KUTA BALI, bisniswisata.co.id: Tradisi usai nyepi di Bali yang dulu sebagai tuntunan, kini jadi tontonan. Tradisi itu Mabuug-buugan atau mandi lumpur, yang hingga kini ajeg atau tetap dilaksanakan krama Desa Adat Kedonganan setiap hari Ngembak Geni, sehari setelah Nyepi.
Tradisi Mabuug-buugan ternyata sudah ditetapkan sebagai warisan budaya Kabupaten Badung. Penetapan ini disampaikan Bupati Badung, I Nyoman Giri Prastha saat Segara Langu di Pantai Kedonganan, pada 29 Maret tahun 2017 lalu.
Mabuug-buugan sempat vakum selama puluhan tahun. Tradisi ini kembali dihidupkan dengan inisiasi Sekaa Teruna Desa Adat Kedonganan, Eka Santhi mulai tahun 2015. Tradisi ini pun mendapat apresiasi positif krama Desa Adat Kedonganan serta warga luar Kedonganan.
Jumat, 8 Maret 2019, sekitar pukul 16.00 Wita masyarakat dari enam banjar serempak terjun dalam sungai kecil berlumpur di hutan mangrove yang masih dalam area Desa Adat Kedonganan. Ratusan pemuda, remaja hingga orang tua Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali berkumpul di Prapat Agung atau kawasan mangrove yang berjarak sekitar 500 meter dari Jalan Bay Pass Ngurah Rai.
Hanya menggunakan udeng dan kain, para pemuda mulai mengambil lumpur dan mengoleskan pada bagian wajah, dada serta punggung. Lumpur juga diusapkan kepada orang terdekat hingga menimbulkan suasana riuh. Prosesi mandi lumpur berlangsung sekitar 30 menit, selanjutnya para peserta Mabuug-buugan menuju Pantai Kedongonan.
Tiba di pantai Kedonganan sekitar pukul 16.45 Wita, peserta beristirahat dan sebagian memainkan permainan tradisional Galo-galoan. Inilah tradisi Mabuug-buugan yang bisa menjadi salah satu daya tarik wisatawan yang berwisata ke Pulau Dewata. “Tradisi Mabuug-buugan diharapkan bisa memberikan pilihan bagi wisatawan untuk melihat atraksi. Jadi mereka ke sini bukan hanya untuk makan,” kata Bendesa Adat Kedonganan I Wayan Merta, seperti dilansir Tempo.co, Sabtu (09/03/2019).
Pria 56 tahun ini melanjutkan, untuk menggenjot target kunjungan wisata sebanyak 20 juta orang pada 2019 di Indonesia, perlu diperbanyak atraksi wisata. “Pada September nanti kami akan menggelar festival ikan,” ujarnya. Desa Kedonganan juga bakal mengembangkan objek wisata hutan bakau atau eko mangrove.
Sebelum tradisi Mabuug-buuugan berakhir dengan mandi di laut untuk membersihkan lumpur, para peserta dihibur dengan tontonan tari Joged Bungbung. Sejumlah wisatawan yang sedang menikmati keindahan pantai Kedonganan turut menyaksikan tari Joged Bungbung bersama peserta Mabuug-buugan. Peserta yang berlumuran lumpur juga menjadi objek foto wisatawan.
Seorang wisatawan asal Australia, Sandra, 60 tahun mengatakan baru pertama kali menyaksikan tradisi Mabuug-buugan. “Ini menarik sekali,” kata dia. Tradisi Mabuug-buugan kembali digelar dengan semarak pada 2015. Sebelum itu, tradisi ini menghilang karena adanya peristiwa G30S pada 1965. “Karena situasi politik tidak menentu, akhirnya Mabuug-buugan ditiadakan,” ujar I Wayan Merta. Meski begitu, menurut dia, masih ada satu dua orang yang masih melakukan tradisi tersebut.
Kata Mabuug-buugan berasal dari kata bug atau becek dan berhubungan dengan lumpur. Lumpur dianggap sesuatu yang kurang baik. Tradisi Mabuug-buugan sebagai simbol manusia yang melepas kotoran di tubuhnya. “Setelah Nyepi dan melakukan tradisi ini, seorang manusia sudah bersih di tahun baru Saka,” ujarnya.
Pemangku Pura Dalem Desa Adat Kedonganan, I Made Maja menyatakan tradisi Mabuug-buugan sarat dengan makna. Tujuan utama tradisi Mabuug-buugan untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin. “Melalui tradisi ini, umat diharapkan memiliki pikiran yang suci dan bersih menyongsong kehidupan baru yang lebih baik di tahun baru Saka,” kata Maja.
Tradisi Mabuug-buugan secara filosofis bermakna penyucian bhuwana alit dan bhuwana agung. “Kami hanya melanjutkan tradisi yang sudah diwariskan leluhur,” sambungnya.
Tradisi Mabuug-buugan tahun ini juga dirangkaikan dengan kegiatan Segara Langu. Saat acara Segara Langu dilaksanakan pertunjukan seni dan pameran berbagai makanan tradisional Bali. (NDY)