JAKARTA, bisniswisata.co.id: MENTERI Perhubungan Budi Karya Sumadi menyebut upaya percepatan pembangunan infrastruktur seperti bandara di Papua dan Papua Barat masih terkendala masalah pembebasan lahan. Pihaknya telah berkoordinasi dengan pemda untuk menyelesaikan masalah tersebut.
“Saya tadi membahas beberapa bandara Papua dan Papua Barat, seperti di Manokwari, Fakfak, Raja Ampat, dan Sorong. Selain itu, kita membahas yang berkaitan dengan pelabuhan di Sorong untuk perbaikan,” kata Budi usai menggelar rapat koordinasi bersama Pemprov Papua dan Papua Barat beserta sejumlah bupati Papua Barat di Jakarta, Ahad kemarin.
Dilanjutkan, kendala pembebasan lahan memengaruhi cepat atau lambatnya penyelesaian pembangunan bandara-bandara tersebut. “Seperti di Rendani, Manokwari, ada yang mesti diselesaikan dulu pembebasan tanah pada 2020. Kami baru akan menyelesaikan pada 2021. Di Raja Ampat sepanjang 1.525 m sudah selesai semuanya (pembebasan lahan) dan tahun depan diselesaikan,” lontarnya.
Kondisi alam Papua juga menjadi faktor. Di beberapa daerah di pegunungan Papua misalnya, lahan yang disediakan untuk pembangunan dan perluasan bandara tidak cukup rata. Hal itu menjadikan biaya pembangunan cukup mahal dan waktu penyelesaian pun menjadi lama. “Kadang mereka itu membebaskan tanah, tetapi konturnya itu signifikan. Kalau konturnya signifikan, turun-naik itu development cost-nya menjadi mahal,” jelasnya.
Untuk menyelesaikan masalah itu pihaknya juga mengundang Dirjen Pengadaan Tanah untuk ikut meninjau. Dengan demikian, pembangunan pun bisa dipastikan berjalan efektif. “Di Fakfak kemarin itu belum bisa terjadi karena masalahnya itu (kontur lahan),” tambah Menhub seperti dilansir laman Medcom, Senin (14/10/2019)
Selama ini akses menuju daerah pegunungan di tengah Pulau Papua hanya melalui Wamena. Namun, kondisi saat ini terjadi kelebihan kapasitas di bandara Wamena. Kemenhub pun akan memperpanjang dan memperluas bandara lain, yakni di Distrik Dekai untuk mempercepat distribusi logistik ke tengah Papua.
Bupati Raja Ampat, Abdul Faris Umlati, mengungkapkan pembebasan lahan di Papua, khususnya di Kabupaten Raja Ampat, memerlukan pendekatan adat. Di daerah itu terdapat banyak tanah adat yang merupakan milik masyarakat adat, baik yang digarap maupun tidak digarap.
Menurutnya, proses pembebasan lahan di Papua untuk pembangunan bandara sebenarnya tidak sulit. Selain lahan yang masih sangat luas, harga ganti rugi lahan pun sebenarnya cukup murah. “Di sana masih murah sih, sekitar Rp25.000 per meter,” tambahnya.
Untuk membebaskan lahan, ia mengisahkan bahwa pihaknya selalu menggunakan berbagai pendekatan yang bisa diterima masyarakat adat. Pendekatan secara adat menurutnya paling efektif mengingat budaya masyarakat di sana masih sangat kuat. Pemda bersama masyarakat adat setempat bisa duduk bersama menyelesaikannya.
Ia menambahkan, pembebasan lahan untuk pembangunan bandara di Raja Ampat berjalan cukup baik. Pihaknya sudah mengajukan tambahan anggaran untuk perpanjangan landasan. Selain itu, Pemda Raja Ampat juga mengajukan bandara alternatif lainnya di Pulau Misol, yakni lahan di kedua tempat itu sudah tidak bermasalah. (ndy/Medcom)