LAPORAN PERJALANAN

Masjid An-Nawier, Salah Satu Masjid Tertua di Jakarta.  

                 Gerbang Masjid An-Nawier, Jakarta 

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Masjid An-Nawier, tercatat dibangun tahun 1760, berarti sudah lebih dari 2,5 abad, merupakan salah satu masjid tertua di Jakarta, banyak kali mengalami pemugaran, sampai sekarang masih berfungsi sebagai sebuah rumah ibadah, dan tercatat sebagai cagar budaya.

Masjid An-Nawier itu berlokasidi Jl. Pekojan 71, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, dibangun pada tahun 1760 Masehi atau tahun 1180 Hijriah, oleh Sayid Abdullah bin Husein Alaydrus. Masjid seluas 1.500 m2 berdiri diatas lahan seluas 2.000 m2, tanah wakaf milik Syarifah hingga beliau wafat di makamkan di belakang masjid itu. Karena Masjid itu sudah lawas, para warga sepuh di sana mengenal pula sebagai Masjid Pekojan.

Masjid tua itu, dahulu berperan besar dalam penyebaran agama Islam dan mempunyai hubungan erat dengan Masjid kuno di Solo dan Banten sehingga banyak menerima kunjungan alim ulama dari Banten. 

Masjid An-Nawier itu dianggap sebagai sebuah monumen sejarah dan diakui sebagai sebuah Masjid bersejarah dan menjadi sebuah cagar budaya sesuai dengan S.K. Mendikbud R.I. No. 128/MJ/1988. Berlainan dengan masjid lainnya, masjid tua itu tidak beratap kubah. 

Dari luar hanya terlihat ada dua gerbang Masjid tertulis nama Masjid An-Nawir. Pada sisi timur menjulang tinggi sebuah menara masjid bulat tampak mirip mercuasuar, mencapai angka kramat setinggi 17 m. Menara itu dapat dinaiki melalui tangga sebanyak 62 buah anak tangga. Sedangkan dalam ruang sholat utama tampak mencolok barisan kolom bulat berwarna putih sebanyak 33 buah.

Masjid tua itu dibangun lebih dari 250 tahun yang lalu dan  untuk pemeliharan banyak mengalami pemugaran, sehingga bentuk sekarang terjadi perpaduan corak Arab, berpadu dengan gaya Barat, Tiongkok, Jawa dan lain lain. 

Diantaranya, terdapat kolom-kolom Neo-klasik Toskan dari Barat; hiasan ornamen pintu masuk bergaya Cina; Denah dasar masjid itu bergaya Jawa, dan ornamen pada ujung wuwungan dengan tugu bergaya orang Moor.

Keindahan Masjid di waktu malam

Dengan perkembangan zaman Masjid An-Nawier itu juga mengalami banyak perbaikan dan peluasan, sehingga denah ruang sholat utama masjid itu sekarang berbentuk huruf “L”, ditambah serambi pada sisi timur dan utara, dapat menampung sebanyak 2.000 orang umat jemaah. 

Dengan berkali-kali dilakukan renovasi, menjadikan komponen-komponen masjid itu berjumlah sesuai dengan perhitungan ibadah umat Islam. Jumlah kolom utama Masjid itu, berupa kolom bulat, yang semula ada 11 ditambah 22 buah menjadi 33 buah sesuai dengan jumlah biji tasbih dan dzikir yang di baca setelah shalat. 

Kolom penyangga di ruang serambi masjid berjumlah 17, sesuai dengan jumlah rakaat dalam sholat. Jumlah pintu pada sisi utara terdapat sebanyak 5 buah melambangkan Rukun Islam. Sedangkan jumlah jendela pada sisi selatan sebanyak 6 buah melambangkan Rukun Imam dan secara keseluruhan Masjid itu ditopang 99 tiang-tiang, melambangkan jumlah Asmaul Husna, nama-nama baik kepunyaan Allah SWT dan betapa indah desain masjid itu.

Tercatat pada tahun-tahun 1825–1830, Habib Usman bin Yahya bersama K.H.Nawawi dalam rangka renovasi Masjid, pernah merubah arah kiblat, karena terjadi kesalahan sebelumnya dan dapat dimaklumi dahulu belum ada peralatan yang akurat seperti sekarang.

Dalam Masjid itu terdapat dua mimbar kayu yang kokoh, berwarna coklat tua berukir warna emas, konon yang satu adalah sumbangan Sultan Pontianak. Pada dinding tertulis dalam bahasa Arab Gundul. Mimbar ini tempat menyampaikan khotbah agama dan nasihat yang benar.

Sejarah Pekojan

Nama Pekojan berasal dari kata Koja atau Khoja, karena dahulu disana banyak tinggal warga migran dari India beragama Islam di sebut Koja. Kemudian banyak berdatangan pendatang dari kawasan Timur Tengah. 

Pada abad ke-18 ada peraturan pemerintah penjajah Hindia Belanda, para migran yang baru harus tinggal di kawasan Pekojan, sehingga kawasan itu dikenal sebagai Kampung Arab dan kemudian kawasan itu menjadi simbol peradaban Arab di Jakarta.

Masjid Langgar Tinggi, Langit-langit Masjid Kampung Baru, Menara dan bedug Masjid An-Nawier dan penulis berlatar belakang menara  Masjid An-Nawier, Jakarta.

Sekarang sebagian besar warga Keturunan Arab telah berpindah ke kawasan lain yang lebih nyaman, seperti ke Krukut, Kwitang, Alaydrus, Sawah Besar, Condet dan lain-lain. Saat ini masih ada beberapa rumah tua peninggalan mereka, terlihat berupa rumah bercorak tradisional Betawi.

Kawasan Pekojan–Tambora itu sangat strategis berlokasi antara Jalan Bandengan Selatan dan Jalan Tubagus Angke, berdekatan dengan pusat grosir Pasar Pagi dan Pecinan Glodok, maka sekarang merupakan kawasan penghunian padat.

Di sana terdapat beberapa masjid tua yang bersejarah pula, diantaranya ada Masjid Langgar Tinggi, Masjid Kampung Baru dan lainnya. Masjid Langgar Tinggi masih di Jl. Pekojan Raya No. 43,  berdiri pada tahun 1829 Masehi atau 1249 Hijriah, Dibantaran Kali Angke berdiri bangunan bertingkat,  dahulu pada lantai atas yang berlantai kayu papan dipakai sebagai langgar dan di lantai dasar sebagai rumah penginapan para pendatang yang biasa datang dengan kapal, merapat di Kali Angke. Saat itu kali Angke masih dapat dilayari kapal.

Langgar itu dahulu oleh Belanda disebut sebagai Arabische bedehuis, kemudian menjadi sebuah masjid dinamakan Masjid Langgar Tinggi, sekarang Masjid itu juga menjadi sebuah cagar budaya. Saat Penulis berkunjung tahun lalu,  sedang dikerjakan pemeliharaan untuk Sholat Ied. 

Masjid ini terlihat menarik seperti Masjid An-Nawier, berarsitektur perpaduan corak Barat, Cina dan Jawa, terutama indah susunan atapnya, dengan kolom-kolom penyangga bergaya  Barat. Masjid itu juga tidak mirip bangunan masjid, kecuali dapat diketahui karena papan nama bertuliskan Masjid Langgar Tinggi.

Masjid Kampung Baru berada masih di Kelurahan Pekojan, berlokasi ditepi jalan raya, di Jl. Bandengan Selatan 43, beratap cungkup bertingkat. Dibangun pada tahun 1748, sehingga Masjid ini juga merupakan bangunan cagar alam. 

Catatan menarik, bahwa dahulu masjid itu memiliki sebuah mimbar kayu, konon sumbangan dari Palembang, sekarang mimbar itu di simpan di Museum Sejarah Jakarta.

Sewaktu penulis berkunjung ke Masjid tersebut juga sedang dalam pemugaran dan perluasan dengan bangunan beton bertingkat, dengan dana swadaya para umat. Sedang sibuk pula menghadapi Hari Raya Idul Fitri. Tercatat masjid ini dahulu dibangun oleh migran India yang beragama Islam, sekarang mereka juga banyak berpindah ke daerah Pasar Baru.

Jembatan Kambing

Di muka Gerbang Masjid An-Nawier di Jl.Pekojan Raya, ada sebuah jembatan kecil bersejarah dari djaman doeloe, sebagai jembatan penyeberangan kambing milik para pedagang kambing, menjelang hari raya Idul Adha. Di pinggir jembatan itu biasa banyak penjual daging kambing.

Meski sekarang jembatan itu sudah menjadi jembatan konstruksi beton dan digunakan sebagai jembatan penyeberangan orang dan motor, na-mun hingga kini tetap dikenal sebagai “Jembatan Kambing”. 

Masih ada cerita menarik lain, di Jl. Koja 18, masih ada peninggalan zaman baheula yaitu ada dua buah toko yang bertahan khusus tetap menjual bibit minyak wangi, yakni toko minyak wangi Assegaf dan Fatimah. 

Para wisatawan biasa suka membeli minyak wangi sebagai oleh-oleh khas dari Pekojan. Pastinya bukan minyak wangi “si Nyong Nyong” dari Tanah Abang. Kunjungan ke Masjid-masjid itu penulis akhiri dengan melongok ke dalam toko dan menghirup wewangian….

* Penulis telah berkelana di 176 negara dan pemerhati warisan dunia.

B Kusuma