LAPORAN PERJALANAN Uncategorized

Kenangan Berkunjung ke Komunitas Muslim di  Distrik Barangay, Metro Manila

Rizal Memorial Stadium, tempat meliput Sea Games 1981 berbuah laporan perjuangan bangsa Moro untuk Mindanao Merdeka. ( Foto: Google)

MANILA, bisniswisata.co.id: Tahun 1981 saya bekerja sebagai wartawan Harian Pelita Jakarta, bidang tugas liputan politik hukum dan keamanan (polhukam).

Pada akhir 1981 ada pesta olahraga Sea Games di Manila Filipina. Harian Pelita  menugaskan wartawan olahraga Ahmad Istiqom untuk meliput Sea Games.

Tiga hari sebelum pembukaan Sea Games, Istiqom ternyata berhalangan. Maka harus dicari wartawan  pengganti. Sebab seluruh proses administrasi dengan OC Sea Games Manila sudah selesai. Tidak ada wartawan olahraga yang siap. Bahkan sebagian rekan, paspor pun belum punya.

Redaktur Olahraga Budiman Tos menawarkan saya wartawan politik untuk dua minggu menjadi wartawan olahraga. Pendek kisah, berangkatlah saya ke Manila bersama rombongan SIWO PWI kala itu dipimpin Sondang Meliala. Resmilah saya sebagai wartawan Politik meliput kegiatan olahraga Asia Tenggara.

Menurut Istiqom ikut rombongan SIWO “aman  semua”. Kami tinggal di Silahis Hotel. Proses administratif semua di tempat ini. Markas wartawan di Press Room Rezal Memorium Stadium. Ada ruangan Indonesia.

Tidak terlalu luas dan masih kering fasilitas. Zaman itu kirim berita masih menggunakan telex dan sambungan telepon internasional. Belum ada faksimile, modem, email maupun WhatsApp. Telepon di Press Room masih berebut.

Di business centre belum ada wartel. Semua penuh persaingan. Bahkan jatah  makan pun masih rebutan. Di hari pembukaan Sea Games,  kami di tribun wartawan Rezal Memorial  Stadium di tengah kota Manila. Pembukaan sangat meriah. Berbagai atraksi dan parade kontingen gegap gempita. 

Marching Band Angkatan Laut Filipina membawakan lagu lagu hits a.l. aransemen lagu Suzana yang lagi ngetop. Upacara  diawali Laporan Ketua OC/President Olympiade Filipina, Bongbong Marcos,  Sambutan Gubernur Metro Manila Imelda  Marcos dan pembukaan Sea Games oleh Prsiden Ferdinand Marcos. Di tribun juga ada putri presiden, Emee Marcos, cantik berkacamata hitam. Terlihat jelas dari tribun wartawan.

Saya ingat semua ketua delegasi ‘diperkenalkan” oleh Presiden Marcos. Indonesia dipimpin Ketua KONI Sri Sultan Hamengkubuwono IX (mantan Wapres RI). Sejumlah pejabat RI juga hadir, a.l. Menpora Abdul Gafur. Sebagai pendatang baru di rombongan SIWO PWI, saya merasa tersisih. Hampir tidak punya teman.  

Teman teman wartawan olahraga itu “terkesan ekslusif”. Bersaing keras, menyembunyikan info kegiatan. Saya merasa seperti “diplonco”. Teruntang-anting.  Agak keteteran dan sering ketinggalan info. Hanya satu dua wartawan yang berkenaan mengajak saya jalan bersama. Sekali sekali  saya ikut Adhi Wargono,  dan Indri. Maklum wartawan olahraga umumnya para senior.  Mereka memandang “anak bawang” sebelah mata. 

Saya sering salah lokasi venues dan bahkan pernah tertinggal bis dari lapangan. Akibatnya laporan Sea Games  saya tidak terlalu sempurna. Untunglah redaktur di Jakarta maklum. Akhirnya saya lebih banyak mendampingi petenis Suzana, yang kebetulan atlet asal  daerah Babel. Saya juga kerepotan mengejar jatah SIWO.  

Titipan “memo” dari Istiqom untuk wartawan kordinator cabor Nurman Chaniago,  baru bertemu dua tahun kemudian. Sedih saya. Untunglah ada Calon Ketum PSSI Syarnubi Said (Krama Yudha) dan Sespri beliau Syaiful Anwar Husein. 

Pak Syarnubi Said  manajer Timnas, sedang kampanye untuk menjadi Ketum PSSI. Maka dapatlah saya “sangu”  dana transportasi lokal. Belakangan Syaiful Anwar Husein jadi sahabat saya hingga akhir hayatnya.

Akrivitas di distrik Barangay, Metro Manila saat ini. ( Foto: FB Barangay)

Di tengah kerepotan liputan olahraga itu, saya ke KBRI Manila. Nasib baik berkenalan dengan Prof. Ilyas Ismail, penduduk Filipina asal Aceh. Beliau adalah guru besar di Philippines University. Banyak buku buku karangannya, terutama tentang Islam dan perbandingan agama.

Berdiskusi dengan Pak Ilyas Ismail, membuat saya merasa mendapat tantangan baru. Waktu itu Filipina masih menghadapi pemberontakan MNLF (Front   Pembebasan Nasional Moro) pimpinan Nur Misuari. 

MNLF kemudian terbelah dengan berdirinya organisasi tandingan MILF (Front Pembebasan Islam Moro)  pimpinan Hashim Salamat. Baik Nur Misuari maupun Hashim Salamat punya “panglima” di Manila.

Filipina masih rawan, di sana sini masih terjadi pertempuran. Nur Misuari memimpin perlawanan dari tempat pengasingannya di Libya. Sedangkan Hashim Salamat Konon di Malaysia. Bahkan kedua tokoh itu secara rahasia dikabarkan ada di Filipina.

Mereka berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan Negara Islam Filipina Selatan. Pasukan MNLF dan MILF tersebar di berbagai kawasan. Sebagian besar ada di pulau zamboanga, Sulu, Tawi-tawi dan Pelelawan di Kepulauan  Mindanao.  

Pemerintah Filipina memberlakukan daerah operasi militer dan mengawasi Orang Selatan di seluruh negara, termasuk mereka yang tinggal di Manila. 

MNLF dan MILF  punya jaringan bawah tanah, termasuk ada anggota front di Manila. Inilah yang ingin saya cari. Saya merayu Pak Ilyas Ismail, agar bisa wawancara.

Adapun para staf KBRI memberikan nasehat, agar saya jangan sekali sekali ke perkampungan muslim Filipina. “Rawan kriminalitas, berbahaya. Nyawa taruhannya. Lagi pula tak elok mencampuri urusan dalam negeri Filipina”, kata mereka. 

Di dalam Kota Metro Manila ada perkampungan orang Mindanao atau orang Selatan, yaitu  di Distrik Barangay San Miguel. Kebetulan keluarga besar istri Prof. Ilyas Ismail  tinggal di sini. 

Oleh karena itu beliau cukup dikenal dan bebas keluar masuk Barangay. Hampir 100% penduduknya muslim. Ada mesjid, madrasah dan pasar makanan halal. Sebagian mereka bisa bahasa Melayu dialek Mindanao mirip mirip bahasa orang Banjar perpaduan melayu-tagalog.

Saya berhasil membujuk Pak Ilyas Ismail untuk berkunjung ke Barangay. Usai dari mesjid kami menyusuri kawasan muslim ini. Sebuah perkampungan sempit, banyak gang dan terkesan kumuh. Distrik Barangay di bawah pengawasan tentara Filipina. 

Setiap orang seperti berpandangan curiga. Tidak tahu siapa kawan siapa kawan. Sering terjadi penangkapan “pemberontak” bahkan pernah terjadi kontak senjata.

Kepada Pak Ilyas, saya minta dipertemukan dengan pejuang  MNLF maupun organisasi tandingannya MILF. Saya ingin wawancara.  Katakan kepada mereka, saya bekerja untuk Harian Pelita, suratkabar yang membawa aspirasi umat Islam di Indonesia. Tentu aspirasi muslim bangsa Moro juga.

Setelah melewati proses yang berliku dan berjanji patuh aturan mereka, saya esoknya dibolehkan datang lagi ke Barangay. Saya ingat Pak Ilyas punya mobil Fiat 1000. Dengan mobil tua itu beliau menjemput saya dari KBRI di Makati.

Di ujung distrik Barangay kami parkir di depan sebuah restoran. Tapi kami kemudian masih lanjut nyambung dengan naik Jeepney (angkot). Tidak jauh, hanya sekitar  5-6 menit saja dari tempat mobil di parkir.

Kami masuk gang lagi, tapi bukan lokasi yang kemarin. Kemudian kami bertamu pada sebuah rumah sederhana di deretan rumah rumah dalam gang. Rencananya di rumah inilah saya akan dipertemukan dengan orang MILF, kepervayaan Amir/Imam Syekh Hashim Salamat. 

Karena itu kami harus bersabar menunggu. Ada aturan khusus bertemu tokoh MILF.Lebih kurang setengah jam di situ orang yang dinanti-nantikan tiba. Ternyata dia dari belakang rumah atau mungkin dia sudah sejak lama ada di rumah itu. Tokoh ini keluar ditemani seorang pengawal. Tapi wajah pengawal  tidak beringas.

Saya memberi salam dan mencoba akrab sebagai saudara muslim. Sang tokoh diperkenalkan “sebagai  Hashim Salamat”. Hampir saya oleng. Saya tidak punya foto pembanding. Tubuhnya sedang sedang saja. Malah agak kurusan  berpenampilan orang staf. Bukan postur militer.

Hashim Salamat, namanya waktu itu belum dikenal. Baru 10 tahun kemudiam nama Hashim Salamat meroket. Sayang sesuai perjanjian tidak boleh ada foto dan rekaman. Kecuali  pembicaraan sebagai saudara muslim. Saya bertanya tentang tuntutan  dan latar belakang gerakan MNLF. Mereka menuntut Mindanao Merdeka, sebagai negara Islam lepas dari kontrol Manila .

Dia juga menjelaskan mengerahkan kekuatan militer berjihad adalah pilihan. MILF  didukung rakyat Filipina Selatan dari Cebu hingga Sabah. MILF ingin Negara Islam Moro Merdeka. Karena itu mereka menentang konsep MNLF Nur Misuari yang berunding untuk Otonomi Khusus Filipina Selatan.

Kembali dari Manila, hampir semua wartawan membuat laporan pernik-pernik dari Sea Games. Saya membawa laporan khusus  Perjuangan Bangsa Moro untuk Mindanao Merdeka….

Emron Pangkapi