LAPORAN PERJALANAN

Ketika Warga Senior Mendaki Gunung Tidar Magelang

MAGELANG, bisniswisata.co.id: Magelang yang berlokasi di Propinsi Jawa Tengah, dapat dikatakan sebagai titik pusar Pulau Jawa. Ditambah lagi, dengan keberadaan Gunung Tidar yang berada di tengah Kota Magelang, merupakan suatu pengecualian, karena ketinggian puncak Gunung Tidar tersebut hanya sekitar 503 meter di atas permukaan laut (dpl).

Kendati demikian, Gunung Tidar tersebut sangat dikenal masyarakat luas, karena keberadaannya mempunyai catatan sejarah dan beragam cerita, baik dari hikayat, dongeng, beraneka cerita mistik, hingga menjadi sebuah candra dimuka untuk mencetak perwira-perwira Sapta Marga lulusan Akademi Militer.

Cerita Legenda

Alkisah, pada zaman dahulu para dewa melihat peta Pulau Jawa yang mirip bentuk sebuah perahu terombang-ambing dilaut lepas dan para dewa tersebut kemudian memutuskan untuk memancangkan sebuah paku raksasa di pusat Pulau Jawa.

Alhasil, paku itu adalah Gunung Tidar, sehingga gunung tersebut dikenal pula sebagai ‘Paku Tanah Jawa’, yang membuat Pulau Jawa dapat menjadi aman dan tenang. Selain kisah tersebut, ada cerita lain yang penuh misteri. Yakni, seperti umumnya gunung di daerah tropis yang dilingkupi oleh hutan belukar.

Konon kala itu Gunung Tidar di bawah kekuasaan Kyai Semar, dengan banyak penghuninya berupa jin, genderuwo, raksasa dan makhluk halus lainnya yang tidak memperkenankan manusia mendaki Gunung Tidar ini. 

Barang siapa yang melanggarnya dan berani untuk mendekat wilayah gunung ini, maka akan terancam mati. Hal mana diketahui, ada seorang Sultan Muhammed dari Turki yang mengutus Syekh Subakir untuk mengamankannya.

Kemudian, terjadilah pertempuran antara Syekh Subakir yang bersenjatakan tombak panjang, dengan para jin dan roh jahat tersebut. Akhirnya, keberadaan para jin dan roh jahat yang menguasai Gunung Tidar tersebut dikalahkan, sehingga Gunung Tidar menjadi aman.

Setelah selesai melaksanakan tugas dan melakukan misinya, kemudian Syekh Subakir kembali ke tanah asalnya di Turki. Sekarang, Gunung Tidar menjadi aman dan di sana masih meninggalkan maqam dan petilasannya.

Mendaki gunung

Indonesia secara geologis sebagai kepulauan Nusantara, terletak pada titik pertemuan tiga lempeng tektonik yang bertabrakan, yaitu Lempeng Euroasia, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik dan ada ratusan gunung di Indonesia.

Di pulau Sumatera ada pegunungan Bukit Barisan, lebih-lebih di pulau Jawa terdapat ratusan gunung, bahkan Indonesia memiliki gunung api terbanyak di dunia. Tercatat ada 127 gunung api dan umumnya puncak gunung itu setinggi ribuan meter.

Kini, puncak Gunung Tidar selain digunakan sebagai arena untuk latihan para taruna Akademi Militer Nasional, banyak pula warga yang melakukan pendakian untuk rekreasi, berwisata ataupun berziarah. Untuk keperluan pariwisata tersebut, di sana telah tersedia sarana jalan setapak bertangga yang kondisinya sangat baik.

Jalan setapak bertangga tersebut, konstruksinya terbuat dari perkerasan batu yang dirancang dengan baik dan aman untuk memudahkan para wisatawan yang akan melakukan pendakian dari kaki gunung di kota Magelang menuju ke puncak Gunung Tidar.

Pada medio Desember 2019 lalu, Penulis berkesempatan untuk berkunjung dan bermalam di Kota Magelang. Kebetulan pada saat itu ada promosi yang menarik dari Pemda untuk Wisata Budaya Gunung Tidar. Kemudian, kesempatan yang sangat baik tersebut Penulis manfaatkan untuk berwisata dan memenuhi kebiasaan untuk berolah raga jalan kaki setiap pagi.

Maka pagi itu, tepatnya pada tanggal 15 Desember 2019, Penulis betekad untuk melakukan gerak badan, dengan memanfaatkan promosi tersebut dan melakukan pendakian hingga ke Puncak Gunung Tidar

Mengawali pendakian dari Taman Lembah Tidar, dengan melalui jalan kecil menuju gerbang masuk ke kawasan Wisata Gunung Tidar. Pada loket penjualan karcis masuk, tertulis tiap pengunjung harus membayar Rp 3.000, namun ternyata Penulis dibebaskan tidak membayar karcis masuk tersebut. Entah kenapa, mungkin penjaga loket melihat penampilan Penulis adalah warga senior alias sudah sepuh.

Bisa juga karena sangat hormat, dan langsung dipersilahkan masuk tanpa harus membayar karcis. Di gerbang pintu masuk tersebut juga ada pengumuman dan himbauan kepada pengunjung, yang tertulis pada No.1: Pastikan kondisi fisik anda dalam keadaan Sehat dan Prima.

Melalui jalan setapak, kemudian Penulis menyusurinya dan ternyata jalan terus mendaki, dan sepanjang perjalanan harus menaiki anak tangga dan di jalan setapak yang dilalui di kaki gunung terdapat beberapa makam tua warga Tionghoa. 

Di sepanjang jalan pendakian, Penulis juga bertemu dengan beberapa ekor kera. Pada awalnya, Penulis akan menghitung jumlah anak tangga di jalan setapak tersebut. Namun karena jumlahnya sangat banyak, dan juga fisik mulai merasa lelah sehingga proses penghitungan anak tangga kurang fokus dan terus mengalami kesalahan. 

Namun demikian, Penulis bersyukur masih tetap semangat, dengan tekad yang menggelora untuk terus berjalan dan mendaki hingga tempat tujuan yakni di puncak Gunung Tidar.

Setelah berjalan mendaki selama hampir setengah jam, rasa lelah menyergap. Kebetulan menemukan sebuah warung minuman, maka di situlah Penulis memutuskan untuk langsung duduk beristirahat serta memesan minuman teh untuk melepas lelah dan dahaga. 

Setelah duduk beristirahat selama kurang lebih 5 menit, perjalanan dilanjutkan. Setapak demi setapak berhasil dilalui, dan akhirnya mulai mendekati tempat tujuan. Dengan semangat perjuangan dalam melakukan pendakian, maka tibalah di tempat yang dituju, yakni di Puncak Gunung Tidar.

Makam Syekh Maulana Subakir

Mengenai keberadaan bangunan bersejarah di kawasan Gunung Tidar tersebut, Penulis pertama tiba di sebuah bangunan bertembok bulat, yang disebut dengan ‘Maqam Syekh Subakir’. Di bagian muka dari bangunan maqam tersebut, terdapat sebuah Masjid kecil Pancaran Amal Gunung Tidar.

Di situ, Penulis melihat ada serombongan umat yang sedang berziarah dan berdo’a dengan khusyu’. Konon, maqam tersebut adalah petilasan dari Syekh Maulana Subakir, dimana setelah selesai menjalankan tugasnya yang dititahkan oleh Sultan Muhammed dari Turki untuk mengamankan Gunung Tidar, kemudian beliau pulang kembali ke tanah asalnya di Turki.

Selanjutnya, menaiki tangga lagi sejauh kurang lebih 100 meter, Penulis tiba di sebuah bangunan bersejarah kedua yang berbentuk persegi panjang beratap, yang disebut dengan ‘Makam Kyai Sepanjang’. 

Di dalam bangunan tersebut, Penulis melihat sebuah makam berukuran panjang 7 m dengan lebar 1 m, yang merupakan makam senjata tombak panjang, yang dahulu digunakan oleh Syekh Maulana Subakir untuk melawan para jin dan roh jahat yang menguasai Gunung Tidar. Dan, senjata itu disebutnya dengan ‘Kyai Sepanjang’.

Kembali menaiki tangga sejauh kurang lebih 100 meter, maka tibalah di puncak Gunung Tidar. Di sini, terdapat sebuah lapangan datar yang cukup luas, dan juga terdapat beberapa situs. Pertama, ada sebuah monumen kecil berupa tiang beton yang berdiri tegak berwarna putih. 

Tiang beton tersebut, merupakan sebuah simbol kosmik, yakni ‘Paku Tanah Jawa’. Di atasnya tetulis aksara Jawa ‘Sa’, yang bermakna ‘Sapa Salah Saleh’ atau ‘Siapa yang Salah akan Kalah’.

Sekitar 50 meter dari Tugu Paku Tanah Jawa tersebut, terdapat sebuah Monumen Akademi Militer berupa sebuah tugu menjulang tinggi nan megah. Kendati kampus Akademi Militer Magelang berada dikaki Gunung Tidar atau di Lembah Tidar, namun di puncak Gunung Tidar tersebut, biasa digunakan sebagai tempat prosesi para taruna Akademi Militer, sehingga di tempat itulah dibangun dan didirikan Tugu Akademi Militer yang megah dan perkasa.

Di lapangan di puncak Gunung Tidar tersebut, juga terdapat sebuah pohon beringin tua, dan disampingnya ada sebuah petilasan. Di tempat itu, konon Pangeran R. Purboyo pernah bertapa di bawah pohon beringin tersebut, karenanya sekarang terdapat petilasan itu.

Makam Kyai Semar

Di sisi tenggara lapangan puncak Gunung Tidar, terdapat sebuah bangunan berbentuk kerucut kuning, seperti sebuah tumpeng raksasa. Bangunan tersebut, dipercaya sebagai ‘Makam Kyai Semar’, yakni seorang penguasa Gunung Tidar kala itu.

Sayang, bangunan makam tersebut dikunci, dan pengunjung tidak diperkenankan untuk masuk ke makam tersebut. Bangunan makam berbentuk kerucut itu dikelilingi oleh pagar tembok bata merah dan diberi ornamen kepala Naga Jawa.

Banyak pengunjung beziarah di Makam Kyai Semar ini, yang dipercaya sebagai penguasa Gunung Tidar. Konon, terdapat sebagian orang percaya, bahwa Kyai Semar tersebut adalah leluhur dari Semar Punokawan, karena di pintu makam tersebut terdapat ukiran gambar Semar versi Punokawan dan Gunungan cerita wayang.

Setelah puas melihat seluruh situs di puncak Gunung Tidar, perjakanan pulang menuruni tangga jalan setapak terasa lebih ringan. Merasa lelah dan dengan berhati-hati, Penulis pelahan-lahan menuruni anak tangga.

Sambil melihat-lihat pemandangan di sekitarnya dan membaca banyak himbauan – himbauan, Penulis menuruni anak tangga tersebut ditempuh selama 30 menit sampai tiba di Lembah Tidar kembali.

Setibanya kembali di kawasan Lembah Tidar, karena tidak ada taxi saat itu, maka Penulis memutuskan untuk menggunakan angkutan becak guna mengantarkan kembali ke hotel. Dari perjalanan ini  yang tak terlupakan saat melakukan pendakian Gunung Tidar tersebut, adalah banyaknya orang berkomentar kepada Penulis, yang mengatakan kalau sudah sepuh jangan berjalan naik-naik gunung sendirian. 

Namun demikian, bersyukur bisa kembali dengan selamat karena mendaki puncak Gunung Tidar tersebut, bukan bermaksud untuk berziarah, nyekar atapun tirakat, namun murni untuk berwisata dan berolah raga pagi. Selama dua jam berjalan kaki cukup melelahkan, mungkin disebabkan oleh faktor ‘U’ (umur).

Karena tidak berhasil menghitung jumlah anak tangga jalan setapak menuju puncak Gunung Tidar tersebut, maka Penulis penasaran dan melakukan perhitungan secara matematis, dengan elevasi kota.

Magelang pada 350 m dan Puncak Gunung Tidar di ketinggian 503 m, berarti tinggi yang ditempuh kurang lebih sekitar 153 m. 

Untuk itu, berdasarkan perhitungan secara matematis tersebut, maka diperkirakan jumlah anak tangga tersebut mencapai 1.000-an buah anak tangga. Suatu kebiasaan warga Jawa Tengah untuk menyebut jumlah besar anak tangga tersebut dengan ‘Sewu’. 

Oleh karena itu, jumlah anak tangga menuju puncak Gunung Tidar itu dapat disebut dengan ‘Tangga Sewu’ atau ‘Ondo Sewu’, atau biasa disebut dengan ‘Sewu Undakan’.Kalau dalam bahasa teknik, supaya mudah dan pembulatan,dapat dikatakan telah menaiki seribu anak tangga.

* Penulis telah berkelana di 176 negara dan pemerhati warisan dunia.

 

 

B Kusuma