LAPORAN PERJALANAN

Melongok 'Living Museum ' Kampoeng Ketandan Yogyakarta.  

YOGYAKARTA, bisniswisata.co.id: Di halaman Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ada prasasti, sedangkan di pusat kota Yogyakarta ada Gapura. Keduanya, merupakan tonggak sejarah yang menunjukkan, bahwa sejak sebelum abad ke-15, sudah banyak warga Tionghoa bermukim di Yogyakarta, yang hidup penuh damai, saling bertoleransi dengan warga setempat. 

Hal tersebut, terpahat pada warisan situs sejarah berupa sebuah prasasti yang terletak di halaman Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, serta adanya Kampoeng Ketandan yang terletak di pusat Kota Yogyakarta, atau berdekatan dengan Pasar Beringharjo.

Berdasarkan sejarah tersebut, tercatat bahwa Sultan Hamengku Buwono III, telah mengangkat seorang warga Tionghoa yang bernama Tan Djin Sing menjadi seorang Bupati, dan memberinya pangkat Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat. 

Terkait hal tersebut, pihak keraton berpendapat, bahwa masyarakat Tionghoa pada umumnya adalah penggerak perekonomian. Fakta itu ditunjukkan oleh Sultan Hamengku Buwono VII di kawasan Ketandan.

Lokasinya berjarak tidak jauh dari Pasar Beringhardjo, sebagai kawasan penghunian warga Tionghoa, dan menjadikannya sebagai salah satu Pecinan di Yogyakarta.

Untuk membuktikan fakta sejarah tersebut, Penulis merasa senang berkempatan mengunjungi dan melihat dari dekat kedua situs sejarah di Yogyakarta itu. 

Pada artikel ini Penulis akan mengupas secara singkat mengenai situs-situs yang pernah Penulis kunjungi tersebut, adalah sebagai berikut:

Prasasti Beraksara Mandarin di Keraton Yogyakarta. Banyak orang berkunjung ke Keraton,  namun tidak memperhatikan, bahwa di muka Tepas Hapitoputro atau tepatnya di belakang Bangsal Trajumas, berdiri sebuah prasasti batu yang istimewa.

Dikatakan istimewa, karena prasasti tersebut terukir dengan tulisan Kanji Mandarin, dan di bagian muka belakang dari prasasti tersebut terukir tulisan aksara Jawa. 

Memang prasasti itu mempunyai catatan sejarah yang panjang, khususnya terkait dengan terjalinnya persaudaraan antara warga Jawa dan warga Tionghoa, yang tertuang pada prasasti tersebut.

Mewakili Komunitas Tionghoa, yang diprakarsai oleh 8 orang tokoh Tionghoa saat itu, antara lain: Lie Ngo An, Dr. Sim Kie Ay, Ir. Liem Ing Hwie, Lie Gwan Ho, Tan Ko Liat, Sie Kee Tjie, Tio Poo Kia dan Oen Tjoen Hok, berinisiatif untuk memesan khusus sebuah prasasti batu berukuran 0,8 X 1,00 m2 yang dibuat di Tiongkok.

Penulis di depan gapura Kampoeng Ketandan bersama istri tercinta. ( Foto-foto : B Kusuma)

Pada prasasti tersebut, terukir aksara Jawa dan tulisan kanji Mandarin yang tersusun puitis berbingkai hiasan seni Tiongkok, untuk dipersembahkan kepada Kesultanan Ngayogyakarta Hadinigrat, sebagai ucapan Selamat atas penobatan Sultan Hamengku Bu-wono IX pada tanggal 18 Maret 1940. 

Selain itu, prasasti tersebut juga sebagai ungkapan rasa terima kasih dari masyarakat Tionghoa, yang sudah dapat hidup dengan aman dan damai di Yogyakarta.Memang sejak sebelum abad ke-15, sudah banyak warga Tionghoa yang bermukim di Yogyakarta. 

Mereka dapat hidup penuh damai, saling bertoleransi dengan masyarakat setempat, dan tidak ada suatu tekanan apapun. Semua itu, berkat kepemimpinan dan kebijaksanaan dari Sultan Yogyakarta.

Terkait penyerahan prasasti tersebut, ketika pada tahun 1940 sedang berkecamuk Perang Dunia II, militer Jepang menyerang daratan Tiongkok, kemudian dilanjutkan menyerbu ke wilayah Asia Tenggara, termasuk di kepulauan Nusantara, yang saat itu masih menjadi koloni Hindia Belanda.

Akibatnya, rencana penyerahan prasasti tersebut tidak dapat dilaksanakan, sehingga dengan terpaksa prasasti itu disimpan dengan penuh rahasia, yakni disembunyikan di rumah Ir. Liem Ing Hwie.

Barulah setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berkumandang, dan disusul dengan penyerahan kedaulatan oleh pihak kolonial Belanda kepada pemerintah Indonesia, maka pada akhir tahun 1951, baru diadakan kontak mengenai rencana penyerahan prasasti tersebut.

Akhirnya disepakati, bahwa penyerahan prasasti tersebut, dapat dilakukan pada tanggal 18 Maret 1952 berkaitan dengan peringatan Hari Penobatan ke-12 Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Prasasti Beraksara Mandarin di Keraton Yogyakarta. Tepatnya di muka Tepas Hapitoputro, belakang Bangsal Trajumas.

Setelah tertunda selama 12 tahun, akhirnya pada tanggal 18 Maret 1952 prasasti tersebut diserahterimakan, dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendiri yang langsung menerimanya, disaksikan oleh kerabat keraton, yaitu: BPH Soerjowidjojo, BPH Soerjopoetro, BPH Prabuningrat, BRM Soewoto,BPH Poedjokoesoemo, BPH Moerda-ningrat, GPH Hadikoesoemo, BPH Hadiningrat, BPH Mangkoediningrat, BPH Djokokoesoemo,dan GPH Boeminoto. 

Sedangkan dari pihak komunitas Tionghoa, penyerahan dilakukan oleh Oen Tjoen Hok, Lie Gwan Ho, Sie Kee Tjie, Lie Ngo An dan Ir. Liem Ing Hwie. Diantara para pemrakarsa tersebut, ada yang tidak dapat hadir, dan bahkan 2 orang yang telah meninggal dunia.

Selanjutnya pada tahun 2007, atas gagasan Ibu Bernie Liem, yaitu menantu dari Ir. Liem Ing Hwie, dibuatlah dua buah prasasti tambahan yang merupakan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dan Inggris, agar para pelancong yang datang melihat dapat memahami makna Prasasti Persaudaraan warga Jawa dan warga Tionghoa yang bertuliskan aksara Jawa dan Kanji Tionghoa tersebut.

Menurut Ibu Bernie Liem, bahwa prasasti persaudaraan warga Jawa dan warga Tiong Yogya tersebut, pernah direnovasi dan dilakukan pengecatan ulang menggunakan kertas emas.

Setiap kali akan memulai pekerjaan renovasi tersebut, didahului dengan upacara Selamatan sesuai adat Jawa, supaya pekerjaan dapat terlaksana dengan lancar dan baik.

Gapura Kampoeng Ketandan

Sejak awal tahun 1800-an, areal yang sekarang menjadi Kampung Ketandan mulai dihuni warga Tionghoa, tercatat pada tahun 1803 Tan Djin Sing, yang menjadi Kapiten Kedu hijrah ke Yogyakarta, menghuni sebuah rumah di kawasan itu.

Dia menjalin hubungan sangat baik dengan Sultan Hamengku Buwono III, sehingga pada tanggal 18 September 1813, Tan Djin Sing diangkat menjadi Bupati Nayoko, dan diberikan pangkat K.R.T Secodiningrat.

Selain itu, ia juga ditunjuk sebagai seorang pemungut pajak, yang disebut sebagai Tondo. Dengan tugasnya tersebut, maka ia banyak tinggal di Kawasan Keraton, dan hanya pada akhir minggu saja kembali kerumahnya. Sehingga, kawasan sekitar rumahnya tersebut dinamakan ‘Jalan Ketandan’, karena adanya rumah seorang Tondo. 

Dengan demikian, sejarah kawasan Pecinan Kampung Ketandan tersebut, sudah berlangsung sekitar 220 tahun lalu. Kemudian, berlanjut pada era Sultan Hamengku Buwono VII, dimana pada saat itu Sultan berkeinginan untuk meningkatkan derajat para pedagang di Pasar Beringharjo.

Diharapkan Pecinan di Kampoeng Ketandan yang berdekatan dengan Pasar Beringharjo, dapat berkembang menjadi daerah pusat perdagangan. Sehingga, keberadaannya dapat menjadi motor penggerak perekonomian, dan dapat meningkatkan pendapatan para pedagang di Pasar Beringhardjo tersebut.

Fakta tersebut menunjukkan, bahwa Kampoeng Ketandan terus berkembang dan berjejeran toko di sepanjang kawasan itu. Bahkan, di sepanjang jalan Ketandan Lor telah menjadi sentra toko emas dan perhiasan. 

Rumah peninggalan Tan Djin Sing yang menjadi Bupati, dengan pangkat Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat

Di areal itu, terdapat puluhan,bahkan ratusan lapak pedagang emas. Sementara, dengan adanya sentra perdagangan emas tersebut, para pedagang sayur di Pasar Beringharjo menjadi pelanggan dari toko-toko emas tersebut.

 Apabila mereka memperoleh untung lebih, maka para pedagang pasar tersebut melakukan investasi dengan menabung membeli logam mulia atau emas perhiasan. Dengan demikian, warga Jogjakarta dapat berkembang baik pendapatannya, serta perekonomiannya semakin meningkat

Pada tahun 2006 dan berlanjut setiap tahun diadakan Pekan Budaya Tionghoa Yogya, yang dipusatkan di kawasan Kampung Ketandan. Dalam rangkaian pesta Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh, digelar beragam atraksi budaya dan kuliner Tionghoa. 

Pada pesta tersebut, bukan saja warga Tionghoa yang bersuka cita, tetapi juga dapat menarik masyarakat luas untuk turut serta berpesta, dengan menonton berbagai atraksi tersebut, serta mencicipi berbagai hidangan khas Jogjakarta. 

 

Living Museum

Pada Pekan Budaya Tionghoa Yogya 2013, juga diresmikan sebuah Gapura yang baru dibangun, berlokasi di ujung Jalan Ketandan Kulon, tepat di sisi timur Jalan Malioboro.Gapura tersebut, dinamakan Gapura Kampoeng Ketandan yang dibangun sebagai pintu gerbang masuk kawasan Pecinan Kampoeng Ketandan.

Gapura berarsitektur China tersebut, didominasi oleh warna merah dan hijau bergaya Tiongkok. Di kedua sisinya, terdapat tiang warna merah untuk menopang struktur gapura. Tiang yang berwarna merah mencolok tersebut, berukir naga melilit dan di muka kaki tiang berdiri patung singa kilin sebagai dwarapala penjaga gapura. 

Sedangkan di bagian atas kedua kolom kiri kanan, diapit oleh tiga balok melintang berukir dengan atap genteng berwarna hijau, bersusun melengkung bergaya Tiongkok. Gapura tersebut berukir sangat indah dan sarat dengan ornamen bergaya China.

Keistimewaan lainnya, bahwa Gapura dengan papan nama ‘Kampoeng Ketandan’ tersebut, tertulis dalam 3 aksara, yakni: huruf Latin, aksara Jowo dan huruf kanji Mandarin. Peresmian Gapura tersebut, dilaksanakan pada tanggal 20 Februari 2013, yang dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X. 

Keberadaan Gapura tersebut, sebagai suatu tonggak sejarah adanya Pecinan Kampoeng Ketandan, yakni suatu warisan sejarah yang membuktikan hubungan sangat baik antara warga Tionghoa dengan warga setempat.

Gapura juga  menggambarkan hubungan antar etnis yang dapat hidup rukun berdampingan, tenteram, aman sentosa di DIY Yogyakarta. Konon, pelaksanaan pembangunan Gapura tersebut, dapat diselesaikan dalam dua bulan saja. 

Tak heran sewaktu diresmikan menjadi viral, banyak warga berselfie atau swafoto di muka Gapura tersebut, dan mereka dapat berbangga di instagram, bagaikan sedang berada di Shanghai.

Sementara itu, di sepanjang jalan Ketandan Lor dan sekitarnya, berjajaran rumah – rumah tua, yang umumnya digunakan untuk tempat usaha. Selain banyak toko emas dan perhiasan, banyak pula toko grosir, toko klontong, warung makan Bakmi Ayam,YamMie dan lainnya. 

Bahkan, di tempat tersebut juga banyak lahan yang dijadikan area parkir. Selain itu, di areal tersebut juga terdapat sebuah bangunan bekas rumah tinggal Kapiten Tan Djin Sing K.R.T. Secodiningrat. 

Sebuah rumah lawas yang akan dijadikan Museum Pranakan, yang pastinya akan semakin bertambah menarik. Namun sayang, sewaktu Penulis berkunjung ke lokasi tersebut, museum itu belum dibuka.

Rencana Tata Kota Pemerintah kota Yogyakarta berencana akan melestarikan Kawasan Ketandan sebagai ‘Pecinan Kampoeng Ketandan’, supaya dapat menjadi sebuah Chinatown Yogyakarta. 

Terkait hal tersebut, Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyudi mengatakan bahwa Kawasan Ketandan merupakan ‘Living Museum’ kehidupan warga Tionghoa di Yogyakarta.

Maka itu, di wilayah tersebut diambil kebijaksanaan, apabila warga akan merestorasi bangunan di kawasan Ketandan, maka harus dirancang dengan arsitektur China. Sedangkan untuk bangunan lama yang sudah bergaya China, maka harus dipertahankan. 

Semoga kelak dapat diwujudkan ‘Chinatown Yogyakarta’ yang menarik, dan bisa menjadikan suatu Daerah Tujuan Wisata (DTW) di Yogyakarta yang membanggakan.

 

B Kusuma