LAPORAN PERJALANAN

Mengagumi Jejak Sejarah Keberadaan  Masjid Raya Bandung Sejak 1812

Keindahan Mesjid Raya Bandung dari atas ketinggian ( Foto: masjidraya.com)

BANDUNG, bisniswisata.co.id: Untuk menyambut Hari Raya Idul Adha 1441 Hijriyah, penulis khusus mengulas Masjid Raya Bandung yang berlokasi di Alun-Alun, Bandung, Jawa Barat. Sebuah masjid megah yang dahulu saat dibangun dua abad silam, dibangun berarsitektur tradisional dengan beratap joglo. 

Sejarah panjang menjadi catatan penting keberadaan Masjid Raya Bandung seluas 1.200 meter persegi ini. Sebelum terlihat megah seperti sekarang, pada tahun 1812 masjid dibangun bersamaan dengan kepindahan pusat kota dari Krapyak ke Bandung yang berjarak  10 kilometer. Masjid dibangun sederhana berupa panggung tradisional berbahan kayu, anyaman bilik, dan rumbai untuk bagian atap.

Selama 200 tahun masjid belasan kali mengalami perombakan. Bahkan pada tahun 1825 sempat terbakar kemudian dibangun kembali. Pada tahun 1850 bertepatan dengan pembangunan Jalan Raya Pos atau Grote Postwea oleh Gubernur Jenderal Daendels, atas perintah Bupati R.A. Winatakusumah IV, masjid dirombak dengan konstruksi batu dan atap genteng.

Naik Bandros turun di Alun-alun dan langsung menikmati keindahan bangunan Masjid dan panorama kota Bandung bersama istri tercinta

Masjid Agung Bandung

Dulu namanya Masjid Agung Bandung. Pada tahun 1930 di beranda masjid dibuat pendopo, atapnya berupa joglo bersusun tiga mencirikan kekhasan Tanah Sunda ditambah 2 menara kecil di sisi kiri dan kanan. Ke 2 menara diberi atap model serupa dengan atap masjid, puncaknya berupa limas nyungcung. Atap gaya tradisional seperti itu menarik perhatian pengunjung mancanegara. Warga setempat menyebutnya “bale nyungcung”.

Pada tahun 1955 Kota Bandung menjadi Tuan Rumah Konferensi Asia- Afrika, Masjid Agung pun mengalami pemugaran besar-besaran. Atap tradisional yang sempat bertahan ratusan tahun diubah menjadi kubah model sebuah bawang. 

Ternyata, pemugaran pada tahun 1955 bukan yang terakhir, karena pada beberapa tahun berikutnya dilakukan lagi pemugaran, antara lain tercatat pada 1967, 1973, dan terakhir pada tahun 2001. Perombakan total dimulai tanggal 25 Februari 2001 bersamaan dengan penataan Alun-alun Bandung. 

Empat ahli diikusertakan yaitu Ir. H.Keulman, Ir. H. Arie Asmadibrata, Prof. Dr. Slamet Wirasonjaya dan Ir. Achmad Noe’man. Seperti diketahui bahwa Ir. Achmad Noe’man dikenal sebagai Maestro Arsitektur Mesjid Indonesia, bahkan dapat julukan sebagai Arsitek Seribu Mesjid.

Atap tiga Kubah

Kubah utama dengan ukuran lingkaran 30 meter dengan 2 kubah ukuran 5 meter lebih kecil terpasang kokoh. Kubah besar sebagai atap ruang shalat yang bertingkat dua, sedangkan kubah kecil menjadi atap bangunan tambahan yang awalnya adalah Jalan Alun-alun Barat.

Untuk meringankan konstruksi, ketiga kubah itu menggunakan konstruksi space frame dan ditutupi material metal pada kubah utama, sedangkan kedua kubah kecil ditutupi material tembus cahaya untuk menerangi ruang shalat.

Pada kedua sisi kiri dan kanan dibangun masing-masing sebuah menara beton, semula direncanakan setinggi 99 meter, namun untuk keselamatan jalur penerbangan menuju Bandara Internasional Husein  Sastranegara, kedua menara itu dibangun setinggi 81 meter per segi. 

Kedua menara itu beratap gaya atap Gedung Sate Bandung, terbuka bagi warga yang berminat menaikinya, menggunakan lift mencapat lantai 19, terdapat lantai pandang dari sana para pengunjung dapat melihat pemandangan indah sekeliling 360 derajat, Kota Bandung dan gunung-gunung yang mengitari lembah Bandung. 

Pada sisi utara terlihat Gunung Tang kuban Perahu, pada sisi lainnya tampak pegunungan, dengan Kota Bandung terletak pada dasar lembah dikitari gunung-gunung, sehingga bentuk marfologi Bandung berada di dasar mangkok.

Berganti Nama

Dengan selesainya pelaksanaan rekonstruksi masjid itu, memiliki dua lantai bertingkat ruang shalat Utama, dengan pertimbangan bahwa masjid itu adalah milik bangsa Indonesia, maka pada 4 Juni 2003 nama semula Masjid Agung Bandung, resmi diubah menjadi Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat. Dengan luas tanah sebesar 23.448 M2, luas bangunan 8.575 M2 dapat menampung 13.000 orang jemaah.

Kendati demikian warga berusia lanjut tetap menyebutnya Masjid Agung Bandung. Kemudian Lapangan Alun-alun Bandung seluas 1.200 M2, yang menyatu berada di muka Masjid Raya itu ditata dan dipasangkan karpet rumput sintetis warna hijau, menjadi arena wisata selalu dipenuhi warga dan wisatawan, terutama anak-anak senang berlari-lari di karpet itu. 

Di bawah lapangan Alun-alun itu dibangun basement di dalam tanah, untuk tempat parkir kendaraan bermotor. Dengan selesai penataan keseluruhan Menara Masjid dan Alun-alun Bandung, maka diresmikan pada 13 Januari 2004.

Tonggak Sejarah 

Saat berlangsung Konferensi Asia Afrika pada 18 – 24 April 1955 di Kota Bandung, tercatat suatu peristiwa bersejarah. Para delegasi diberi akomodasi di Hotel Homman dan Hotel Preanger, yang merupakan hotel terbaik di Kota Bandung pada saat itu, berlokasi tidak jauh dari Gedung Merdeka, lokasi pelaksanaan Konferensi Asia Afrika. 

Untuk menghadiri upacara pembukaan Konferensi Asia Afrika, para ketua delegasi berjalan kaki dari Hotel Homman ke Gedung Merdeka. Kemudian hari Jumat siang, para delegasi kembali menyusuri Jl. Asia-Afika menuju Masjid Agung Bandung untuk menunaikan salat Jumat. 

Jarak dari Hotel Homman ke Gedung Merdeka, maupun dari Gedung Merdeka hanya sekitar 500 Meter saja. Para Ketua Delegasi berjalan kaki, peristiwa ini sangat bersejarah dikenal sebagai: the Bandung Walk.

Rumput sintetis membuat anak-anak dan masyarakat bersantai di nuka masjid.

Peristiwa shalat Jumat besama para petinggi Asia Afrika di Masjid Agung Bandung, tepatnya pada hari Jumat, 22 April 1955, merupakan peristiwa langka dan bersejarah. Demikian pula 60 tahun kemudian, pada saat peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika.

Napak tilas kembali dilakukan Shalat Jumat oleh Presiden Joko Widodo diikuti lebih banyak lagi delegasi dan para tamu petinggi dari luar negeri, pada 24 April 2015 bersama para tamu yang hadir dan panitia penyelenggara peringatan itu.

Masyarakat pengusaha di Bandung menyumbang sebanyak 150 helai karpet sajadah kepada Masjid untuk khusus digunakan salat para tamu VVIP. Karena Kota Bandung yang indah menarik, sering sekali dijadikan tempat konferensi, seminar dan kegiatan lain, tentunya para tamu dan delegasi biasa bershalat di Masjid Raya Bandung.

Juga banyak sekali wisatawan berkunjung ke Masjid tersebut untuk beribadah ataupun sekedar berkunjung.  Seperti yang saya lakukan dan terus menaiki menara tanpa ragu.

Untuk mencapai mesjid ini penulis sempat naik Bus Wisata Bandros (Bandung Tour on Bus) dan turun di halte utama Alun-alun Selatan dan langsung meninjau Masjid Raya Bandung yang megah ini.

Langkah kaki membawa saya memasuki ruang dalam bagian depan Masjid yang luas dan menaiki Menara Masjid. Lantai paling atas pada lantai 19 merupakan lantai observasi, dari sana para pengunjung dapat menikmati panorama kota Bandung dan sekitarnya yang dikenal sangat indah dan cantik.

Tak heran kalau M.A.W.Brouwer seorang Femenolog, Psikolog, dan Budayawan Belanda yang peryangtinggal di kota yang dijuluki Paris Van Java ini mengatakan Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.

Nah jangan lewatkan pernyataan budayawan asing itu. Jika ada kesempatan itu datanglah kemesjid ini dan pastinya dari atas ketinggian mata puas memandang dan keindahan panorama menanti.

 

B Kusuma