KARANG ANYAR, Jateng, bisniswisata.co.id: Mengikuti masa keemasan negara-negara di Karibia beberapa abad sebelumnya, pada tahun 1930 Indonesia mencatat rekor sebagai pengekspor gula terbesar kedua dunia setelah Cuba.
Dimana, produksi gula Indonesia saat itu mencapai 30 juta ton. Malangnya, pada tahun 1988 banyak pabrik gula di Indonesia yang tutup dan tidak berproduksi lagi, termasuk salah satunya adalah pabrik gula De Tjolomadoe.
Sehingga, kini Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor gula terbesar. Semua itu, adalah fakta tragis yang menjadi catatan sejarah kelam pergulaan di Indonesia.
Berlokasi di tengah persawahan di Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, terdapat sebuah bekas bangunan pabrik gula, yang hampir selama 20 tahun telantar dan tidak terurus.
Namun, saat ini pabrik gula tersebut berhasil dirombak menjadi sebuah museum, dan dikembangkan sebagai suatu kawasan komersial, sehingga menjadi suatu obyek wisata yang menarik.
Daripada diterlantarkan dan lama -lama bisa menjadi ‘Rumah Setan’, maka bersyukur pabrik gu-la tersebut berhasil dipugar menjadi sebuah museum modern, yang menarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Pabrik gula De Tjolomadoe, berdiri di Desa Paulan Wetan, Macangisijan, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar. Suatu keistimewaan secara geografis, bahwa Kecamatan Colomadu ini berada di eksklave, terletak antara Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo dan Kota Surakarta.
Walaupun daerah Colomadu itu berdekatan dan hanya 10 menit perjalanan dari Bandara Intenasional Adi Sucipto yang berjarak sekitar 12,7 km saja dari kota Surakarta atau Solo, namun secara administrasi pemerintahan, Kecamatan Colomadu tersebut bukan berada di wilayah kota Surakarta, melainkan masuk di wilayah Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah.
Meskipun demikian, untuk mengunjungi museum pabrik gula De Tjolomadoe tersebut sangatlah mudah diakses. Terdapat akses jalan dari bandara Adi Sucipto, Kota Surakarta, ataupun dari Semarang.
Kalau diakses dari kota Semarang, sekarang bisa melalui jalan tol Semarang – Solo, yang dapat ditempuh dengan kendaraan mobil dalam waktu sekitar satu setengah jam saja. Sehingga, museum baru yang dinamakan ‘De Tjolomadoe’ ini sangat menarik dan mudah dikunjungi.
Perjalanan sejarah Pabrik
Berdasarkan sejarah berdirinya Pabrik Gula De Tjolomadoe, KGPAA Mangkunegara IV yang pertama memiliki ide untuk membangun sebuah Pabrik Gula, dengan menugaskan kepada seorang arsitek German bernama R. Kampf.
Selanjutnya, setelah dilakukan perencanaan yang matang, kemudian pada tanggal 8 Desember 1861 dilakukan peletakan batu pertama. Kemudian tahun 1862 dilaksanakan pembangunan Pabrik Gula De Tjolomadoe, yang artinya ‘gunung madu’.
Setelah berhasil dirampungkan pembangunannya, pengoperasian Pabrik Gula De Tjolomadoe berjalan dengan baik dan sukses. Pada tahun pertama pengoperasian, pabrik gula ini mampu menghasilkan sekitar 3.700 kwintal gula dari perkebunan tebu seluas 95 ha.
Mangkunegara IV lalu memutuskan untuk membangun pabrik gula kedua, yang diberi nama Tasikmadoe, juga berlokasi di Kabupaten Karanganyar. Sayang, beliau mangkat pada tahun 1881.
Karena pabrik gula De Tjolomadoe berkembang baik, maka pada tahun 1928 diadakan perluasan pabrik. Hal tersebut untuk ikut tmenyukseskan masa kejayaan industri gula di Indonesia, dimana pada tahun 1930 Indonesia menunjukkan kedigdayaannya, dengan mencatat rekor produksi gula di Indonesia mencapai 30 juta ton dan telah menjadi komoditi ekspor.
Saat itu dapat dikatakan menjadi masa kejayaan industri gula di Indonesia. Sayangnya, setelah masa kejayaan tersebut, kinerja industri gula Indonesia luluh rontok, dan banyak pabrik gula yang terpaksa tutup.
Kendati Mangkunegara IV selaku pendiri Pabrik Gula De Tjolomadoe pernah berpesan, bahwa: 7, yang artinya: Pelihara pabrik ini, walaupun tidak memberikan kekayaan, akan tetapi bisa memberi penghidupan.
Namun, apa yang terjadi, setelaah pabrik gula tersebut berganti-ganti pengelola, bahkan ganti nama menjadi Pabrik Gula Tjolomadu, pada kenyataannya tidak dapat bertahan, dan bahkan ditutup pada tahun 1998.
Dilakukan pemugaran
Setelah pabrik tutup dan berhenti beroperasi selama hampir 20 tahun, keberadaan pabrik gula Tjolomadu tersebut kemudian menjadi mangkrak. Kemudian, pada tahun 2017 terbentuk sebuah perusahaan joint venture, antar beberapa perusahaan BUMN membentuk PT Sinergi Colomadu.
Sinergi untuk memanfaatkan bangunan bekas Pabrik Gula Tjolomadu seluas 1,3 ha yang berada di atas lahan seluas 13 ha tersebut, guna dibangun jadi museum dan areal komersil pendukungnya.
Pelaksanaan pemugaran dimulai pada tanggal 8 April 2017, dengan memperhatikan segala aspek arsitektur, historis, maupun budaya, untuk menjadi sebuah cagar budaya. Harus dipahami dari awal, bahwa masyarakat sekarang umumnya tidak tertarik, bahkan enggan mengunjungi museum dan melihat peninggalan sejarah.
Untuk itu, membangun sebuah museum harus didesain untuk menjadikan sebuah Museum Modern, yang penampilannya lain dari museum pada umumnya sehingga bisa menjadi sebuah venue budaya bernilai sejarah dan edukasi, yang menarik untuk dikunjungi dan nyaman bagi para pengunjung dari semua golongan dan lapisan masyarakat.
Dibuatlah areal komersial yang bukan sekedar sebagai pedukung, namun juga harus bernilai usaha untuk menguntungkan semua pihak.
Selain itu, pelaksanaan pemugaran juga harus memperhatikan dan mempertahankan kaidah warisan, yang bernilai kekayaan historis dari sebuah cagar budaya.
Syukurlah hasil dari pemugaran bangunan pabrik gula yang terlantar tersebut, kemudian dapat dipoles menjadi sebuah objek wisata yang menarik. Pelaksanaan pemugaran pabrik gula Tjolomadu ini berhasil diselesaikan dengan baik, kemudian diresmikan pada tanggal 24 Maret 2018.
Pelaksanaan pemugaran
Dalam pelaksanaan pemugaran, untungnya benda-benda peninggalan di bekas pabrik gula Tjolomadu tersebut, sebagian besar berupa alat-alat mesin berukuran besar dan berat. Kendati kondisinya rusak dan tidak jalan untuk beroperasi, namun setelah dipoles ulang, keberadaannya dapat menarik untuk dipamerkan.
Aneka mesin-mesin tua yang berukuran besar tersebut, seperti roda-roda bergigi, kemudian hanya dengan sedikit pemolesan, selanjutnya dilakukan pembersihan, serta diberi cat warna abu-abu dan kuning.
Tampilannya sengaja diberikan sentuhan bintik-bintik warna bagaikan berkarat, sehingga penampilannya menunjukan seperti mesin-mesin lawas, yang berdiri dilantai ubin kotak-kotak berwarna kuning dan hitam.
Demikian pula, dengan adanya banyak beragam komponen – komponen pabrik bekas, seperti tanki-tanki bekas penampungan air, minyak, dan nira, serta adanya ketel uap atau boiler yang semuanya berukuran besar, lengkap dengan pipa-pipa berdiameter besar, keberadaannya tetap dipertahankan.
Selanjutnya, diberikan sentuhan warna, dengan dicat abu-abu, yang berada di bawah atap asal berkonstruksi rangka baja, semuanya menggambarkan betapa kompleksnya operasi produksi sebuah pabrik gula.
Dalam pemugaran ini, pada dinding bangunan pabrik di sisi tertentu, juga ditata informasi sejarah, yang disertai foto-foto lama pabrik gula. Hal ini, tentunya akan cukup menarik bagi para pengunjung yang tentunya awam. Pada umumnya, masyarakat hanya bisa melihat dari jauh di luar pabrik, mengenai keberadaan pabrik gula.
Namun, dengan dilakukan pemugaran menjadi museum modern dan obyek wisata yang baru ini, masyarakat berkesempatan untuk mengenal tata kerja operask sebuah pabrik gula yang sangat rumit. Tentunya, hal ini bisa menjadi sarana edukasi yang baik bagi pengunjung.
Kemudian, pada tempat-tempat tertentu terdapat dinding tembok bangunan lama yang rontok plesterannya. Dalam pemugaran ini, disengaja tidak diperbaiki atau dipoles baru, bahkan ada tembok lama yang roboh sengaja tidak dipugar.
Ada pula sepetak lantai tua tidak diganti baru, dan ada pohon-pohon tua tumbuh liar pada dinding tembok. Hal tersebut, semua sengaja dibiarkan tidak diperbaiki agar terlihat peninggalan sebuah bangunan tua satu setengah abad, dan manhkrak atau keadaan terlantar.
Dalam mendesain sebuah museum baru dengan bangunan dan lahan yang luas, maka lebih mudah ditata sebagai berikut:
Pertama, Ruang Stasiun Gilingan dengan mesin-mesin giling berukuran besar menjadi ruang pamer utama Museum Pabrik Gula.
Kedua, Ruang Stasiun Ketelan dengan ketel uap dan tangki besar menjadi Area B & F, yaitu untuk jualan makanan dan minuman.
Ketiga, Ruang Stasiun Penguapan dengan ruang yang lebih luas dijadikan Area Arcade, yaitu untuk jualan barang cindramata, baju dan aneka souvenir lainnya.
Keempat, Ruang Stasiun Karbonatasi dengan ruang yang luas pula, dijadikan Area Art and Craft, sebagai ruang pamer barang Seni dan Kerajinan.
Kelima, Colomadoe Hall dapat menjadi Concert Hall untuk pertunjukan konser, dan Sarkara Hall untuk digunakan sebagai ruang serbaguna yang dapat menampung 3.000 orang.
Dengan demikian, Museum De Tjolomadoe ini menjadi venue serbaguna, yang dapat menarik pengunjung. Bukan sekedar hanya untuk melihat museum, tetapi juga untuk kegiatan lainnya.
Nyatanya sekarang bisa menarik pengunjung, terutama Ruang Museum itu bisa menjadi tempat asyik sebagai photo spot yang instagramable. Para pengunjung tua-muda berdatangan ingin berswa-foto, justru mesin-mesin tua dengan roda besar bergigi tersebut dapat menjadi daya tarik sebagai latar belakang berfoto selfie, demikian pula saya turut pula mejeng berfoto di lokasi tersebut.
Di luar bangunan, area di sekeliling bangunan pabrik dijadikan halaman parkir yang luas, dapat menampung kendaraan mobil maupun banyak bus parawisata maupun rombongan. Semua biaya parkir dan tiket masuk dibandrol cukup mahal, untuk ukuran daerah Jawa Tengah, kiranya sesuai perhitungan bisnis investor.
Demikian pula dengan penggunaan kembali nama “De Colomadoe”, dengan pertimbangan supaya dapat menarik pengunjung untuk datang bernostalgia.
Produk samping
Sebenarnya pabrik gula dapat menghasilkan beragam produk samping. Konon, pada saat masih beroperasi, Pabrik Gula Tjolomadoe ini sudah memanfaatkan ampas tebu, yang digunakan sebagai bahan bakar menghasilkan uap sebagai penggerak mesin.
Di samping itu, Pabrik Gula Tjolomadoe ini juga dapat memproduksi minuman Rhum, yang sangat menarik dan disukai oleh warga Barat. Teringat sewaktu saya berkunjung ke Cuba, pernah dirayu oleh Sales Promotion Girl atau SPG cantik-cantik yang menjual minuman Rhum yang nikmat.
Namun, di Indonesia minuman Rhum ini tidak dikembangkan, yang disebabkan adanya larangan, bahwa minuman Rhum tersebut mengan- dung alkohol.
Pada saat mengunjungi De Tjolomadoe, saya mengajak beberapa orang tamu dari luar negeri yang kebetulan sedang berkunjung di Semarang. Mereka semua merasa senang dan puas pada saat mengunjungi Museum De Tjolomadoe ini.
Hal mana membuktikan, meski sebagian orang enggan melihat Museum, namun bilamana mu-seum tersebut ditata dan dikelola dengan baik maka dapat menarik pengunjung dan wisatawan, bahkan dapat menjadi salah satu objek bisnis yang prospektif.