LAPORAN PERJALANAN NASIONAL

Ke Palembang, Menelusuri Jalan Tol Sumatra

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Peresmian jalan tol Tra s Sumatra seksi Kayu Agung – Palembang pada 1 April 2020, maka dari Bakauheuni ke Palembang dapat ditempuh lewat jalan tol. Pembukaan jalan tol inilah yang menarik minat saya dan tim perusahaan untuk menjajalnya.

Dengan demikian perjalanan dari Jakarta ke Palembang melalui jalan tol, kalau lancar akan dapat ditempuh dalam waktu sekitar 8 jam saja. Kiranya setelah pasca Pandemi Covid-19, banyak warga akan berbondong-bondong ke Palembang melalui jalan tol, berwisata sejarah melihat berbagai peninggalan heritage berabad-abad lalu.

Pada medio Maret 2020, tepat sebelum pandemi COVID-19, saya berkunjung ke Palembang, menelusuri Jalan Tol Trans Sumatera. Pada 12 Maret 2020, mendarat di terminal feri Bakauheni, kami mulai menjajal seksi Bakauheni – Terbanggi Besar sejauh 140,9 Km. yang ditempuh hanya dalam waktu sekitar 1,5 jam saja.

Karena ingin bermalam dikota Bandar Lampung, sempat melihat Monumen Krakatau, kami mampir dan barulah pada esok harinya 13 Maret 2020 pagi, meninggalkan Bandar Lampung melanjutkan perjalanan menuju Palembang, kembali masuk 

 

Jalan tol Lampung- Palembang dari udara. ( Foto: Lampung TV)

Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS),

Seksi Terbanggi Besar – Pematang Panggang – Kayu Agung (Terpeka) sejauh 185 Km. Jalur ini adalah seksi terpanjang dan kami meluncur  dengan menempuh wakru selama 2 jam dan tiba di Kayu Agung.

Sayangnya jalan tol seksi Kayu Agung – Palembang berjarak 33 Km saja dan pada saat itu belum dibuka untuk umum. Terpaksa kami harus melalui jalan lama, keruan saja terjadi kemacetan lalu lintas.

Konstruksi pile slab

Menjelang tiba di Kayu Agung, Ir. Agus Budiarto, teman seperjalanan semobil bercerita banyak dan dengan bangga mengatakan bahwa PT Pakubumi Semesta, perusahaan yang kami kembangkan bersama  turut mengerjakan pondasi jalan tol yang dilewati.

Makanya saya diajak untuk menjajal khusus melewati jalan tersebut. Memang melaju di atas jalan tol di seksi itu sama sekali tidak merasa dan melihat, bahwa di kawasan itu adalah tanah rawa, sehingga konstruksi jalan tol khusus pada seksi itu dibangun bagai jalan layang.

Menggunakan konstruksi pile slab beton, dengan pondasi tiang pancang untuk menopang struktur lantai jalan tol beton bertulang. Menjadikan jalan tol di kawasan itu bagaikan jalan tol layang, mengapung di atas tanah rawa yang dikenal sebagai lahan gambut.

Diterangkan pada awal tahun 2018, selama hampir selama setahun, dimulai pada Februari 2018 sampai Januari 2019,  perusahaan dapat tugas kerja keras untuk melaksanakan pemancangan tiang pondasi di areal lahan gambut.

Tiang pancang spun pile atau tiang pancang beton bulat berdiameter 60 Cm. dengan kedalaman beragam antara  28 m. – 45 m  ditanam sejumlah 28.000 m, sebagai pondasi konsruksi pile slab. Menghasilkan jalur jalan tol yang baru kami lalui dengan nyaman. Sistem ini tidak mengganggu ekosistem lingkungan setempat, air rawa dapat tetap mengalir di bawah rongga-rongga antar pile slab jalan tol.

Melanjutkan perjalanan Seksi Kayu Agung – Palembang, karena saat itu belum dibuka terpaksa melalui jalur jalan lama, mengalami bermacet-macetan lalu-lintas padat.

Akhirnya pukul 14.00 kami memasuki Kota Palembang, masih sempat makan siang melahap pempek, makanan terkenal khas Palembang.

Kota Palembang

Menyusuri Sungai Musi melongok proyek di Ogan Komering Hulu

Palembang sebuah kota lama tercatat dibangun pada tahun 683 sebagai sebuah kota tertua di Indonesia, dari zaman kekuasaan Kerajaan Maritim Sriwijaya, Kesultanan Palembang, Penjajahan Kolonial Belanda, Pendudukan Militer Jepang hingga melewati masa Indonesia Merdeka.

Tidak heran kota itu sarat dengan bangunan bersejarah, monumen dan bangunan-bangunan iconic, dihuni warga multietnis dan multikultur dengan damai.

Salah satu tujuan kunjungan ke Palembang adalah rencana peninjauan proyek di Ogan Komering Ilir, dengan berlayar dengan speedboat menyusuri Sungai Musi selama sekitar  dua  jam baru dan baru akan dilakukan besok pagi.

Untuk memanfaatkan waktu senggang petang hari itu, saya dan rombongan mencharter sebuah bentor atau beca motor dan dengan kendaraan itu melakukan city tour keliling pusat kota Palembang, melongok bangunan-bangunan bersejarah,  sebagian hanya melihat dari halaman luar saja.

Kantor Walikota Palembang, misalnya, Gedung kantor Walikota Palembang ini unik dibanding kantor walikota lainnya, karena berada di bawah sebuah menara air, dahulu dikenal sebagai ‘kantor ledeng’, karena merupakan sebuah reservoir air ledeng atau air bersih untuk kebutuhan penduduk Palembang.

Tercatat menara air itu dibangun pada 1929 – 1930, saat penjajahan koloni Belanda, diperintah Walikota Ir. R.C.A.F.J. Le Colq d’Armandville, menugaskan kepada Ir.S. Shuijf untuk membangun menara air setinggi 250 Meter. Di bawah reservoir itu ada ruang kantor, Pada masa pendudukan Jepang, bangunan itu dijadikan Syuco-kan atau kantor Residen. 

Kemudian sejak tahun 1963 sampai sekarang menjadi Kantor Walikota Palembang yang unik dan indah, lebih-lebih pada petang hari diberi lampu sinar menambah indah.

Jembatan Ampera

Seperti diketahui bahwa di tengah kota Palembang mengalir Sungai Musi, membuat Palembang terbagi dua ada daerah Seberang Ilir pada sisi Utara dan Seberang Ulu pada sisi Selatan. 

Pada tahun 1962 – 1965, dibangun sebuah jembatan besar melintang diatas Sungai Musi, menghubungi kedua sisi Ilir dan Ulu, kemudian dikenal sebagai Jembatan Ampera yang panjangnya 1.177 m, lebar 22 m, lantai jembatan berada pada 11,5 m, di atas muka air Sungai Musi. 

Dibagian tengah jembatan terdapat dua menara setinggi 63m, dahulu berfungsi untuk mengangkat lantai jembatan bagian tengah, supaya memungkinkan kapal besar dapat belayar melewati bawah jembatan.

Sayang sejak tahun 1990 lantai jembatan itu tidak lagi dapat diangkat naik. Meski kini Palembang sudah ada jembatan kedua melintang di atas Sungai Musi, namun Jembatan Ampera merupakan landmark kota Palembang, tampak demikian indah menjadi suatu ikon dan kebanggaan warga Palembang khususnya dan seluruh warga Indonesia umumnya. Juga jadi objek foto instagram menakjubkan.

Bangunan lainnya yang kami lewati adalah Masjid Agung Palembang yang dibangun pada 1738 – 1748. Sejak tahun 2019 berubah nama menjadi Masjid Agung Sultan Muhamad Badaruddin I Jayo Nikramo

Masjid itu mengalami banyak kali renovasi dan perluasan, tampak unik perpaduan arsitektur Indonesia, Tiongkok dan Belanda. Dengan atap bersusun gaya nusantara dan pada puncak terdapat mahkota berupa bunga mekar, serta ornamen tanduk kambing gaya Indonesia. 

Sedangkan jurai atap yang melengkung dan tambahan menara masjid bersegi enam gayamenara kelenteng dari Tiongkok, ditambah pintu utama dan jendela yang berukuran besar bergaya Eropa.

Awalnya masjid berukuran 30 X 36 m2 dapat menampung 1.200 jema’ah, karena belum ada menara masjid, maka dibangun menara besegi enam setinggi 20 m. Kemudian pada tahun 1971, disponsori Pertamina dibangun menara masjid kedua setinggi 45 m. 

Dengan banyak kali diadakan kerja renovasi dan perluasan, melengkapi berbagai sarana perpustakaan maka hingga sekarang Masjid dapat menampung sekitar 1.500 jema’ah.

Benteng Kuto Besak

Peninggalan warisan berupa sebuah benteng besar dibangun selama 17 tahun pada tahun 1780 – 1787, berupa tembok batu sepanjang 288.75 m, tinggi 9.15 m, tebal 2.1 m, dilengkapi bastion pada keempat sudut. 

Dahulu benteng ini adalah tembok keliling keraton Kesultanan Palembang, areal seluas 274,32 m X 182,38 m2 menghadap ke Sungai Musi, pastinya dari Keraton itu dapat memandangi panorama indah dan luas Sungai Musi dan Seberang Ulu.

Benteng Kuto Besak ini sampai sekarang masih bediri kokoh, kompleks bekas keraton yang luas itu sekarang digunakan sebagai sebuh taman hiburan bagi warga Palembang

Benteng Kuro Besak dan Masjid Agung Palembang

Monpera

Masih di kawasan pusat kota, di sekitaran Jalan Merdeka ada sebuah monumen Monpera, singkatan dari Monumen Perjuangan

Rakyat. Berarsitektur unik berupa bangunan bersegi lima setinggi 17 m. Melambangkan sebuah bunga melati mekar dengan lima kelopak, dikenal bahwa bunga melati adalah puspa bangsa, melambangkan kesucian dan kemurnian.

Monumen itu dibangun atas kehendak masyarakat Palembang, untuk memperingati Perjuangan Rakyat Sumatera, yang bertekad suci dan murni mempertahankan kemerdekaan, yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan gigih melawan serdadu kolonial Belanda pada tahun 1945.

Upacara perletakan batu pertama dilakukan pada 17 Agustus 1975, selesai pada tahun 1988. Sekarang Monpera itu menjadi Museum Perjuangan Rakyat Sumatera, mengumpulkan seluruh benda peninggalan perang lawan serdadu kolonial Belanda.

Koleksi itu diperagakan dan dilukiskan dengan gambar, relief dan foto betapa, dahulu rakyat melawan dengan persenjataan minim dan seadanya, namun penuh semangat juang laksana “banteng ketaton”.

Karena waktu terbatas hanya sempat mengunjungi beberapa situs sejarah, sedangkan di Palembang masih banyak bertebaran situs heritage dari masa ke masa.

Setiap kali saya melihat Jembatan Ampera demikian mempesona, teringat saat  baru selesai  kuliah dari ITB pada awal tahun 1961, pernah ditawari untuk bertugas di Palembang, untuk turut mempersiapkan pembangunan proyek itu.

Saya lebih memilih berkarya di Jakarta.Kalau saja menerima tawaran itu, tentunya dengan banyak melahap pempek Palembang, nasib hidup dan karir bisa sangat berlainan. Tak srmpat melamun masa lalu, kami sampai di muka restoran untuk menikmati makanan khas Palembang, mpek-mpek kapal selam tentunya.

 

B Kusuma