JAKARTA, bisniswisata.co.id: Bulan Desember tersisa kurang dari 17 hari lagi dan musim liburan segera tiba. Biasanya di akhir tahun, jumlah wisatawan membludak dan sektor pariwisata terdongkrak. Sayangnya, kenaikan okupansi tingkat hunian kamar hotel akhir tahun nampaknya tak bisa mengatrol akibat merosotnya hunian hotel sepanjang 2019. Dampaknya, diperkirakan akan sulit untuk mencapai target kunjungan wisatawan yang ditetapkan pemerintah.
Dalam setahun setidaknya ada tiga kali lonjakan kunjungan wisatawan terutama wisatawan asing ke Indonesia. Lonjakan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) terjadi biasanya di bulan Maret, periode Juli atau Agustus dan akhir tahun. Tahun 2019, pemerintah menargetkan dapat mendatangkan 18 juta wisman. Namun sejak 2016, target kunjungan wisman tak pernah tercapai. Rata-rata capaian kunjungan wisman sejak 2016-2018 hanya 94%.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hingga Oktober 2019, total kunjungan wisman mencapai 13,7 juta pengunjung atau baru 76% dari target. Rasanya susah untuk mengejar target di sisa dua bulan terakhir tahun ini.
Dilansir laman CNBC Indonesia, Sabtu (14/12/2019) mengestimasi kunjungan wisman bulan November dan Desember berdasarkan median kunjungan bulan tersebut dalam kurun waktu lima tahun terakhir serta mempertimbangkan aspek musiman. Diestimasi kemungkinan akan ada tambahan wisman sebanyak 2,81 juta pengunjung atau naik 9,8% dibanding 2018. Dengan jumlah ini, capaian untuk tahun ini hanya bisa mencapai 93%.
Namun jika ditinjau dari pemasukan atau devisa negara pada tahun 2014 capaiannya hanya 89%. Tahun 2015 dan 2016 capaiannya melampaui target. Yang unik tahun 2016, ketika kunjungan wisman hanya 64% tetapi kontribusi devisanya mencapai US$ 13,5 miliar atau melampaui target sebesar 104%
Jika dilihat dari tingkat okupansi kamar di hotel berbintang tahun ini selalu lebih rendah dibanding tahun lalu kecuali pada bulan Juni. Padahal Secara rata-rata kunjungan tiap bulan untuk tahun 2019 masih lebih tinggi dibanding tahun lalu.
Kenapa Pariwisata Indonesia Lesu? Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan tren sudah terlihat dari menurunnya angka okupansi hotel di Indonesia. “Tahun lalu 54-55%, sekarang 52-53%,” katanya pada konferensi pers outlook perekonomian Apindo di Jakarta, Selasa (10/12).
Ada beberapa kota yang terguncang akibat menurunnya okupansi hotel ini. Di antaranya Jayapura, Ambon, Makassar sedang mengalami penurunan. Hariyadi mengatakan banyak kota di luar Jawa juga yang okupansi hotelnya mengalami penurunan, terkecuali Sumbar. “Jawa yang masih stabil, Jakarta. Jogja turun juga. Overall yang stabil hanya Jakarta dan Sumbar. Bali juga turun,” katanya.
Menurunnya angka okupansi hotel disebabkan karena menurunnya jumlah wisatawan, baik domestik maupun luar negeri. Jika dirunut lebih panjang, mahalnya harga tiket pesawat juga dinilai sebagai penyebab turunnya okupansi.
Selain itu, maraknya model bisnis baru di industri hospitality yang menekankan pada sharing economy dan pemanfaatan teknologi digital telah mengubah perilaku wisatawan. Merebaknya hotel-hotel budget yang menawarkan berbagai pengalaman menginap bisa jadi salah satu penyebab kenapa tingkat okupansi kamar di hotel berbintang turun.
Namun untuk masalah target wisatawan terutama wisman yang terus gagal tercapai sejak 2016 benar-benar dicari tahu penyebabnya. Ada berbagai kemungkinan penyebab. Bisa saja target yang memang tidak realistis.
Kedua bisa juga karena kondisi ekonomi global yang melambat seperti sekarang ini sehingga berdampak pada sektor pariwisata. Namun untuk memastikan hal ini, perlu adanya tinjauan komprehensif terhadap sektor pariwisata global. Apakah memang trennya turun atau tidak.
Apabila trennya secara global menurun bisa jadi akibat perlambatan ekonomi. Namun apabila tidak maka ada alasan lain yang harus diidentifikasi seperti apakah ada destinasi lain yang lebih menarik daripada Indonesia bagi wisatawan domestik maupun wisatawan lokal.
Jika hal itu yang terjadi maka jelas harus segera diatasi. Pasalnya sumbangsih sektor pariwisata untuk devisa tak kecil. Tercatat tahun lalu saja sumbangsihnya mencapai US$ 16.1 miliar atau setara dengan Rp 224,4 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.000/US$. (*)