YOGYAKARTA, bisniswisata.co.id: Sebut saja Vinyet, bagi generasi milenial banyak yang tidak tahu dan mengenalnya. Namun bagi generasi baby boomer atau di era 50-an hingga 80-an pasti mengenalnya. Vinyet sebenarnya adalah genre seni rupa yang sempat populer di era 50-an sampai 80-an. Setelah itu hilang dan ditinggalkan para perupa.
VinYet jadi karya seni dibuat untuk ilustrasi sajak, puisi, atau karya sastra lainnya. Vinyet dibuat para seniman dan dikirim ke redaksi penerbitan majalah kebudayaan yang memuat sastra. “Vinyet erat kaitannya dengan sastra, ibarat sastra adalah air, maka vignet ikannya,” ujar Hermanu, kurator pada pameran ilustrasi sastra Vinyet dan skets di Bentara Budaya Yogyakarta, pada 22-30 Januari 2019
Puluhan vinyet yang dicetak ulang di lembaran kertas, dipigura, dan terpampang rapi di dinding Bentara Budaya Yogyakarta, masyarakat bisa menikmati kembali karya seni rupa yang pernah menghiasi beragam media massa di masa lalu. Deretan nama perupa yang menghasilkan vinYet dipajang. Sebut saja, Rusli Widayat, Nasyah, Bagong Kussudiardja, Fajar Sidik, Batara Lubis, Jeihan, Amri Yahya, dan lainnya.
Vinyet tidak sendirian dalam dunia sastra, ada pula sketsa. Dua cabang seni rupa ini nyaris serupa, tetapi memiliki maksud dan tujuan yang berbeda. Vinyet dibuat untuk ilustrasi yang cenderung menghias goresan artistik, sedangkan sketsa adalah goresan artistik yang menggambarkan tentang sebuah objek. Walaupun hanya goresan, karya seni rupa itu sudah membuat pembaca paham.
Karya-karya vinyet yang ditampilkan diambil dari majalah kebudayaan 1950-an. Salah satunya majalah Budaya terbitan Djawatan Kebudajaan Kementerian PP dan K. Banyak majalah kebudayaan dan populer yang mempunyai rubrik atau kolom khusus sastra yang memuat vinyet, seperti, Horizon, Kalam, Citra Jogja, dan Hai.
Hermanu menuturkan ada juga vinyet yang dimuat pada 1980-an dan sekadar ilustrasi pendamping puisi atau lagu-lagu populer saat itu. Pada 1990-an, ilustrasi sastra menggabungkan vinyet dan sketsa seperti yang dimuat di majalah Prisma.
“Tujuan dari pameran ini untuk mendokumentasikan karya seni rupa lama yang sudah terlupakan, bahkan generasi milenial mungkin sudah tidak mengenalnya,” ucap Hermanu seperti dilansir laman Liputan6.com, Senin (28/01/2019).
Lewat pameran juga bisa diketahui cabang seni rupa populer di masa lalu dan menggambarkan keberagaman seni rupa di Indonesia. Kehadiran vinyet yang tidak bisa berdiri sendiri dan harus menempel pada karya sastra membuat aliran seni rupa ini dianggap sebagai karya kelas dua. Keberadaannya kerap tidak dihargai dan tidak diarsipkan oleh media massa.
“Biasanya seniman mengirimkan ke redaksi dalam bentuk kertas, setelah dicetak di majalah, arsip aslinya dibuang,” tutur Yunanto, pengelola BBY.
Berbeda dengan lukisan yang biasanya masih disimpan oleh media massa. Hal itu pula yang membuatnya harus mereproduksi ulang vinyet dari majalah-majalah sebelum memamerkannya.
Ia menilai kebanyakan seniman membuat vignet dan mengirimkan ke redaksi majalah untuk mendapatkan honor. Rasa dalam membuat vinyet dan melukis juga berbeda. “Biasanya orang bikin vignet sambil lalu, berbeda dengan melukis yang fokus,” ucapnya.
Sekalipun terkesan diremehkan, vinyet dihasilkan oleh perupa ternama dari masa lalu dan hasilnya sangat artistik. “Era vinyet lebih dulu berakhir jika dibandingkan dengan media cetak. Ruang kosong yang diisi vinyet tergantikan dengan iklan atau bentuk promosi lainnya,” lontarnya.
Vinyet kini kehilangan ruang ketika era digital berkembang pesat sebab media online tidak memberi ruang kosong untuk hal-hal yang tidak bernilai untung. (NDY)