Masjidil Haram di waktu malam ( Foto: unsplash.com/Izuddin Helmi Adnan)
JAKARTA, bisniswisata.co.id; Di saat seluruh umat Muslim merayakan Hari Raya Idul Adha 1441 H, kontan kenanganpun tertumpu pada aktivitas liputan saya 29 tahun yang silam bersama kepala negara RI kala itu yaitu Presiden Soeharto.
Tahun 1991 Presiden Soeharto menunaikan ibadah haji bersama keluarga. Beliau tidak menggunakan fasilitas kenegaraan, tapi berangkat menggunakan biro perjalanan haji PT Tiga Utama, pimpinan Ande Abdul Latief.
Perjalanan Haji Pak Harto menjadi berita besar, apalagi disertai Ibu Tien, yang oleh sebagian masyarakat masih termakan isue yang meragukan keislamannya. Pengumuman Pak Harto akan berangkat menunaikan ibadah haji, menjadi daya tarik peningkatan jumlah jamaah haji Indonesia yang luarbiasa.
Apalagi Haji Tahun 1991 di bulan Juni itu, diyakini sebagai Haji Akbar, karena wukuf jatuh di hari Jumat. Pada waktu itu belum ada ketentuan tentang quota haji. Sebanyak yang mau berangkat, Arab Saudi tak mempersoalkalnya.
Sejumah pejabat, Anggota DPR, tokoh masyarakat, artis dan pengusaha ramai ramai mendaftarkan diri untuk berhaji di tahun yang sama dengan Presiden Suharto. Waktu itu saya baru berusia 34 tahun, bekerja sebagai wartawan di Harian Media Indonesia.
Untuk tugas liputan perjalanan Haji Presiden Soeharto, koran MI sudah menugaskan wartawan Muchlis Hasyim dan Ahmad Satiri, wartawan MI yang bertugas di Kementerian Agama.
Muchlis Hasyim disamping wartawan juga adalah kerabat dari Ande Abdul Latief dari Tiga Utama. Karenanya dia sekaliigus ditugaskan sebagai kordinator wartawan yang akan meliput perjalanan haji Presiden Suharto. Ayahanda Muchlis Hasyim, Ustadz Ambo Mukhlis, adalah Perwakilan PT Tiga Utama di Makkah.
Seminggu sebelum jadwal keberangkatan keloter terakhir, saya menghadiri acara walimatus safar untuk melepas keberangkatan sahabat saya, tokoh PPP Muhammad Buang SH, yang juga adalah Wakil Ketua Komisi V DPR RI yang membidangi perhubungan. Beliau akan berangkat haji menjelang keloter terakhir.
Muhammad Buang bercerita tentang PT Garuda Indonesia yang akan menambah penerbangan ekstra karena jumlah jamaah membeludak. “Kalau kau mau ikut, bisa ku usakan tiketnya”, kata Buang.
Bak tersengat lebah, saya langsung menyambar tawaran itu. Saya pikir, urusan lain menyusul. Pendek cerita esoknya saya membawa surat Wakil Ketua Komisi V DPR menghadap Direktur Niaga PT Garuda Indonesia Pak Razali di Kebun Sirih.
Tidak banyak cincong, hanya dalam 30 menit saya sudah mendapatkan tiket Garuda Jakarta – Jeddah PP di penerbangan reguler. Pada masa itu Garuda Indonesia mengeluarkan tiket komersial berwarna merah berbentuk buku tipis/kupon. Sedangkan tiket saya berupa kertas putih lembaran, dikenal dengan nama “tiket putih” yang biasa dikeluarkan khusus untuk para pejabat.
Setelah tiket di tangan dan paspor yang memang sudah tersedia, saya segera menemui Pak Ande Abdul Latif di kantor PT Tiga Utama Gedung Sangga Buana depan Segitiga Senen. Dengan menyerahkan tiket dan paspor saya mohon kepada beliau agar dapat ikut serta berangkat beribadah haji Tiga Utama.
Masya Allah seperti dalam mimpi, Pak Ande Abdul Latief tidak banyak tanya. Beliau memandang saya agak tertegun. Kemudian langsung memberi keputusan; kau berangkat sebagai petugas haji.
Dia kemudian teriak ke stafnya agar paspor saya segera diproses untuk mendapatkan visa di Kedutaan Arab. Hari itu juga saya diperintahkan Pak Ande ke gudang PT Tiga Utama di Jl Proklamasi (seberang Megaria), untuk mendapatkan seluruh fasilitas jamaah Tiga Utama.
Koper besar koper kecil dan semua perlengkapan haji di musim panas. Hanya saja untuk tanda panitia harus dikordinasikan dulu dengan pihak keamanan. Karena Pak Harto berhaji bersama Tiga Utama. Ada sedikit screening terhadap semua petugas.
Boss saya di koran Media Indonesia terkejut saya minta izin berangkat haji. Adapun untuk perjalanan dinas sudah menugaskan dua wartawan, tidak ada tambahan. Maka saya berangkat melalui jalur istimewa, hanya dapat izin belaka.
Karena berangkat dadakan saya tidak mempunyai persiapan yang memadai. Banyak kawan yang heran prosesnya begitu cepat. Isteri dan anak anak saya kaget bukan kepalang. Antara iya atau tidak.
Kebetulan saya wartawan yang bertugas di lingkungan polhukam. Menko Polkam pada masa itu Laksamama Sudomo. Saya sudah kenal beliau sejak Wapangab/Pangkopkamtib.
Saya datang ke Pak Domo memberitahu bahwa saya akan berangkat haji dan absen 20 hari dari kegiatan liputan Polkam. “koq dak bilang jauh jauh hari…. Besok jam 6 pagi datang ke sini”.
Lepas subuh saya sudah di kantor Menko Polkam. Jam 6 pak Domo sudah tiba di kantor. Sambil jalan ke ruang kerjanya dia memberi nasehat bertugas yang bagus dan ibadah yang sungguh sungguh.
Bertemu Pak Domo lima menit itu membuat badan terasa melayang, ternyata amplop berisi dolar dari Pak Domo cukup untuk biaya hidup dua bulan di Saudi. Hampir melompat saya kegirangan.
Tiba tiba saya ingat ibunda saya di kampung. Saya memang sudah lama tak pulang ke Bangka, sementara waktu keberangkatan ke Makkah tinggal 3 hari lagi. Saya putuskan dari kantor Menko Polkam meluncur ke Ayumas Gunung Agung untuk mendapatkan rupiah dan riyal, dan selanjutnya go show ke Bandara Cengkareng terbang ke Pangkal Pinang untuk berpamit mohon restu bundaku.
Di Pangkal Pinang hanya satu hari. Begitu banyak titipan doa para kerabat yang minta dilafadzkan di depan Baitullah. Bahkan ada yang sudah ditulis di kertas doa yang hendak diucapkan. Maklum perjalanan haji adalah ibadah sakral bagi orang di kampung kami. Pada tahun 1991 itu bundaku dan seluruh saudaraku belum ada yang pergi berhaji.
Di hari keberangkatan, enam jam sebelum jadwal terbang saya sudah berada di Bandara Soekarno-Hatta. Tak sabar rasanya, ingin cepat sampai di Makkah. Kami ikut penerbangan reguler khusus untuk ONH Plus. Sedang rombongan jamaah biasa berangkat via Bandara Halim Perdanakusumah.
Di pesawat Boeing 747 Garuda itu, saya bertemu begitu banyak orang terkenal yang akan menunaikan ibadah haji. Ada menteri, dirjen, anggota DPR, artis, pengusaha dan lainnya.
Saya ingat ada Menparpostel Soesilo Sudarman, pengusaha Bob Hasan, Setiawan Djodi dan rombongannya yaitu Rhoma Irama, WS Rendra KH Zainudin MZ, KH Nur Muhammad Iskandar. Ada artis satu kampung dengan saya Rafika Duri juga.
Tiba di Jeddah, saya bergabung dengan Petugas Haji Tiga Utama dibawah kordinasi Direktur “D” BAIS Kolonel Hendro Priyono. Kami menginap semalam di Jeddah, baru mengambil miqat untuk umrah pertama dan selanjutnya berhaji tamatu’.
Sampai di Makkah saya terkejut bukan main. Hampir semua hotel hotel besar dipasang bendera Merah Putih dan lambang PT Tiga Utama. Ratusan bis Sapco Saudi yang mewah dibalut bendera RI dan Tiga Utama. Musim haji tahun 1991 agaknya Makkah-Madinah dikuasai Indonesia.
Kami mendapat jatah di Hotel Aziz Qohair. Posisinya persis di seberang jalan layang. Kini baik hotel maupun jalan layangnya sudah dibongkar. Posisinya sekitar belakang Tower Zamzam sekarang.
Puluhan wartawan, petugas TPHI juga diinapkan di hotel ini. Saya bertemu keluarga besar Bintang dari Ujung Pandang. Ada Zainal Bintan, Firman Bintang, Ilham Bintang, dan banyak sekali tokoh dari Sulawesi.
Sejumlah guru besar Unhas juga di sini. Saya jadi akrab dengan Prof. Halide. Sering bergandeng ke mesjid dengan beliau. Saya satu kamar dengan wartawan Republika Zaim Uchrowi, Masduki Badawi xan lainnya. Pokoknya sesak satu kamar 10 orang melantai.
Hari pertama umrah, selepas thawaf dan sya’i hampir seharian saya tidak keluar dari pelataran Baitullah. Puas saya menangis melepas rindu. Tahun tahun sebelumnya saya mengikuti teraweh Masjidil Haram melalui RCTI masih pakai decoder. Hari ini Ka’bah di depan mata.
Memandang Kemuliaan Baitullah. Melafadzkan begitu banyak rasa syukur. Allah SWT memberikan kemudahan yang luar biasa, diluar perhitungan normal. Hanya dalam waktu 6 hari sejak bertemu sahabat Muhammad Buang, proses perjalanan haji saya begitu lancar.
Tiba tiba saya ingat Pak Domo. Bergemuruh jiwa saya. Waktu itu Pak Domo belum kembali ke Islam. Di depan Baitullah itu saya bermunajat agar beliau mendapat hidayah. Dua tahun kemudian Pak Domo betul betul datang ke Baitullah. Subhanallah.
Sebagai petugas haji Tiga Utama saya membantu semua apa yang dapat dilakukan. Ikut membagikan kain ikhram bagi jamaah dari kamar ke kamar. Mengantar jamaah yang kesulitan mencari hotelnya. Saya juga selalu membawa semprot air untuk menyiram siapa saja yang kepanasan. Waktu itu cuaca sangat ekstrem. Suhu siang hari mencapai 50 drajat.
Tanggal 8 Dzulhijjah pagi pagi bersama petugas Tiga Utama Muchlis Hasyim dkk, kami sudah di Arafah, mempersiapkan kedatangan Presiden Suharto dan jamaah Tiga Utama. Ada ratusan tenda Tiga Utama. Berkibar bendera RI.
Khusus untuk Pak Harto disediakan tenda transit, tidak jauh dari tenda utama Khotbah Wukuf.Pada masa itu, kualitas AC belum sesempurna zaman sekarang. Untuk pendinginan masih tambahan menggunakan kipas angin raksasa dan bantuan semprot air.
Saya harus siaga sebagai petugas semprot air. Di hari wukuf Pak Harto dan rombongan tiba di tenda Tiga Utama sekitar pk 11.00. Beliau dan Ibu Tien beserta seluruh anak-mantu dan kerabat dekat. Tutut dan suaminya Indra Rukmana. Bambang dan isterinya Halimah. Tomi dan Mamik masih culun. Saya ingat Prabowo suami Titik, masih muda belia. Semua mengenakan pakaian ikhram.
Pak Harto didampingi sejumlah Jenderal a.l. PangabTry Sutirsno, Danseskoad Letjend Faisal Tandjung, Pangkostrad Mayjend Wismoyo Arismunandar. Ada tiga Gubernur yang terus bersama Pak Harto. Mereka adalah Gubernur Jawa Barat Yogie S Memet, Gubernur Sumut Raja Inal Siregar dan Gubernur Sumsel Ramly Hasan Basri.
Adapun Ajudan Presiden Kolonel Wiranto terus melekat di samping beliau. Begitu juga Ketua Tim TPHI Kolonel Hendro Priyono. Saya di tempatkan ditenda transit. Sekali sekali berdiri menyemprotkan air.
Kemudian jam 11.30 kami sudah di tenda utama. Saya bertugas di saf/barisan kedua, persis di belakang Menseneg Murdiono. Kemana-mana saya membawa “senjata” alat semprot penuh air bersih. Setelah semua jamaah berada di tenda utama, berulah Pak Harto masuk. Beliau hanya berdua Pak Ande Abdul Latief. Jamaah tertegun.
Pak Harto mengucapkan salam dan langsung masuk ke tenda utama. Sedangkan Ibu Tien Suharto berada di bagian belakang yang dikhususkan untuk jamaah wanita. Kamipun wukuf bersama Pak Harto dalam satu tenda. “Al-hajju, Arofah” (Haji itu Wukuf di Arafah).
Khotbah Wukuf disampaikan oleh KH Qosim Nurseha dan Sholat Jumat dipimpin KH Hikmatullah. Banyak yang menangis ketika KH Qosim Nurseha menyampaikan khotbah. Di mana mana terdengar isyak tangis.
Di tengah keheningan rangakaian ibadah wukuf itu, sekali sekali saya berdiri menyemprotkan air. Serrrr…..!
Sekitar jam 14.00 Pak Harto dan rombongan inti pindah ke Tenda Raja Saudi di atas Bukit Arafah. Mereka melanjutkan wukuf di tempat yang disediakan pemerintah Saudi. Sejumlah tentara baret merah Saudi Arabia, dengan senjata terhunus siaga mengawal Pak Harto.
Setelah Pak Harto pergi, ternyata ada satu jenderal tertinggal yaitu Gubernur Sumel Ramly Hasan Basri. Saya kenal secara pribadi dengan beliau ini. Kami sesama orang Sumsel. Karena itu saya menemaninya.
Beliau “sengaja” tertinggal, karena ingin bertemu isterinya yang berhaji ikut rombongan jamaah Sumsel. Zaman itu belum ada google map. Mencari alamat tenda sumsel seperti membaca “peta buta”. Hampir saya dan Pak Ramly tersesat.
Musim Haji tahun 1991 berbeda dengan keadaan sekarang. Rukun melempar jumrah penuh sesak tapi lancar. Ketiga jumrah (wusta, ula dan aqabah) masih berupa tugu/tiang. Tingginya sekitar 3 meter dan lebarnya tidak lebih satu meter.
Ketika lima tahun kemudian saya datang berhaji lagi, ketiga jumrah berubah berbentuk cawan. Batu batu bekas lemparan masuk ke bawah. Sekarang sejak 10 tahun terakhir ketiga-tiga jumrah sudah berubah total, diperlebar model tembok pilar. Lebih mudah melemparnya.
Saya punya pengalaman indah menikmati Masjidil Haram lama. Saya senang sekali sholat dari berbagai penjuru. Sambil berdoa agar dapat sholat dari seluruh arah belahan muka bumi. Sholat dari berbagai benua. Menghadap dari Timur, Barat, Utara Selatan delapan penjuru angin.
Di bagian pelataran Ka’bah masih ada kolam air zamzam. Kita bisa turun ke basement di bawah Ka’bah. Ratusan cangkir dirantai di sekitar keran air zamzam. Jamaah bisa berwudhu.
Pernah suatu kali saya ingin tahu darimana sumber air zamzam. Saya memutar semua area basement. Ternyata di lorong bawah tanah ada mesin penyedot dengan pipa dragon sebesar pohon pohon kelapa.
Ada petugas teknisi di ruangan balik kaca standby 24 jam. Zaman kini air zamzam sudah tersebar dalam gentong di seluruh penjuru Masjidil Haram dan Mesjid Nabawi. Subhanallah, Rindu Baitullah.Rindu ziarah ke Rosulullah….