YOGYAKARTA, bisniswisata.co.id: Komunitas Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Yogyakarta pertama kali menggelar Festival Budaya Benang Merah, di Alun-alun Sewandanan Puro Pakualaman Yogyakarta, Sabtu (22/06) hingga Ahad (23/09/2019). Festival itu bertema Menyatukan Hati untuk Merajut Kebhinekaan karena berangkat dari keragaman kepercayaan atau agama lokal suku Jawa.
Anggota Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau MLKI Yogyakarta, Noor Sudiyati mengatakan salah satu agenda festival ini memperkenalkan kepercayaan atau agama lokal suku Jawa melalui diskusi dan pentas seni budaya. “Selama ini penghayat aliran kepercayaan tidak berani muncul ke publik. Tapi kini menjadi isu yang seksi karena sudah diakui negara,” kata Noor Sudiyati.
Hingga kini terdapat 38 kelompok kepercayaan yang berhimpun dalam wadah MLKI Yogyakarta. Mereka muncul seiring dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97 Tahun 2016 yang mengakui kepercayaan sebagai bagian hak konstitusional warga negara dan hak asasi manusia.
Kolom kepercayaan pun sudah bisa dicantumkan dalam KTP elektronik dan kartu keluarga. Anak-anak penghayat kepercayaan yang belajar di SD hingga SMA juga mendapat pendidikan yang sama. “Sudah ada penyuluh yang mengajarkan kepercayaan. Kalau dulu kan terpaksa ikut dalam pelajaran agama,” kata Noor.
Manajer Program Festival Benang Merah, Noviana menjelaskan acara Festival Benang Merah digelar LKiS dengan menggandeng sejumlah lembaga, seperti Puro Pakualaman, Pemerintah DI Yogyakarta dan Pemerintah Kota Yogyakarta, MLKI DI Yogyakarta, Srikandi Lintas Iman, Satunama, The Asia Foundation, dan Program Peduli.
Tujuannya, mempersatukan dan merajut hati berbagai perbedaan dan keberagaman melalui dialog, pameran potensi budaya setiap kabupaten dan kota di DI Yogyakarta, pentas seni budaya, lomba, dan workshop. “Kami ingin mendorong terwujudnya inklusivitas di wilayah Yogyakarta,” kata Noviana seperti dilansir laman Tempo, Sabtu (22/06).
Tak hanya mengenalkan kelompok kepercayaan, kelompok minoritas juga dilibatkan, seperti Barista Inklusi yang merupakan komunitas pecinta kopi dari kelompok difabel dan kelompok rentan yang akan meracik kopi. Anak-anak yang tergabung dalam Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome atau POTADS. Ada pula dialog seputar media dalam mewartakan isu keberagaman.
Aksara dan bahasa Jawa juga bakal ditampilkan dalam Festival Benang Merah melalui workshop berbahasa Jawa oleh Komunitas Jagongan Naskah atau Jangkah Pakualaman. “Tulisan pada banner, photoboot, dan stan-stan pakai aksara Jawa,” kata koordinator Festival Benang Merah, Chamidah Mardiyanti.
Untuk pentas seni budaya, akan ditampilkan seni tradisi kuno yang dilestarikan kembali. Di antaranya tari angguk dari Kulon Progo dan tari emprak untuk menyemarakkan festival ini. Diharapkan tahun 2020 Festival Budaya Benang Merah lebih semarak, dengan jumlah peserta dari penjuru nusantara. (NDY)