LAPORAN PERJALANAN

Menggali Kenangan 137 Tahun Silam di Monumen Krakatau Bandar Lampung 

Penulis  ( tengah) diapit oleh Ir. Agus Budiarto,  Dirut PT Pakubumi Semesta dan Ir. Ishak Tjitrabudi-Staff Direksi. ( Foto: B. Kusuma)

BANDAR LAMPUNG, bisniswisata.co.id: Monumen Krakatau, merupakan sebuah monumen untuk memperingati meletusnya Gunung Krakatau yang pada tahun 1883, berlokasi di Taman Dipangga, Bandar Lampung. 

Keberadaan Monumen tersebut menarik banyak pengunjung. Selain untuk berekreasi, monumen Krakatau ini juga dapat mengingat kembali pemaparan letusan Krakatau pada tahun 1883. 

Sebuah artefak terpasang di ruang terbuka, sebagai suatu tonggak sejarah peristiwa letusan yang suaranya menggelegar sampai terdengar sejauh 4.000 km.

Suara letusannya  tedengar hingga pantai barat Australia maupun di Afrika Selatan, serta menyemburkan sekitar 45 km3 bahan vulkanik ke atmosfir setinggi 80 km, sehingga sempat menggelapkan langit di kawasan dengan radius 440 km selama 2,5 hari.

Gunung Krakatau, yang merupakan salah satu letusan terbesar di dunia, dimana  pada tanggal 27 Agustus 1883 silam, terjadilah letusan Gunung Krakatau yang demikian hebat, sehingga menggegerkan dunia.

Tentunya tidak terbayangkan, betapa dahsyat letusan gunung tersebut, yang konon daya ledakannya mencapai 30.000 kali ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki di Jepang, yang mengakhiri Perang Dunia II pada tahun 1945.  Letusan Gunung Krakatau yang berlokasi di Selat Sunda tersebut, konon suara ledakannya terdengar sampai di Australia dan Afrika,

Untuk sekedar mengingat kembali bencana letusan Gunung Krakatau tersebut, pada pertengahan Maret 2020 lalu, Penulis diajak oleh Direksi PT Pakubumi Semesta, untuk melakukan perjalanan ke Palembang dengan berkendaraan menggunakan mobil sekaligus untuk menjajal jalan tol di Sumatera Selatan tersebut.

Keruan saja, undangan tersebut sangat menarik bagi Penulis yang senang berkelana. Namun Penulis mengajukan syarat agar bisa bermalam satu malam saja di Bandar Lampung dapat mengunjungi Monumen Krakatau yang berada di kota tersebut.

Perjalanan tersebut, dilakukan pada tanggal 12 Maret 2020 pagi. Dari Jakarta rombongan meluncur melalui jalan tol Jakarta– Merak menuju Pelabuhan Merak yang berjarak sekitar 72,5 km yang ditempuh selama selama 2 jam, agar bisa naik ke kapal feri penyeberangan pada pukul 10.30 WIB untuk menyeberangi Selat Sunda yang hanya selebar 30 km. 

Menurut jadwal, kapal feri akan berlayar selama 2 jam, namun demikian ternyata hanya berlayar dalam waktu 1,5 jam saja sudah tiba di pelabuhan Bakauheni, dan selama pelayaran berjalan dengan lancar dan menyenangkan. 

Penulis sangat senang melihat kedua bangunan terminal feri di Pelabuhan Merak maupun Bakauheni, yang tampak didesain berarsitektur indah seperti model kapal feri. Selanjutnya, setelah keluar dari terminal feri

Bakauheni, tampak di sisi barat pada dinding bukit Gamping terpampang tulisan besar Lampung dan di puncak bukit pada ketinggian 110 m di atas permukaan air laut ada bangunan Menara Siger yang megah.

Yakni, suatu bangunan beton bertingkat enam berbentuk Mahkota Siger, dibangun sebagai gerbang Provinsi Lampung dan titik Kilometer Pal 0 Lampung. Adapun Siger, adalah mahkota mempelai wanita berwarna emas yang membanggakan dan menjadi lambang Provinsi Lampung. Kami hanya menikmati dari kejauhan.

Bangunan beton bertingkat enam berbentuk Mahkota Siger

Sayang, karena rombongan kami sedang melakukan perjalanan dinas, maka rombongan langsung masuk ke jalan tol ruas Bakauheni – Terbagi Besar, bagian dari jalan tol Lampung – Palembang. Adapun jalan tol ruas Bakauheni – Terbagi Besar tersebut berjarak sekitar 140,9 km, dan untuk menuju Bandar Lampung dapat ditempuh waktu kurang lebih 1,5 jam saja.

Kondisi jalan tol tersebut sangat mulus, dan kendaraan mobil yang Penulis tumpangi dapat meluncur dengan kecepatan 150 km per jam. Sehingga, perjalanan melalui jalan tol tersebut dapat menyingkat waktu tempuh untuk mencapai tujuan. 

Sepanjang perjalanan melalui jalan tol tersebut, terlihat pada kedua sisi jalan tol pemandangan alam yang indah dan menghijau. Juga, sepanjang perjalanan merupakan kawasan baru yang berkembang, baik tanaman agro masyarakyat atau korporasi.

Sedangkan untuk kondisi di jalan tol, lalu lintasnya cukup ramai, yang didominasi oleh angkutan truk-truk barang yang besar, trailer dan kendaraan pribadi lainnya. 

Sepanjang perjalanan, terlihat lebih dari ratusan truk yang mengangkut berbagai bahan logistik, menandakan bahwa perkembangan ekonomi berjalan cukup baik di wilayah tersebut. 

Beberapa tempat istirahat dan pelayanan (TIP) atau rest area di sepanjang jalan tol juga dibangun baru dengan fasilitas yang lengkap, yang dilengkapi oleh berbagai sarana dan tempat ibadah berupa Masjid atau Musholla, dan di tempat rest area tersebut juga dipenuhi truk-truk besar jarak jauh untuk sekedar beristirahat. 

Dengan demikian, pembangunan sarana jalan tol di Sumatera ini sangat bermanfaat, khususnya untuk pengembangan ekonomi daerah dan nasional pada umumnya.

Letusan Gunung Krakatau

Seperti diketahui, bahwa Indonesia memiliki gunung api terbanyak di dunia. Setidaknya terdapat sekitar 127 gunung berapi yang masih aktif, dimana salah satunya adalah Gunung Krakatau yang berlokasi di Selat Sunda.

Pada tanggal 27 Agustus 1883 silam, gunung berapi ini pernah meletus dengan dahsyat. Konon letusan Gunung Krakatau ini, merupakan salah satu letusan terbesar di dunia. Pasca letusan, sinar bulan telihat dari dunia berwarna lebih kebiru-biruan, sedangkan sinar matahari terlihat lebih kelabu selama beberapa bulan setelah terjadi letusan.

Dengan demikian, letusan Gunung Krakatau yang terjadi pada tahun 1883 tersebut, merupakan suatu peristiwa besar yang pernah menggegerkan seluruh dunia.

Akibat letusan Gunung Krakatau tersebut, bagaikan di dunia ini terjadi kiamat kecil di Selat Sunda. Sehingga, banyak orang awam bertanya-tanya, di mana lokasi Selat Sunda itu. 

Sebagaimana diketahui, bahwa Selat Sunda adalah sebuah selat yang memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Meski Selat Sunda tidak lebar dan tidak panjang, namun sangat penting untuk pelayaran menghubungkan Laut Jawa maupun Laut China Selatan ke Samudera Hindia.

Mengakibatkan Tsunami

Erupsi Gunung Krakatau tersebut, menyebabkan runtuhnya Gunung Krakatau yang semula memiliki ketinggian sekitar 600 m, kemudian menjadi sebuah kaldera di laut.

Dampak dari letusan Gunung Krakatau tersebut, juga mengakibatkan gelombang tsunami setinggi 40 m di Selat Sunda, sedangkan di pesisir pantai Sumatera mencapai ketinggian 4 m, demikian pula di pesisir Banten mencapai ketinggi 2,5 m.

Keruan saja, akibat gelombang tsunami tersebut, berhasil menyapu rata daerah pesisir di kedua wilayah tersebut. Tercatat, setidaknya sebanyak 165 kampung di sekitar pesisir pantai di kedua wilayah itu tersapu rata, dan 132 kampung lainnya menderita kerusakan yang sangat parah.

Tsunami yang disebabkan oleh letusan Gunung Krakatau tersebut, juga menewaskan lebih dari 36.000 orang. Hingga sekarang, di lokasi keberadaan Gunung Krakatau di Selat Sunda tersebut, masih ada gunung api yang masih aktif yaitu Gunung Anak Krakatau yang timbul ke permukaan.

Anak gunung berapi itu ba yak dikunjungi wisatawan dan juga sering terjadi erupsi yang  menyebabkan tsunami, tetapi tidak sehebat letusan Krakatau yang terjadi pada tahun 1883 silam.

Kota Bandar Lampung, Taman Dipangga, isi museum dan penulis di gerbang kota.

Peninggalan Bencana

Setelah bencana letusan Gunung Krakatau berlalu, tenyata di Kota Teluk Betung, yang berjarak sekitar 80,2 km dari lokasi keberadaan Gunung Krakatau tersebut, berhasil diketemukan beberapa benda peninggalan bencana. 

Diantaranya, adalah berupa rambu laut, jangkar, pelampung, bangkai kapal, gumpalan fosil lava dan lainnya. Kecuali, bekas kapal uap Berouw yang sudah hilang menjadi besi tua. Tetapi, benda-benda peninggalan lainnya yang merupakan artefak, masih tersimpan dengan baik di Museum Lampung.

Sedikitnya terdapat 3 buah Rambu Laut yang berhasil ditemukan. Masing-masing yang pertama dijadikan Monumen Krakatau di Bandar Lampung, kemudian yang kedua tersimpan di Museum Bandar Lampung, dan yang ketiga atas perintah Bapak Walikota Bandar Lampung baru dipindahkan dari belakang Musholla Nurul Imam di kawasan Jl. W.R.Supratman, Teluk Betung ke depan kantor Pemerintahan Bandar Lampung untuk diabadikan.

Monumen Krakatau

Untuk mengunjungi Monumen Krakatau, Penulis diantar oleh Ir. Agus Budiarto,  Dirut PT Pakubumi Semesta dan Ir. Ishak Tjitrabudi-Staff Direksi, dimana siang itu setiba di Bandar Lampung, pertama yang dituju, adalah mengunjungi Monumen Krakatau.

Sebuah monumen untuk memperingati Gunung Krakatau yang berlokasi di Taman Dipangga, Bandar Lampung. Monumen Krakatau tersebut, berupa sebuah Rambu Laut, karena di puncaknya terdapat lampu berarti Rambu Laut itu berfung si juga sebagai Rambu Suar. 

Di bagian dasarnya, berupa setengah bola, dan pada bagian atasnya berupa kerucut berkonstruksi besi. Konon, dahulu Rambu Laut ini terpasang di pantai laut sekitar Pelabuhan Gudang Agen, sebagai alat navigator pelayaran kapal. 

Karena letusan Krakatau yang disertai tsunami, maka Rambu Laut yang beratnya diperkirakan mencapai 250 kg tersebut, kemudian terhempas oleh air gelombang tinggi ke daratan, kemudian terdampar dan selanjutnya diketemukan di kawasan Kampung Opas, yang berjarak sekitar 1,2 km dari lokasi awalnya.

Pada tahun 1884–1885, pemerintah kolonial Hindia Belanda membangun Monumen Krakatau ini di muka kantor Wakil Residen Lampung saat itu. Adanya Wakil Residen Lampung di Teluk Betung ini, karena dahulu pada zaman penjajahan kolonia Hindia Belanda, daerah Lampung masih berstatus bagian dari Keresidenan Banten. Kantor Asisten Residen tersebut, pada saat ini sudah berubah menjadi Kantor Polisi Lalu lintas. Pembangunan Kantor Polisi

Lalu lintas tersebut dilakukan pada tahun 1980, karena pertimbangan demi keselamatan lalu lintas, maka terpaksa lokasi Monumen Krakatau digeser sekitar 20 m ke arah tenggara, dan di sinilah lokasi Monumen Krakatau sekarang berada. 

Rambu Laut tersebut, didirikan di atas sebuah landasan konstruksi batu, dan pada dindingnya dibuat relief lukisan letusan Gunung Krakatau. Kendati monumen tersebut berbentuk sederhana saja, namun keberadaannya sebagai monumen yang dibangun lebih dari satu abad yang lalu.

Taman Dipangga cukup luas, terletak di pusat kota Teluk Betung, tidak jauh dari kawasan kota lama. Keberadaan Monumen dan Taman Dipangga tersebut menarik banyak pengunjung. Selain untuk berekreasi, juga dapat mengingat kembali pemaparan letusan Krakatau pada tahun 1883.

Sebuah artefak terpasang di ruang terbuka, sebagai suatu tonggak sejarah peristiwa letusan Gunung Krakatau, yang disebut paling mematikan pada abad ke-19, sedangkan sekarang kita sudah memasuki abad ke-21.

Dalam administratif pemerintahan sekarang, Gunung Krakatau dan juga Pelabuhan Bakauheni, serta Bandara Radin Inten II masuk wilayah Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. 

Supaya tidak menjadi rancu, baik diterangkan sebagai berikut:

Dahulu pada abad ke-16, Lampung masuk wilayah Kerajaan Sunda, kemudian di bawah Kesultanan Banten.  Karena ulah VOC yang ingin menguasai hasil bumi di Lampung, maka Lampung berstatus Onder Afdeling Teloekbetong masuk Keresidenan Banten. Kemudian, setelah Indonesia Merdeka, Lampung masuk Provinsi Sumatera Selatan.

Baru pada tahun 1964, terbentuk Provinsi Lampung, dengan Teluk Betung sebagai ibukotanya. Kemudian, pada tang-gal 26 Februari 1983 terbentuklah Kota Bandar Lampung sebagai ibukota Provinsi Lampung.

Setelah Penulis puas dapat mengunjungi kembali Monumen Krakatau, kemudian esok paginya kami melanjutkan perjalanan ke Palembang melalui jalan tol menuju Kayu Agung. Sayang, pada hari itu jalan tol seksi Kayu Agung – Palembang belum resmi dibuka.

 

B Kusuma