LAPORAN PERJALANAN

Menelusuri Jalur Wisata Kota Lama Solo.  

SOLO, bisniswisata.co.id: Sarat dengan bangunan cagar budaya, itulah sepenggal jalan utama di pusat kota Solo yang kini ditata menjadi destinasi baru yaitu Jalur Wisata Kota Lama Solo.

Menyusuri kawasan itu bagaikan menelusuri sejarah 250 tahun silam yang sangat mengasyikan, apalagi dilanjutkan ke Kampung Sudiroprajan, sebuah Kampung Pecinan terbesar di kota Solo.

Dipandu seorang juru foto, Lies T. yang banyak membantu serta melengkapi foto dokumentasi, hari itu kami menelusuri proyek penataan Kawasan Koridor Jalan Jenderal Sudirman dari Tugu Pamendangan, yang berlokasi di muka Balaikota sampai Bundaran Gladak di Solo, jalan raya utama di pusat kota Solo.

Jalanan yang semula berlapiskan aspal diganti dengan batu andesit dan diharapkan menjadi destinasi baru Jalur Wisata Kota Lama Solo. Tentu saja penulis sangat tertarik menyusuri koridor itu karena terdapat banyak bangunan dan benda peninggalan sejarah yang sekarang ditetapkan sebagai cagar budaya.

Benteng Vastenburg

Sebuah bangunan benteng kuno peninggalan kolonial Balanda, dibangun pada tahun 1775 – 1779, atas perintah Gubernur Jenderal Baron van Imfoff. 

Dibangun kokoh berkonstruksi batu, berbentuk bujur sangkar dan pada keempat sudutnya terdapat bastion.  Pada waktu Presiden Jokowi menjabat Walikota Solo, Benteng itu direnovasi dan dicat warna putih dan  sekarang menarik jadi objek wisata.

Searah jarum jam, Kantor Bank Indonesia, Pasar Gede, Tugu Pamandengan dan Gereja Katolik St Antonius

Keraton Kesunanan Surakarta

Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan Istana Kesunanan Surakarta, dibangun Susuhunan Pakubuwana II pada tahun 1745. Salah seorang arsiteknya adalah Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwana I, bangunan keraton ini tampak sangat eksotis, Sekarang dibuka untuk umum berkunjung, sangat menarik sebagai objek wisata.

Kantor Bank Indonesia

Gedung lama Bank Indonesia Solo dahulunya gedung kantor Javasche Bank, berarsitektur Neo Klassik telihat indah menarik dirancang oleh Arsitek Hullswit, Fermont & Ed. Cuiper, pada tahun 1867. Bank Indonesia Solo sudah memiliki bangunan baru berarsitektur modern berlokasi di sisi selatan, sekarang gedung lama dipertahankan tapi akan digunakan sebagai museum.

Kantor Balaikota Solo

Dahulunya adalah bekas Kantor Residen, dan gedung yang sekarang adalah Gedung Balaikota baru, dibangun kembali dan diresmikan pada 23 Desember 2012. Berarsitektur tradisional Jawa berupa bangunan joglo, dengan balairung berkonstruksi kayu, ada 18 buah kolom berukir, di antaranya 4 tiang sokoguru menyanggah atap tumpang tiga dan terdapat cungkup teras muka.

Pada tahun 2012 terjadi kehebohan diareal kompleks Balaikota Solo, ditemukan bungker kuno berukuran 15 X 7 m2, Peninggalan dari zaman penjajahan Belanda sehingga menarik masyarakat ingin melihat dan mengetahui asal muasalnya. Sekarang bungker tersebut telah direnovasi oleh Pemda Surakarta,menjadi objek peninggalan sejarah menarik.

Gereja Katholik St. Antonius

Tepat di sisi utara gedung Balaikota terdapat Gereja Katolik Santo Antonius Purbayan, bentuknya bergaya klassi tapi tidak tercatat kapan  dibangunnya. Nanun yang pasti gereja Katolik peninggalan zaman penjajahan Belanda.

Sekarang gedung gereja itu telah ditetapkan sebagai sebuah bangunan Cagar Budaya yang dilestarikan, menarik banyak umat termasuk para wisatawan domestik maupun mancanegara beribadah disana.

Tugu Pamandengan

Di muka Balaikota di tengah jalan terdapat sebuah tugu berbentuk segi empat mengerucut ke atas setinggi tiga meteran dan dipasang 4 buah lampu lentera model kuno, dikenal sebagai Tugu Pemandengan Sri Sunan. Jika dari Bangsal Pagelaran di Keraton, kita dapat memandang lurus ke tugu tersebut sebagai titik kosmologi kota. Tugu tersebut dikenal pula sebagai Pal Kilometer Nol Solo, juga ditetapkan sebagai Banda Cagar Budaya Tugu Tiang Lampu Gladak. 

Searah jarum jam, Pasar Gede dan jam tugu, Keraton Kesunaban Surakarta dan Klenteng Tien Kok Sie di kampung Sudiroprajan, Solo.

Tugu Jam Pasar Gede

Di muka Pasar Gede, di tengah perempatan jalan, Jl. Urip Sumohrdjio, Jl. Suryo Pranoto dan Jl. Ketandan ada pula sebuah menara jam kuno tampak sederhana, didirikan atas perintah Paku Buwono X, konon dibangun bersamaan dengan Tugu Tiang Lampu Gladak. Karena tuanya maka keempat jam pada menara itu tidak menunjukkan waktu yang tepat, namun tercatat pula sebagai Cagar Budaya Tugu Jam Pasar Gede.

Pasar Gede

Meski bediri pada areal seluas 10,5 Ha.dahulunya merupakan sebuah pasar kecil, namun pada tahun 1930 diresmikan sebagai pasar besar dan menjadi ikon kota Solo yang dahulu dinamakan Pasar Gedhe Hardjonagoro.

Pasar ini dirancang bangun oleh Arsitek Ir. Thomas Karsten, bergaya perpaduan model Belanda dan Jawa, dengan atap besar bagaikan singgasana. Adapun nama Hardjonagoro adalah nama gelar bangsawan Kanjeng Raden Tumanggung (KRT) yang diberikan kepada seorang keturunan Tionghoa oleh Raja Kasunanan Surakarta Ingkang Sinuhun Pakubuwono XII.

Bangunan pasar itu mengalami beberapa kali renovasi, namun bentuknya tetap dipertahankan seperti semula. Sekarang pasar itu dikenal sebagai Pasar Gede, merupakan sebuah pasar tradisional terbesar dan tetap beroperasi dengan baik.

 

Klenteng Tien Kok Sie

Terletak di sisi selatan Pasar Gede ada sebuah bangunan Klenteng Tien Kok Sie, rumah ibadah yang  dibangun pada 1748 berkonstruksi kayu sangat kokoh. Klenteng itu untuk para umat menyembah “Tian” yaitu Tuhan YME serta Dewi Kwan Im yang dikenal sebagai Dewi Welas Asih. 

Sekarang disebut pula sebagai Vihara Avolokitesvara. Klenteng itu dibangun pada tahun 1748 berarti tiga tahun setelah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berdiri pada tahun 1745. 

Umumnya di sekitar pusat perdagangan maka di sanalah warga Tionghoa bermukim, dilengkapi klenteng sebagai rumah ibadah warga. Kedua bangunan Pasar Gede maupun Klenteng itu belokasi di sebuah Kelurahan Sudiroprajan. konon Kampung Sudiroprajan disebut-sebut sebagai Kampung Pecinan terbesar di Solo.

Setelah penulis bewisata sejarah menyusuri Koridor Jalan Sudirman dan melihat demikian banyak situs Cagar Budaya karena waktu terbatas sayang hanya melihat dari luar dan berinstagram ria.

Kami langsung tertarik untuk melanjutkan berjalan kaki menyusuri Kampung Sudiroprajan, ingin melihat Kampung Pecinan terbesar di Solo itu, yang tidak jauh dari Pasar Gede.

Setelah menyusuri jalan kampung itu  merasa kecele, tidak mendapati apa yang dikira semula, sebuah Chinatown dengan gedung-gedung tinggi dan megah. 

Justru di Kampung Pecinan itu merupakan kawasan penghunian padat berimpitan rumah-rumah sederhana dihuni warga etnis Tionghoa dan Jawa merupakan sebuah kampung pluralisme, dapat hidup bergotong royong nyaman dan aman.

Sudah ratusan tahun mereka hidup rukun berbaur penuh toleransi, saat ditanya warga disana sejak kapan warga Tionghoa menghuni di Kampung Sudiroprajan, tiada yang tahu pasti, konon menurut catatan sejarah sudah sejak pertengahan abad ke-18, kiranya sekitar tahun 1745, sewaktu Keraton Kasunanan berpindah ke Solo.

Mereka hidup berbaur tanpa sekat agama, budaya ataupun ras, bahkan terjadi akulturasi antar budaya Tionghoa dan Jawa. Banyak terjadi asimilasi, pernikahan antar suku etnis, sehingga banyak terdapat warga “blasteran ampyang”, berkulit hitam sawo matang, mata agak sipit dan bernama 3 suku Tionghoa.

 

B Kusuma