membacakan puisi karya sendiri berjudul “Cinta Semesta”, Rosman dari Malaysia, Bode Riswandi (Tasikmalaya) membacakan “Enam stanza untuk Indonesia”, Thomas Budi membaca “Gus Mus Menjadi Venus”, Farida Taib (Singapura” mebaca puisi “Berkabung”, Didit Endro (Jepara), lanas Sulaiman Saha (Thailand).

Dilanjutkan Zawawi Imron (Madura) membaca puisi berjudul “Ibu” dan Ibu Pertiwi” atau “Tanah Sajadah”. “Tanah Sajadah kenapa kita harus cinta pada bangsa dan Tanah Air? Kita semua minum air Indonesia yang menjadi darah kita. Kita makan beras, buah-buahan Indonesia yang menjadi daging kita. Kita menghidup dan menjadi napas kita,” bunyi penggalan syair Ibu Pertiwi seperti dibacakan penyair yang baru saja menerima penghargaan dari Presiden Jokowi.

Disusul penyair Ampuan Brahim (Brunei Darussalam), Rini intama (Banten) membaca puisi “Surat untuk Oy”, dan panggung diisi Sutarji Calzoum Bachri, yang dikenal sebagai Presiden Penyair Indonesia. Bergaya seperti seorang deklamator, penampilan pria yang akrab Tardji begitu enerjik. Ia membacakan puisi yang dibuatnya pada September 2018 ‘Menulis’. Dengan lantang, sajak singkatnya berakhir dengan tepuk tangan penonton.

Aksi panggung berikutnya diisi tamu kehormatan KH Mustofa Bisri atau akrab dikenal dengan panggilan Gus Mus. Dengan gaya bicara yang teduh dan bijak, Gus Mus naik ke atas panggung dengan berkelakar.

“Puisi yang satu ini cocok sekali dengan kelakuan saya. Saya akan membaca puisi yang pertama, ada 18 puisi. Puisi yang akan dibaca adalah puisi anak muda untuk konsumsi yang muda-muda,” ucapnya terkekeh dari atas panggung.

Tak lagi guyon dengan gaya anak muda. Di puisi berikutnya Gus Mus tampak serius. Ia berganti posisi dengan duduk di tangga panggung. Sambil memegang kertas syairnya, ia membacakan sajak ‘Tadarus’ dengan tawadhu.

Ayat-ayat Alquran yang digubahnya menjadi sajak dan mampu membius yang datang tadi malam. “Idzaa zulzilatil-ardhu zilzaalahaa, wa akhrajatil-ardhu atsqaalahaa, waqaala-insaanu maa lahaa. Ketika bumi diguncang dengan dahsyatnya dan bumi memuntahkan isi perutnya. Dan manusia bertanya-tanya: Bumi itu kenapa?” ucap pemimpin pondok Pesantren Roudlotut Tholibin di Rembang.

Setelahnya Imam Maarif dengan gaya teatrikal menutup Panggung Penyair Asia Tenggara. Berakhirnya malam puncak Pertemuan Penyair Nusantara Kudus 2019 menyelesaikan forum yang berlangsung dua tahunan.

Penyair Nusantara (PPN) ke XI tahun 2019 menghasilkan rekomendasi. Di antaranya Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) akan dilaksanakan setiap dua tahun sekali dan PPN XII akan diadakan di Malaysia pada 2021. (redaksibisniswisata@gmail.com)

Endy Poerwanto