INTERNATIONAL KOMUNITAS LIFESTYLE NEWS

Menuju Ekosistem Kopi Indonesia yang Berkelanjutan

kopi spesialiti yaitu jenis Arabika. harganya terus melambung mengingat permintaan green beans untuk kopi jenis ini semakin melonjak tinggi.

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Sabtu lalu saya mendapat ajakan ”ngopi” dari sahabat saya, Mas Toro. Dia bermaksud memperkenalkan saya dengan seorang wartawati senior Bina Bektiadi. Sesampai di sebuah Cafe di Kebayoran Baru ternyata disana sudah ada sahabat satu lagi. Dia adalah pemilik café kopi single origins Indonesia, Daroe Handoyo. 

Topik yang dibicarakan tidak jauh dari yang kami minum. Dimulai dari harga kopi di mancanegara sampai Tanah Air. Sebelum ngobrol serius saya ditawari untuk mencicipi kopi dari beberapa daerah. Saya pilih kopi jenis Arabika asal Papua. Lebih khusus wilayah Paniai. Pernah kesana? Tempatnya indah. Di tepi danau yang kesohor karena memiliki panorama alam yang rancak, alami, dan terawat dengan baik. Rasa kopi paniai memang luar biasa nikmat. 

Fenomena dunia.

Topik pertama adalah mengenai harga kopi dunia yang menanjak. Sebelum ganti tahun kemarin, harga sudah naik. Bahkan di pasar bursa sudah ada analisa bahwa kalau kita menanam saham kopi sekarang, dalam waktu 5 tahun akan naik drastis. 

Salah satu majalah investasi ternama Wallet.Investor mengumumkan bahwa kopi bisa menjadi plihan investasi yang menguntungkan. Pada saat tulisan ini dibuat harga kopi (per pound) sama dengan USD 2.34/lb. pada 17 Januari 2022. Berdasarkan Wallet.Investor, diramalkan harga komoditas kopi pada 17 Januari 2027 adalah USD 3.42. USD/Lb.  Pendek kata, dengan investasi 5 tahun, pendapatan diharapkan sekitar +46,03%. 

Sengaja kami membatasi perbincangan pada kopi spesialiti yaitu jenis Arabika. Mengingat permintaan green beans untuk kopi jenis ini semakin melonjak tinggi. Ada beberapa fenomena mengenai kinerja ekspor kopi dunia. Produk kopi Brazil, Kolombia dan Vietnam menurun. 

Para ahli kopi di dunia sejak Agustus 2021 menyatakan bahwa kopi di Brazil gagal panen. Laporan Global Coffee Report menyatakan bahwa situasi bencana alam yang dialami negara Brazil sebagai negara penghasil kopi terbesar di dunia dan musim kemarau dan udara dingin ekstrim. Itulah yang menyebabkan penurunan produksi yang cukup besar. Kejadian di Brazil tentu akan sangat mempengaruhi jumlah stok biji kopi dunia.

Kegagalan panen lainnya terjadi di Kolombia. Petani kopi di Kolombia, produsen jenis Arabika No. 2 di dunia, telah gagal mengirimkan hingga 1 juta kantong biji tahun 2021 atau hampir 10% dari hasil panen negara itu, membuat eksportir, dan pedagang kopi menghadapi kerugian besar. 

Vietnam juga mengalami peristiwa memilukan. Pengiriman dari Vietnam tersebut, menurun karena persediaan kopi yang menipis, wabah Covid-19 yang memburuk, dan kekurangan kontainer yang sangat parah.Dengan demikian ekspor terus menurun hingga Desember 2021.

Ada isu tambahan untuk Vietnam. Penggunaan pupuk yang berisi pestisida yang melebihi ambang batas yang diijinkan menyebabkan sebagian negara anggota Uni Eropa membatalkan impor dari Vietnam. Bahkan Nestlé ingin mengambil kopi dari Lampung. 

Bagaimana dengan Indonesia?

Diskusi makin menarik ketika tuan rumah Daroe Handojo menawarkan kami untuk mencicipi kopi Kintamani. Langsung disangrai dari laboraturium kopinya. Melalui proses sangrai ukuran medium, keasaman yang bright, dengan campuran vanilla dan gula merah. Rasanya top!

Bunyi suara mesin kopi yang lumayan berisik, ternyata tidak menggoyahkan kami untuk bicara.  Semua peserta diskusi sepakat bahwa Indonesia tidak boleh larut dalam kondisi seperti ini, karena kondisi harga kopi seperti ini bisa saja hanya bertahan sebentar.

Sementara kami ngobrol, Mas Toro membagikan kopi Kalosi Enrekang, jenis kopi Arabika yang lezat (artisanal delicacy) dari Sulawesi.   

Daroe Handojo berpesan bahwa sudah saatnya petani, koperasi dan produsen meningkatkan kualitas pengolahan kopinya. Pemerintah juga harus jeli melihat kondisi seperti ini.

Sebab beberapa perkebunan milik warga belum mencapai puncak panennya. “Pemerin

tah harus mencari akal agar bagaimana produksi panen bisa meningkat sebaik mungkin, ujar Daroe. 

Pandangan ini mirip dengan pendapat Suryono, presiden ALKO Koperasi Kopi di Jambi. Kami ngobrol per-telpon sehari sebelumnya.”Kita perlu menyadari bahwa saat ini siklus panen sering berubah. Tidak ada lagi panen raya. Tidak ada lagi panen serempak yang beberapa tahun sebelumnya terjadi di Jambi dan Sumatera Barat”, ujar Suryono. 

Untungnya menurut Suryono para petani di kaki gunung Kerinci masih menahan diri tidak menggunakan pestisida guna untuk menumpas hama penggerek Buah Kopi (PBKo)-Hypothenemus hampei

Kiranya pandangan dua orang pengusaha kopi tersebut perlu dibijaki dengan baik. Tidak perlu berbangga diri melihat penurunan produksi kopi di Brazil, Kolombia dan Vietnam. Hal ini mengingat dibandingkan dengan 3 negara tersebut, kopi Indonesia masih dihadapkan pada tantangan output yang lebih rendah. 

Produktivitas tahunan kopi Indonesia masih berkisar 800 kilogram per hektar. Bandingkan dengan Vietnam yang telah mencapai produktivitas 2,3 ton per hektar.

Temu kangen sekaligus bahas ekosistem kopi Indonesia yang berkelanjutan. ( Foto: Bagas Hapsoro).

Kesempatan untuk mempromosikan kopi seutuhnya

Lebih dari sekedar pandangan ekonomi, Bina Bektiati mengatakan bahwa kopi itu adalah anugerah, menciptakan suasana sosial. ”Ngumpul minum kopi saja sudah mengajak bersosialisasi”, kata penggiat lingkungan hidup dan penggemar kopi tersebut. 

Ada beberapa isu terkait dengan kopi Indonesia yang bisa disampaikan secara ”one go”. Pertama, masyarakat harus bangga bahwa rasa kopi yang beragam. Dari ujung barat sampai ujung timur kopi Indonesia terdiri dari puluhan nama, sesuai dengan tempat kondisi masing-masing. 

Kopi Indonesia itu menarik karena rasanya sangat beragam, yang disebut sebagai single origin. Arti single origin adalah tumbuh di tempat tertentu yang ketika dipindah ke tempat lain dia tidak akan sesuai. Jadi harus sesuai dengan ekosistemnya, tidak sekadar nama, tetapi rasa didefinisikan oleh ekosistem. 

Kedua adalah terkait lokasi Indonesia, kita tinggal di suatu kepulauan. Tidak ada negara penanam kopi lainnya yang memiliki kepulauan, lokasi Brazil dan Kolombia itu saja di sebuah benua. 

Ketiga, kita berada di garis khatulistiwa. Efek perubahan iklim tidak seberat daripada negara benua apalagi persis di garis katulistiwa. Ini adalah kajian dari Springer Link: Gotz Schroth, Peter Laderach, Diana Sofia Clackburn Cuero, Jeffrey Neilson & Christian Bunn (“Winner or loser of climate change? A modeling study of current and future climatic suitability of Arabica coffee in Indonesia). 

Keempat, negara kita merupakan ring of fire. Empat kelebihan itu sudah sangat bisa mendefinisikan keelokan rasa kopi dan keberagamannya. 

Berikutnya masih ada lagi ekosistem. Kopi berada ditengah makhluk lain di bumi termasuk pepohonan. Yang terpenting adalah bagaimana kita berpikir tentang struktur hulu kopi, yaitu tidak sekadar tentang produktivitasnya tetapi juga kelestarian, kesinambungan dan keberpihakan kepada petani. 

Dengan demikian harus ada konsep struktur hulu yang memang lestari dan baik untuk bumi. Sisi hulu ini perlu kita perkuat lagi dengan pendidikan untuk petani. Termasuk teknologi dan ketelusurannya. Karena yang namanya kopi spesialti adalah dari hulu sampai hilir sudah harus kuat dan berkualitas (Ric Rhinehard, Director of the Specialty Coffee Association, 2017). 

Kekuatan Indonesia pada story telling dimulai dengan konsep Coffee for Earth, kita bisa promosi dengan konsep Coffee for Earth Arround the World. Kita mempromosikan kelestarian kopi ke seluruh dunia dengan story telling yang kaya. 

Kekuatan di hilir tidak saja melalui promosi, diskusi dan membawa sampel green beans, tetapi budaya ”ngopi” kita. Kita menghormati alam. Hanya kopi yang berkualitas yang layak diekspor. 

Hanya kopi yang berkualitas yang membuahkan kemakmuran bagi petaninya. Sesungguhnya kita bisa mengusung tagline ini dimanapun juga ”KOPI/climate-based ecosystem”. Yang kita usung bukan sekedar produknya tetapi juga branding ˆnya.  

Kiranya pandangan ini mirip sekali dengan konsep ”fika” bagi orang-orang Swedia. Di negara Nordik (Utara Eropa) ini minum kopi bisa 3-4 kali per hari. Tidak heran bahwa orang Swedia per tahun bisa mengkonsumsi kopi 8,4 liter per kapita/tahun. 

Kita justru bisa memperkaya dan memperkuat diri dengan cara menceritakan dari hulunya. Itulah kenapa konsep “menuju ekosistem KOPI yang berkelanjutan” tidak sekadar untuk promosi. Orang-orang Swedia mengapresiasi para petani yang ikut serta dalam produksi. Oleh karena itu konsep pemberdayaan petani melekat dalam sebuah brand kopi. 

Diakhir diskusi ada optimisme bahwa masyarakat, pemerintah, pengusaha, peneliti dan badan kerjasama internasional perlu memikirkan secara menyeluruh. Mengapa? Karena hanya dengan pemikiran, semangat dan usaha bersama KOPI Indonesia bisa maju. 

 

Penulis adalah : Dubes RI untuk Swedia (2016-2020). Opini yang diberikan adalah pandangan pribadi.

Bagas Hapsoro