Komunitas Les Bavardes tiba di Padang, Sumbar
BUKITTINGGI, Sumbar, bisniswisata.co.id: Komunitas Les Bavardes mengawali bulan Juli 2019 ini dengan melakukan aktivitas bersama sekaligus memfasilitasi kehadiran dua anggotanya yang berdomisili di Swedia dan Australia.
Adalah Sri Darmastuti Sahlin dari Swedia dan Widha Chaidir dari Melbourne, Australia yang kali ini bergabung dalam tour Sumatra Barat selama 3 malam 4 hari ( 1-4 Juli 2019) dengan jumlah rombongan total 8 orang bersama Eulis Ibrahim, Erna Sehudin, Adhe Savitri, Atika Natalia, Dharmawati yang akrab di panggil Wati serta Tiwuk atau Endang Tri Wahyuni sang komandan.
Komunitas Les Bavardes berawal dari pertemanan semasa kuliah di jurusan Bahasa Perancis, Fakultas Bahasa dan Seni, Institut Keguruan Ilmu Pendidikan ( IKIP) Jakarta angkatan 1979 sehingga tahun ini adalah momentum 40 tahun kebersamaan.
Sayang, teman-teman yang tersebar di Jogja, Surabaya, Jakarta hingga Inggris seperti Artha Uli, Masayu Mahirah, Indra Blanquita, Ria Daisiwati, Christine, Harly Ramayani dan Juwita Jayawati yang kerap mengikuti kegiatan kini berhalangan hadir.
Selain tour menjelajah tempat pesona Indonesia dan kuliner, kegiatan komunitas Les Bavardes lainnya adalah di bidang sosial terutama menyambangi fasilitas pendidikan anak yatim piatu, mengunjungi para mantan dosen yang masih hidup, menjenguk yang sakit, kegiatan Jumat Berkah untuk dhuafa dengan pendanaan dari anggota dan aktivitas sosial lainnya.
Merajut silaturahim selama 40 tahun memang bukan hal yang mudah namun tekad untuk selalu bersama meski berbeda keyakinan justru membuat benteng persaudaraan makin kuat.
Sesuai ajaran agama Islam, misalnya, terdapat beberapa keuntungan yang di dapat jika mau dan selalu menjaga silaturahmi agar tetap tersambung yaitu “Silaturahmi Bisa Memperpanjang Umur”. Berdasarkan hadits Muttafaqun ‘alaihi, dijelaskan bahwa “Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi”.
“Silaturahmi Bisa Memperlancar Rejeki” Berdasarkan hadits Muttafaqun ‘alaihi, dijelaskan bahwa : “Ar-rahim itu tergantung di Arsy. Ia berkata: “Barang siapa yang menyambungku, maka Allah akan menyambungnya. Dan barang siapa yang memutusku, maka Allah akan memutus hubungan dengannya”.
Merancang tour Sumbar
Untuk perjalanan kali ini Widha Chaidir yang berperan sebagai Event Organizer ( EO) membuat rute hari pertama begitu mendarat di Minangkabau International Airport, Padang, langsung berwisata menuju ke Lembah Anai, Pandai Sikek dan menginap di Koto Gadang, kampung halamannya
Hari kedua, mengeksplor sekitar rumah di Koto Gadang, mengunjungi istana Pagaruyung dan menikmati keindahan Kelok 9. Di hari ketiga berkunjung ke Ngarai Sianok dari atas, Puncak Lawang, Danau Maninjau, Mesjid Raya Sumbar dan city tour kota Padang. Hari keempat pagi-pagi sudah di Minangkabau International Airport lagi kembali ke Jakarta.
Alhamdulilah pesawat mendarat tepat waktu sehingga belum jam sepuluh pagi rombongan sudah bersiap foto berlatar belakang tulisan Minangkabau International Airport. Pihak bandara memang menyediakan tempat selfie seperti pemandangan Bukit Harau di Payakumbuh dengan tulisan Lah Tibo ( sudah tiba) di Minangkabau.
Keluar dari bandara, Elvis supir yang akan menemani sehari-hari sibuk mengatur koper. Sementara rombongan juga sibuk berfoto ria dan mengamati atap runcing bangunan bandara yang menjadi ciri khas arsitektur Sumbar.
Atap runcing menghadap ke langit menjadi ciri khas rumah adat orang Minangkabau yang bertahan menghiasi arsitektur di Sumatera Barat berdampingan dengan gaya arsitektur Eropa hingga minimalis yang berkembang belakangan ini.
Let’s Go! Lembah Anai kini menjadi tujuan. Pesona wisata di Jalur Padang-Bukittinggi akan terlihat di pinggir jalan, pemandangan alam berupa air terjun, kata Elvis sang supir. Air terjun ini merupakan bagian dari aliran sungai Batang Lurah yang berhulu di atas Gunung Singgalang.
Saat melintas, hanya berjarak beberapa meter dari bahu jalan, setiap pengendara akan menyaksikan keindahan air yang tertumpah dari tebing yang tinggi. Kami memilih untuk berhenti sejenak, beristirahat sambil menikmati keindahan air terjun Lembah Anai. Apalagi baju yang kami kenakan bernuansa merah menbuat foto grup menjadi cerah.
Air terjun yang berada di pinggir jalan ini ternyata hanyalah salah satu dari tujuh air terjun yang dimiliki oleh kawasan Cagar Alam Lembah Anai. Air terjun ini berketinggian sekitar 35 meter berada di bagian barat Cagar Alam Lembah Anai.
Selain itu, di dalam kawasan cagar alam ini kita dapat menempuh perjalanan trekking selama sekitar 2 jam untuk dapat melihat keenam air terjun lainnya. Tawaran untuk trekking 2 jam di Lembah Anai kontan kami tolak.
Selain usia yang menjelang 60 tahun dan bukan lagi Lolita alias lolos lima puluh tahun, deretan toko di Pandai Sikek tempat belanja tenun sudah menanti. Terbayang indahnya kain, selendang tenunan yang ada.
Saat meninggalkan lokasi tampak banyak fasilitas pendukung pariwisata di seputaran Lembah Anai, seperti lahan parkir yang luas, kios-kios souvenir, rumah makan, hingga penginapan.
Kawasan air terjun kini tidak hanya menjadi tempat singgah belaka, melainkan sudah berkembang menjadi salah satu destinasi pariwisata unggulan di Sumatera Barat rupanya.
Nagari Pandai Sikek menjadi tujuan berikutnya.Ternyata Pandai Sikek artinya yang pandai bertenun dan Nagari artinya Desa jadi Desa yang pandai bertenun. Lokasinya berada dekat dengan jalan lintas sumatera yang terletak di jalan Padang – Bukittinggi pula.
Letaknya di Kecamatan Sepuluh Koto, Kabupaten Tanah Datar. Hasil tenunan dari perajin Pandai Sikek ini banyak diolah dan dipadu padan oleh para designer Indonesia hingga menjadi busana haute couture yang elegant dan mewah. Tapi bukan hanya karyanya yang mendunia, penduduk Nagari Pandai Sikek kata Elvis gemar merantau pula sehingga menetap di mancanegara.
Berada di kaki Gunung Singgalang, hawa sejuk dengan panorama alam yang indah menjadikan penduduknya mahir dalam industri kreatif seperti kerajinan tenun, ukiran kayu, kesenian tradisional dan sebagainya.
Menyerbu toko merangkap workhop dan fasilitas selfie menjadi andalan toko-toko yang ada. Toko yang memiliki area parkir luas serta pemandangan yang menghadap langsung ke Gunung Singgalang banyak menjadi pilihan. Kita juga bisa mendapatkan perlengkapan sehari – hari seperti sandal, selop, kopiah dan banyak lagi.
Selfie maupun foto grup berlatar lingkungan hijau kawasan Gunung Singgalang bikin betah buat yang lagi belanja maupun yang sekedar menunggu mereka yang hobi belanja.
Motif-motif kain tenun di nagari ini selalu diambil dari contoh kain-kain tua yang masih tersimpan dengan baik. Kain kuno sering dipakai sebagai pakaian pada upacara-upacara dan juga sebagai tando, dipajang juga pada waktu batagak (mendirikan) rumah.
Motif-motif tenun Pandai Sikek diyakini sebagai motif asli pada kain-kain tenunan perempuan-perempuan Pandai Sikek pada zaman lampau. Sedangkan produk ukiran di nagari ini dipergunakan untuk rumah gadang.
Tenun songket pada masa lalu identik sebagai simbol kemewahan, status sosial, dan martabat penggunanya. Menurut catatan sejarah, pembuatan tenun songket pada masa lalu menggunakan benang emas asli. Hal ini membuat tenun songket tidak saja bernilai tinggi dari segi estetika, tetapi juga nilai intrinsiknya.
Saat ini benang emas sintetik telah menggantikan benang dari emas murni, tingkat kerumitan dan keunikan ornamental dari tiap kainlah yang menentukan tinggi-rendah harganya di pasaran. Selain itu Pandai Sikek dikenal dengan motif khasnya, antara lain saik kalamai, buah palo, barantai putiah, tampuak manggih, salapah, dan simasam.
Koto Gadang, kampung halaman Widha Chaidir menjadi tujuan akhir di hari pertama ini. Kami bermalam di rumah Kame yang memiliki empat kamar. Rumah keluarga yang dikelola sebagai homestay.
Memasuki rumah Kame tentu saja kami disibukkan oleh koper dan barang belanjaan yang mulai terkumpul. Mata yang sudah merindukan bantal membuat kamar menjadi senyap.
Istana Pagaruyung
Bonjour, Bonjour, Ca Va ?, ucapan Selamat Pagi bersahutan saat satu persatu anggota tour bermunculan di meja makan dan siap berangkat lagi. Elvis sang supir sudah siap pula dengan kendaraan tapi kali ini tour de kaki alias jalan kaki dulu seputar rumah.
Koto Gadang juga sebuah desa bersejarah yang tak bisa dilepaskan dari sejarah orang penting Indonesia. Dari nagari ini pula lahir Perdana Menteri pertama Sutan Syahrir. Belum lagi, politisi legendaris yang juga Menteri Luar Negeri pertama H. Agus Salim. Tokoh pejuang hak-hak wanita yang juga wartawan wanita pertama di republik ini, Rohana Kudus, juga lahir di sana.
Itulah sebabnya berfoto ria di tengah jalan di bawah penunjuk arah dengan nama-nama jalan para tokoh nasional menjadi prioritas kami di desa ( nagari) yang dikenal sebagai gudangnya kaum iintelektual karena beberapa orang juga pernah menjadi menteri di masa Orde Lama maupun Orde Baru.
Puluhan di antaranya menjadi pejabat tinggi negara di berbagai bidang. Tercatat sembilan putra Koto Gadang pernah menjadi Duta Besar RI di berbagai belahan dunia dan 10 jendral juga berasal dari sini.
Nagari seluas 268 hektare yang terletak di Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, ini memiliki obyek yang terkenal yaitu Janjang Koto Gadang yang berada di jorong Bukik, nagari Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Agam, Sumbar merupakan salah satu jenjang terpanjang ( tangga terpanjang) di Agam yang menghubungkan kota Bukittinggi dan Agam.
Mau mencoba stamina ? tanya Widha yang paling jangkung, paling fit, mantan atlet volley di jamannya. Kami pilih ke istana Paguruyung saja ya yang sudah diimpikan memakai busana adat bersama.
Istana cantik di daerah Batu Sangkar ini bernama Istana Pagaruyung atau sering juga disebut Istano Basa. Istana Pagaruyung ini sudah mengalami tiga kali pembangunan karena sudah tiga kali terbakar. Karena itulah yang saat ini adalah replika istana kerajaan aslinya.
Masuk ke dalam kita tidak diperbolehkan menggunakan alas kaki baik sandal ataupun sepatu. Dekorasi dalam Istana Pagaruyung sangat cantik berwarna warni. Berbagai untaian kain di atap dan di sekeliling ruangan menghiasi Istana Pagaruyung. Warna orange, kuning, merah, emas berjuntai menghiasi ruangan.
Akhirnya tiba juga giliran untuk merasakan pengalaman menggunakan baju adat Minangkabau. Euis Akmalia Ibrahim dan Sri Darmastuti barangkali yang paling antusias sejak merancang tour di chat WA group.
Maklum sudah tidak terhitung banyak komunitas teman SD, SMP, SMA atau teman kuliah yang berpose di media sosial mereka mengenakan baju adat ini seperti Instagram dan Facebook Apalagi banyak calon pengantin juga foto pre-wedding di lokasi yang pas di Istana ini.
Di lantai dasar , selain terdapat jejeran pakaian adat untuk disewakan, juga tampak dua buah area kamar yang dihias layaknya pelaminan yang bisa digunakan untuk berfoto. Setelah itu naik ke lantai dua yang menjadi lokasi yang paling oke untuk berfoto ala pengantin Minang.
Selain latar yang mendukung, ada pula properti yang boleh digunakan untuk mendukung foto-foto ala pengantin. Pastinya, berfoto ala pengantin tak hanya dilakukan di dalam istana. Serunya menggunakan baju adat Minangkabau ini justru saat berfoto berkeliling di dalam dan sekitar Istana Pagaruyung bersama-sama dengan kepala penuh hiasan.
Hal menarik lainnya di komplek Istana Pagaruyung ini sebenarnya tak hanya rumah gadang besar saja, ada pula Rangkiang Patah Sambilan (tempat menyimpan hasil panen padi), surau (musala), rumah tabuah (tabuh – beduk), balairung, taman, dan lain-lain. Ada kereta yang bisa digunakan untuk berkeliling komplek besar ini.
Perjalanan hari ke dua ini juga singgah di kelok sembilan yang mirip seperti area balap dan memiliki pesonanya sendiri. Terlebih bagi para fotografer profesional maka tidak bisa melewatkan pemandangan di saat matahari bersinar maupun saat malam tiba.
Kelok 9 adalah ruas jalan berkelok yang terletak sekitar 30 km sebelah timur dari Kota Payakumbuh, Sumatra Barat dan merupakan bagian dari ruas jalan penghubung Lintas Tengah Sumatra dan Pantai Timur Sumatra, Sumatra Barat – Riau. Dibangun saat pemerintah Hindia Belanda antara tahun 1908 hingga 1914,
Kini Kelok 9 memiliki jembatan layang yang memiliki panjang 2.537 meter secara keseluruhan. Tak heran jika banyak wisatawan yang ingin melihat indahnya Kelok Sembilan. Tak kalah pentingnya buat millenial, tempat ini instagramble banget jadi tak heran jika oma-oma ini juga berhenti sejenak untuk mengabadikan jalanan indah ini.
Memiliki tikungan yang tajam dan lebar sekitar 5 meter, berbatasan dengan jurang, dan diapit oleh dua perbukitan di antara dua cagar alam: Cagar Alam Air Putih dan Cagar Alam Harau. Tempat yang pas juga untuk tadabur alam. Seiring berjalannya waktu, di sekitar Kelok Sembilan terdapat restoran yang memungkinkan para pengendara untuk rehat sejenak sambil menikmati pemandangan Bukit Barisan di sekitarnya.
Ngarai Sihanok
Pagi-pagi kami sudah tadabur alam di Ngarai Sihanok. Maklum ini hari ketiga untuk menuntaskan kunjungan ke Sumatra Barat. Selain Ngarai masih mau singgah ke Puncak Lawang, Danau Maninjau, Mesjid Raya dan city tour kota Padang. Soalnya besok pagi juga sudah kembali ke Jakarta.
Di saat berwisata dan dekat dengan alam, Allah SWT mengajak hamba-hamba-Nya berpikir dan merenungi tanda-tanda kebesaran-Nya yang telah Dia ciptakan. Di bumi sangat banyak tanda-tanda kebesaran Allah yang menunjukkan Dialah Yang Maha Sempurna.
“Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman.” (QS:Al-Jaatsiyah | Ayat: 3).
Apalagi lembah-lembah di Ngarai Sianok ini selain indah juga merupakan patahan lempeng bumi yang gambarnya terdapat dalam uang Rp 2000. Lembah Ngarai merupakan Patahan Semangko yang panjang dan berkelok. Serta memiliki kedalaman 100 m, panjang 15 km dan lebar 200 m
Lokasinya berada di Bukittinggi, Kabupaten Agam dan memiliki dua dinding bukit yang menjulang tinggi dan jatuh ke dasar. Dinding ini memisahkan Kota Bukittinggi dan Kota Gadang.
Nah paham kan kalau kami kemarin naik tangga dari Koto Gadang bisa sampai di Ngarai Sianok melewati seribu anak tangga. Oleh karena itu pilihannya tadabur alam dan belanja saja ya.
Perjalanan berlanjut ke Puncak Lawang dan Danau Maninjau. Puncak Lawang berada di ketinggian 1.210 mdpl pada suatu puncak dataran tinggi yang hijau dan mempesona, tepatnya di Kecamatan Matur, Kabupaten Agam, Sumatera Barat
Dari Kota Bukittinggi, Elvis menbawa mobil ke arah Simpang Tiga Matua atau Matur dan belok ke kanan maka jarak Puncak Lawang sudah dekat, lebih kurang 4 kilometer lagi, melewati perkebunan tebu Lawang.
Puncak Lawang ditumbuhi oleh pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi, berjajar dengan rapi yang memiliki pesona tersendiri sehingga kegiatan utama ya foto-foto lagi, pengunjung lain yang datang bersama keluarga bisa berpiknik ria.
Puncak Lawang menjadi salah satu alternatif untuk melihat keindahan Danau Maninjau, yang merupakan danau terbesar ke-2 di Sumatera Barat dan menjadi destinasi wajib juga bagi para fotografer untuk mencoba kamera profesional yang dimiliki.
Selain piknik dan berkemah, disini ada wahana Flying Fox, melintasi jembatan goyang, panjat tali dan naik jembatan tali serta menjadi tempat paralayangl untuk terbang melihat keindahan alam Danau Maninjau dan melihat Puncak Lawang dari kejauhan.
Elvis mengantar kami langsung ke tepi Danau Maninjau, danau vulkanik yang terletak di ketinggian sekitar 460 meter diatas permukaan laut. Danau ini membentang seluas 100 km persegi dengan kedalaman rata-rata 105 meter.
Selain kegiatan tadabur alam, danau ini punya legenda yang menjadi contoh mengapa dalam Al Quran disebutkan fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Legenda ini dikenal orang sebagai ‘Bujang Sembilan’, yang menceritakan kisah 10 bersaudara kakak beradik yang terdiri dari 9 orang bujang dan seorang gadis.
Alkisah sang gadis menjalin kasih dengan pemuda bernama Sigiran, tetapi kisah cinta berujung dengan munculnya fitnah dari kesembilan bujang. Para bujang ini menuduh hubungan yang terjadi antara keduanya telah melampaui batas norma masyarakat.
Dengan tuduhan yang dilontarkan oleh kesembilan saudaranya, sang gadis beserta kekasihnya kemudian bersumpah. Keduanya akan melompat ke kawah Gunung Tinjau (Sitinjau) untuk membuktikan kesucian diri mereka.
Sebelum melompat, mereka berkata dengan lantang, jika mereka bersalah maka gunung tersebut tidak akan meletus, tetapi jika mereka berdua tidak bersalah maka gunung tersebut akan meletus. Kisah ini pun berakhir dengan meletusnya Gunung Sitinjau sehingga membuktikan keduanya tidak bersalah.
Perjalanan berlanjut ke kota Padang menuju Mesjid Raya Sumatra Barat. Alhamdulilah masih ada matahari sore bersinar sehingga sambil menunggu sholat maghrib bisa berfoto ria dan memahami lebuh jauh arsitektur bangunannya.
Kali ini Atika Natalia yang bersuamikan seorang arsitek lebih semangat mengupas detil keberadaan rumah ibadah kebanggaan provinsi Sumatera Barat ini.
“Berkapasitas 20.000 jemaah, masjid ini dirancang khusus untuk tahan terhadap gempa bumi hingga 10 SR. Masjid ini juga bisa digunakan untuk shelter atau lokasi evakuasi bila sewaktu-waktu terjadi bencana tsunami.” ungkapnya.
Jika umumnya masjid dibangun dengan kubah diatasnya, maka masjid ini tidak memiliki kubah melainkan hanya memiliki atap khas budaya Minangkabau dengan bagian atapnya memiliki desain rumah gadang dengan empat sudut lancip disebut pula Masjid Mahligai Minang.
Arsitek masjid ini adalah Rizal Muslimin, juara pertama kompetisi arsitektur nasional pada tahun 2016 dalam tema religius. Dia mencoba menggabungkan unsur sejarah Islam dan tradisi Padang, yakni Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (adat bersendikan kepada agama, dan agama bersendikan kitabullah [al-Quran].
Kontruksi masjid bertingkat yang terdiri dari tiga lantai dan filosofi bangunan maupun informasi lain seharusnya dicetak dalam leaflet atau brosur wisata karena daya tariknya untuk dikunjungi wisatawan nusantara maupun mancanegara besar.
Usai makan malam dan cuci mata dikota Padang, ibukota Sumatra Barat ini akhirnya kami beristirahat di hotel dan menyiapkan kopor yang sudah penuh dengan oleh-oleh. Bolak-balik menyambangi kamar anggota rombongan dan cerita lucu jadi kenangan di malam terakhir.
Meski mata mengantuk, berat ternyata menyadari bahwa di Jakarta kita akan tenggelam dengan rutinitas masing-masing. Widha, Sri akan kembali ke Aussie dan Swedia, berpisah dalam bilangan bulan untuk dipertemukan lagi saat liburan tengah tahun.
” Next kita jalan-jalan ke Makasar ya,” kata Erna yang siap menjadi EO dan mengurus perjalanan. Terima kasih Ya Rabb atas perjalanan momentun 40 tahun pertemanan komunitas Les Bavardes ini. Au Revoir mes amis….