SINGAPURA, bisniswisata.co.id: Ibarat air yang memancar dari mata air dan mengalir ke hilir menjadi sungai-sungai, Islam telah menyebar dari tanah Arab ke keempat penjuru bumi. Pada tahun 2015, terdapat 1,8 miliar umat Islam di dunia, yang tersebar di seluruh benua dan di banyak negara, dan diadopsi oleh orang-orang dari berbagai etnis dan budaya.
Dilansir dari muslim.sg, dari mereka yang tinggal di daerah Artik yang sedingin es di Norwegia hingga mereka yang tinggal di gurun kering dan gersang di Afrika, Islam telah dianut oleh orang-orang sebagai bagian dari diri mereka sendiri, mengamalkan perintah Allah s.w.t. dan jalan indah yang ditinggalkan Nabi s.a.w.
Namun, meskipun pesan inti dan prinsip-prinsip Islam tidak terpecahkan di sebagian besar masyarakat ini, cara mengamalkan Islam dalam kehidupan mereka berbeda satu sama lain karena perbedaan keadaan.
Misalnya, ada perbedaan antara umat Islam di Indonesia, negara yang beriklim tropis, yang agamanya dominan dan diwariskan secara turun-temurun, dengan umat Islam di Amerika, negara dengan empat musim, yang agamanya minoritas. .
Pertanyaannya, apakah perbedaan tersebut berarti salah satunya salah? Atau mungkin salah satunya adalah versi Islam yang lebih akurat?
Kenyataannya, Islam di tempat-tempat ini ibarat sungai yang bersumber dari mata air yang sama; rasa dan warnanya berubah tergantung dasar sungai dan jenis tanah, namun tidak meniadakan kemurnian dan kualitasnya.
Meskipun cara pengamalan Islam berbeda dalam aspek-aspek tertentu, namun tetap dalam batas-batas yang diperbolehkan agama. Mereka berbeda di permukaan karena lingkungan fisik dan sosialnya. Meski berbeda, mereka memiliki prinsip Islam yang sama.
Al-Qur’an mengatakan,
“ Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengetahui,” (Surah Al-Hujurat, 49:13)
Keberadaan budaya dan masyarakat yang berbeda diakui dan dianut dalam Islam dalam ayat ini. Laporan ini juga mencatat bahwa setiap suku—atau masyarakat—memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan satu sama lain, dan hal ini menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan ini sama sekali tidak dikutuk atau tidak disetujui, namun dihormati sebagai bagian dari ciptaan. Menanggapi Praktik Budaya
Islam tidak berusaha mengubah budaya masyarakat secara radikal. Melakukan hal ini berarti bertentangan dengan sifat holistik Islam yang dirasakan seluruh umat manusia.
Sebagaimana Nabi s.a.w. kabarnya mengatakan, setelah mengizinkan permainan drum dan nyanyian oleh orang Abyssinia di masjid,
Sesungguhnya aku diutus dengan agama yang lunak dan lurus (Musnad Imam Ahmad)
Hal yang ingin dilakukan Islam adalah melestarikan apa yang baik di masyarakat dan memberantas apa yang buruk, seperti yang terlihat pada masa Nabi s.a.w. Masyarakat di Mekkah pada saat itu menjalankan beberapa tradisi yang membawa dampak buruk bagi masyarakat, seperti perjudian, minuman keras, penguburan anak perempuan dan berbagi istri.
Meskipun praktik-praktik tersebut dilarang oleh Nabi s.a.w, ada kalanya Nabi tidak melarang praktik budaya yang dilakukan oleh masyarakatnya. Bahkan ada yang lebih tua dari masa kenabiannya.
Aisyah r.a. meriwayatkan: Rasulullah s.a.w. datang ke rumahku ketika ada dua gadis di sampingku menyanyikan lagu Bu’ath (lagu suku tentang pertempuran antara Aws dan Khazraj). Nabi berbaring dan memalingkan wajahnya ke sisi lain. Kemudian Abu Bakar r.a. datang dan berbicara kepadaku dengan kasar sambil berkata, “Alat-alat musik setan di dekat Nabi?” Nabi mengarahkan wajahnya ke arahnya dan dia berkata, “Biarkan saja mereka.” (Sahih Al-Bukhari)
Contoh lain yang juga diriwayatkan oleh Aisha r.a: Saat itu hari Idul Fitri dan orang-orang Abyssinia sedang bermain perisai dan tombak (pertunjukan budaya). Entah aku bertanya kepada Nabi atau beliau bertanya kepadaku apakah aku ingin menontonnya dan aku menjawab iya. Kemudian Nabi menyuruhku berdiri di belakangnya sementara pipiku menyentuh pipinya dan Nabi berkata, “Lanjutkan wahai suku Arfidah.” (Sahih Al-Bukhari)
Imam Al-Ghazali mengatakan dalam magnum opusnya, Ihya’ Ulumuddin “Semua hadis tersebut diriwayatkan dalam dua kitab shahih, Sahih Al-Bukhari dan Sahih Muslim, dan keduanya menunjukkan bahwa menyanyi dan bermain tidak haram.”
Imam Al-Ghazali kemudian melanjutkan dengan mengatakan bahwa kita dapat mengambil hikmah dari kedua riwayat tersebut. Dua hikmah yang ditarik oleh Imam Al-Ghazali a.l adalah diperbolehkannya melakukan perbuatan tersebut, niscaya itu adalah bagian dari budaya masyarakat Abyssinia untuk menari dan melakukan pertunjukan.
Kedua, Nabi SAW bersabda kepada para pelaku “Lanjutkan wahai suku Arfidah” sebagai permohonan agar mereka terus melakukan pertunjukan.
Melestarikan Identitas Budaya Kita
Hadits-hadits di atas menunjukkan bolehnya menjadi umat Islam dengan tetap menjaga jati diri budaya kita dengan mengamalkan tradisi budaya kita, seperti yang dilakukan kaum Abisinia di hadapan Rasulullah, dengan ungkapan beliau untuk melanjutkan aktivitasnya.
Keserbagunaan Islam memungkinkannya beradaptasi dalam iklim yang beragam tanpa meniadakan nilai-nilai inti dan prinsip –prinsipnya, sehingga memungkinkan Islam terwujud melalui beragam budaya di dunia, baik melalui pakaian, masakan, dan arsitektur.
Contoh bagus dari praktik ini adalah bagaimana Islam pertama kali diperkenalkan ke masyarakat adat Nusantara oleh Wali Songo – yang dikenal sebagai sembilan orang suci Allah s.w.t, yang bertanggung jawab atas penyebaran Islam di wilayah tersebut. Melalui adopsi budaya, tradisi, dan kesenian lokal, banyak yang tertarik dengan nilai-nilai dan keindahan yang dihadirkan Islam.
Gamelan, salah satu musik ansambel tradisional Indonrsia digunakan untuk mengajarkan prinsip-prinsip Islam dalam lagu-lagunya.
Wayang Golek, sebuah teater boneka tradisional, juga digunakan untuk berbagi cerita mengenai ajaran Islam kepada penduduk setempat. Mereka tidak pernah bermaksud mendidik prinsip-prinsip Islam dengan mengorbankan budaya seseorang atau memaksakan budaya Islam tertentu.
Contoh lainnya adalah di Amerika Selatan, dimana terdapat peningkatan jumlah Muslim Amerika Latin di Chiapas, Meksiko. Meskipun jumlah mereka kecil – sekitar 500 – mereka menemukan kekuatan dalam iman mereka dengan mempraktikkan apa yang diajarkan Islam. Melalui bimbingan para cendekiawan muslim, mereka mengadaptasi Islam dengan tetap berpegang pada identitas budayanya.
Salah satu cara yang terlihat adalah melalui pakaian mereka; para wanita mengenakan rok wol yang diikat dengan tali ikat pinggang, blus warna-warni, sweter kecil, dan hijab. Oleh karena itu, mereka tidak hanya diidentifikasi sebagai Muslim karena hijab yang mereka kenakan, namun mereka juga menunjukkan bahwa agama mereka tidak memisahkan mereka dari komunitas adat.
Mempertahankan prinsip-prinsip Islam
Sebagai umat Islam hendaknya kita senantiasa mengamalkan apa yang difirmankan dalam Al-Quran,
Tunjukkan pengampunan, ajaklah yang baik, dan jauhi kebodohan (Surah Al-A’raf, 7:199)
Meskipun Islam tidak menyangkal hak kita untuk menganut tradisi budaya kita, mungkin ada praktik yang bertentangan dengan perintah Islam. Sebagaimana terlihat pada masyarakat Arab sebelum kedatangan Nabi Muhammad s.a.w, praktik budaya tertentu harus ditinggalkan karena tidak membawa manfaat dan hanya merugikan masyarakat.
Hanya dengan cara itulah kita dapat memerintahkan apa yang baik dalam budaya kita dan ajaran Islam agar membawa manfaat bagi diri kita sendiri dan masyarakat kita.