JAKARTA, bisniswisata.co.id: Memandang kiriman nasi sepiring muncung alias ‘segunung’, tapi lauknya minim, hanya dua sosis ukuran kelingking dan sedikit kentang, membuat Laura Thedy jadi kelaparan menjalani hari pertamanya karantina di kamar hotel bintang lima di Singapura.
Berbicara melalui IGLive, Laura mengaku rasanya tidak percaya, hotel bintang lima di 80 Bras Basah Rd, Singapura itu begitu pelit untuk menyajikan menu makanan yang sesuai dengan reputasinya. Sementara nasi meskipun jumlahnya lebih dari cukup tanpa lauk juga sulit disantapnya.
Menyajikan nasi yang banyak dan lauk minim meski dimaklumi sebagai upaya hotel mencari tambahan pemasukan dari order makanan tambahan tamu tetap tidak masuk diakalnya.
“Tamu karantina yang ditempatkan di hotel bintang lima Singapura membayar biaya Sin$ 2200 per orang untuk 14 hari sudah ternasuk tiga kali makan per hari. Tidak kebayang yang diantarkan ke kamar makanannya di bawah standard, ” ungkap Laura sambil menambahkan biaya karantina sebenarnya juga ditanggung bersama pemerintah Singapura.
Sebagai pendatang dari Indonesia saat pandemi global COVID-19 masih menguasai dunia, Laura yang bekerja di sebuah perusahaan konsultan berkantor pusat di Singapura memang punya kebutuhan mendesak, mengurus izin kerjanya yang berakhir awal Januari 2021.
“Jadi saya mau mengurus izin ( status) kerja di Singapura yang expire di bulan Januari awal 2021. Selama ini saya kerjanya di kantor perwakilan Jakarta. Harapannya ke depan saya ke Singapuranya tiap beberapa bulan sekali atau pas diperlukan saja,” kata Laura
Untuk itulah sejak Juni lalu dia sudah mengajukan permohonan untuk masuk ke Singapura namun setelah 30 x mengajukan proposal melalui Kementrian Tenaga Kerjanya Singapura barulah akhir November di kabulkan dan hingga hari ini Laura sudah memasuki hari ke 9 masa karantinanya.
Memang baru Oktober lalu Pemerintah Indonesia telah menjalin kerja sama Travel Corridor Arrangement (TCA) dengan Pemerintah Singapura. Hal ini menandakan bahwa warga negara dari dua negara tersebut telah mendapatkan izin untuk melakukan perjalanan antar dua negara, setelah dampak dari pandemi COVID-19.
Kerjasama TCA ini di Singapura disebut Reciprocal Green Lane atau RGL. Jadi yang bukan warga Singapura harus karantina 14 hari, kalau warga Singapura maupun permanent resident ( PR) tetap karantina mandiri dan hanya 3 hari di tempat tinggalnya
Otoritas Singapura malah mewajibkan pendatang untuk memakai perangkat pemantauan elektronik sebagai langkah untuk menekan penyebaran virus Corona dan agar benar-benar mematuhi peraturan karantina mandiri setelah sampai di Singapura.
Peraturan tersebut juga berlaku bagi warga negara Singapura yang baru pulang dari luar negri, penduduk tetap, pemegang izin jangka panjang, dan pemegang izin kerja.
Sejumlah kementerian dan lembaga di Singapura memantau kepatuhan warga Singapura dan pendatang yang melakukan karantina mandiri dengan berbagai cara.
“Setiap hari karena yang memberikan izin masuk saya adalah Kementrian Tenaga Kerja dengan Employment Pass maka selalu ada telpon tanya kabar, kondisi kita bagaimana,” katanya.
Untuk fasilitas kamar hotel bintang lima yang ditempatinya, Laura merasa cukup nyaman dengan ruangan yang memadai untuk beraktivitas , balkon luas dan pemandangan kota Singapura.
Dari jendela kamarnya tampak gedung Marina Bay Sands, pusat hiburan terpadu, menghadap ke Teluk Marina di Singapura. Dikembangkan oleh Las Vegas Sands, dan merupakan investasi tunggal paling mahal di dunia dengan biaya S$8 miliar (sekitar Rp.56 triliun termasuk biaya untuk lahannya.
Di hotelnya, dia memang sudah menyediakan kebutuhan misalnya kabel tambahan, bikin jurnal, membawa alat-alat gambar dan pinsil warna, nonton film dan aktivitas menyibukkan diri lainnya seperti olahraga pagi dan sore.
Mereka yang mau datang ke Singapura memang harus berfikir 100 kali karena selain aturan karantina, sanksi yang diberikan juga sangat memberatkan dan menguras isi kantong.
” Bayangkan saja untuk urusan izin kerja ini paling saya perlu tinggal 7-10 hari di Singapura tetapi karena harus karantina 14 hari terhitung satu hari setelah kedatangan maka nyaris satu bulan harus tinggal di Singapura meninggalkan anak usia 1,5 tahun dengan papanya,” kata wanita cantik ini meski wajahnya tanpa make up.
Laura mengaku setelah seminggu tidak mendapat menu makanan yang layak dan sebagai perempuan mungil mengeluh kelaparan mengeluh di medsos, akhirnya menu makanan oleh pihak hotel diperbaiki.
Pengalaman karantina di negri orang ini membuatnya makin kangen Indonesia dengan segala kemudahan untuk belanja online apa saja termasuk memesan makanan yang tinggal ditunggu sebentar.
” Di Jakarta kita bisa pesan apa saja dan tidak lama kemudian sudah langsung bisa menikmatinya. Disini selain tidak banyak pilihan, tidak ada juga ada abang Gofood yang bersedia antriin makanan buat kita,” katanya meluapkan kerinduannya akan segala kemudahan hidup di negri sendiri.
Aktivitasnya di hotel ternyata juga termasuk pekerjaan domestik ibu rumah tangga seperti membersihkan kamar, mencuci baju, memasang sprei dan lainnya karena pihak hotel tidak mengirim staf untuk membersihkan kamar.
” Penghuni karantina mandiri dikasih semua kebutuhan handuk, sprei, taplak meja, serbet dan lainnya setumpuk besar dan kita sendiri yang kerjakan. Kirim laundry, makanan juga di depan pintu. Jangan coba-coba melanggar dan main keluar karena sanksinya berat dan ribet,” jelasnya.
Laura yang melewati masa sekolah SD dan SMP di Singapura sebenarnya tidak asing lagi dengan kota Singapura. Masa SMA di Indonesia, dan mengenyam kuliah, pendidikan Strata Satu di Amerika Serikat. Setelah itupun kembali ke Singapura untuk bekerja.
Kini pandemi global telah membuat semua sisi kehidupan berubah, Singapura yang pernah menjadi rumah keduanya menjadi asing, persis saat kedatangannya 10 hari lalu ke Singapura.
” Changi airport jam 21.00 sebagian sudah gelap, sunyi mencekam dan hanya petugas yang terlihat. Sebagian besar penumpang pesawat hanya transit dan saya di tempatkan di sebuah bus untuk ke hotel bersama 7 orang, dua diantaranya dari India yang angka penderita COVID-19 di negaranya juga tinggi,” jelasnya.
Bepergian ke Singapura kali ini di saat pandemi benar-benar berbeda. Pelayanan di darat ( bandara) dilakukan secara online dan tak banyak sentuh hingga kenangan suasana tegang dalam pesawat berbadan lebar dengan hanya 70 penumpang dan tampak kosong
” Waktu datang naik Singapore Airlines masih tetap dikasih makan malam tapi perlengkapan sendok/ garpu sekali pakai. Begitu pesawat mendarat kita diminta tetap duduk dan tunggu panggilan turun berdasarkan nama,”
Di imigrasi meski semua data sudah terbaca sejak check-in di maskapai yang ditumpangi, penumpang diperiksa cukup lama sekitar 15 menit per orang. Barulah diarahkan untuk menuju booth khusus karantina.
Tiap orang mendapat karantina hotel bintang lima yang berbeda-beda. Ketika tiba di kamar hotel maka seperti orang yang kehilangan kebebasan dan ‘ terpenjara’ Laura cuma bisa pasrah. Dia berusaha membuat jadwal harian apa yang akan dikerjakan dan menerapkannya.
” Hari Minggu mendatang ketika karantina berakhir, saya akan dijemput teman dan malamnya mau makan di HaiDiLao hotpot. Saya akan menginap diapartemen temen hingga urusan di Singapura selesai,” kata Laura.
Setelah pengalaman minggu pertamanya yang kurang mendapatkan asupan makanan enak, wajar yang terbayang dimata adalah Restoran HaiDiLao Hotpot dengan aneka rasa kuah, irisan daging tipis, bakso, udang, wagyu yang menggiurkan Apalagi resto ini terkenal dengan servis personalnya kepada para pengunjungnya.
Restorannya capai angka 400 an di China, Hong Kong, Taiwan, AS, Korea, Jepang, Kanada, Australia, Malaysia, Singapura, dan tentu yang termuda adalah Indonesia
Di Jakarta, antrian untuk bersantap di resto ini lumayan panjang tapi di ruang antri bisa menikmati kudapan seperti es krim, kue mochi, minuman jus jeruk, lemon tea, dan berbagai macam snack. Oke Laura selamat kulineran….