NASIONAL

Disayangkan Masih Ada yang Skeptis Terhadap Pariwisata Indonesia

BANDUNG, bisniswisata.co.id: Tenaga Ahli Menteri Bidang Pemasaran dan Kerjasama Pariwisata, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Prof. I Gde Pitana menyayangkan masih ada sikap skeptis terhadap pariwisata Indonesia. Mereka beranggapan tidak ada gunanya promosi pariwisata secara besar-besaran karena destinasi wisata Indonesia belum siap menerima wisatawan mancanegara (Wisman).

“Saya heran dengan sikap skeptis seperti ini. Padahal kemajuan pariwisata Indonesia sangat luar biasa, seluruh daerah berlomba-lomba majukan pariwisatanya karena tahu dampak positifnya terhadap kesejahteraan masyarakat, peningkatan pendapatan daerah hingga mengurangi pengangguran,” papar Pitana saat keynote speech seminar Road to ITO (Indonesia Tourism Outlook) 2019 bertema “Diregulasi di Era Cyber Tourism”, di Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung, Rabu (10/10/2018).

Dijelaskan, tahun 1920 orang Amerika Serikat pertama kali yang mengunjungi Bali. Apakah saat itu Bali siap menerima kunjungan turis asing, ternyata tidak karena mayoritas warga Bali belum bisa berbahasa Inggris. Meski demikian kehadiran tamu asing datang tetap direspon oleh masyarakat Bali dan melakukan pembenahan agar lebih bagus menerima orang asing.

Tahun 1950, lanjut dia, giliran wisatawan Eropa mengunjungi Bali. Masyarakat Bali pun belum siap menerima karena tidak ada hotel di Bali saat itu. “Cuma ada rumah kecil milik Orang Perancis yang dipakai untuk menginap. Jadi Bali saat itu belum siap, toilet pun tak ada. Meski demikian masyarakat lokal tetap merespon dan berusaha memberikan pelayanan terbaik,” lontarnya.

Dilanjutkan, tahun 1970 hipes Australia datang ke Bali karena tertarik dengan ombak Pantai Bali yang dianggap bagus. Turis Australia pun main surfing. “Apakah Bali siap dengan wisata surfing, tidak namun masyarakat merespon dan mempelajari surfing serta kebutuhan apa yang diminta wisatawan,” jelasnya.

Kemudian tahun 1980, wisatawan Jepang datang ke Pulau dewata. Di Bali tidak ada restoran Jepang hingga toilet kering tidak tersedia. Saat itu Bali tidak siap menerima turis Jepang, namun kehadiran orang Jepang tetap direson dan dipelajari apa saja keinginannya.

“tahun 1990, orang Taiwan datang Bali tak ada orang Bali yang bisa bahasa mandarin. Juga tahun 2000, turis China menyerbu Bali. Siapkah orang Bali ternyata tidak ada yang berbahasa China. Jadi intinya pariwisata tidak harus siap dulu baru menerima wisatawan. Namun merespon kedatangan asing sudah bagus sambil mempelajari apa yang diinginkan serta membenahi destinasi,” paparnya.

Guru Besar Universitas Udayana Bali memprediksi prospek pariwisata Indonesia tahun 2019 sangat cerah bahkan bagus, mengingat travel propensity di negara-negara sumber Wisman sangat prospektif, sebagaimana pula angka proyeksi pertumbuhan wisatawan dunia menurut UNWTO tumbuh positif.

10 tahun lalu, UNWTO pariwisata pasti mengalami kemajuan di tahun 50 kenaikan mencapai 20 juta namun di tahun 2020 mencapai 1,6 miliar. Di mana pertumbuhan selalu naik dan mencapai 3,2 persen dan pertumbuhan di 2017 yakni 6,2 persen. Dan sejak tahun 2015, pertumbuhan di negara berkembang termasuk Indonesia mengungguli negara maju termasuk Eropa sekaligus, pertumbuhan wisman ke negara berkembang dua kali lebih cepat dibandingkan negara maju.

Perilaku negara pesaing di wilayah Asean akan menciptakan persaingan makin keras dalam merebut pasar pariwisata jadi tantangan terbesar bagi Indonesia. “Saya sangat yakin dengan angka proyeksi UNWTO memprediksi pertumbuhan pariwisata dunia pada 2010-2030 berkisar 3,3% setiap tahun, kenyataannya belakangan ini tumbuh di atas 6% atau double digit. Untuk kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia mendapatkan sebagian besar kunjungan wisman dunia,” katanya.

Dilanjutkan, prospek cerah pariwisata 2019 yang diperlihatkan dengan travel propensity di masing-masing negara sumber pasar utama pariwisata Indonesia itu karena dipengaruhi situasi makro dan mikro terkait dengan pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara serta intermediary di antaranya terkait dengan harga.

Dicontohkan pasar India dengan jumlah penduduk 1,3 miliar, memiliki outbound (orang berwisata ke luar negeri) sebanyak 13,2 juta. China dengan total penduduk 1,5 miliar angka outbound-nya sebesar 117 juta. Kedua negara ini masing-masing mempunyai pertumbuhan ekonomi tahun lalu sebesar 6,8% dan 6,7%.

“Negara anggota ASEAN yang diapit India dan China merupakan pasar pariwisata terbesar ini diperebutkan negara di ASEAN, termasuk Indonesia. Ini menjadi tantangan terbesar bagaimana memperebutkan pasar tersebut,” kata I Gde Pitana, seraya mengatakan persaingan sangat ketat terutama dalam merebut wisatawan milinial dengan strategi promosi digital yang bergerak cepat.

Lima Kondisi Menjadi Perhatian

Pitana juga memberikan frame work yang bisa dijadikan untuk meneropong pariwisata pada tahun 2019, dengan melihat bagaimana source di sumber-sumber wisman, transitory dan destination. “Bagaimana source masing-masing pasar, termasuk travel propensity dikaitkan pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara,” jelasnya,

Juga kesiapan destinasi pariwisata di dalam negeri. “Ini menjadi PR bagi media yang tergabung dalam Forwapar untuk menggali data termasuk dari nara sumber pembicara asing yang akan dihadirkan dalam seminar internasional ITO 2019 tersebut,” kata Pitana.

Menurutnya, ada lima hal harus jadi perhatian untuk merespon pariwisata 2019 yakni; kondisi pasar khususnya pasar utama (pertumbuhan ekonomi); kesiapan destinasi, kondisi sosial-ekonomi-politik Indonesia serta isu dan persepsi tentang t terorisme dan perilaku negara pesaing. “Dari lima hal yang menjadi perhatian tersebut, yang menjadi tantangan besar adalah perilaku negara pesaing,” .

Pitana menggambarkan banyak negara berusaha menjadikan Indonesia sebagai pasar utama mereka seperti Selandia Baru yang memberikan insentive bagi pelaku bisnis pariwisata di sana bila berhasil menarik wisman dari negeri kita. Juga Jepang menjadikan wisata halal untuk merebut pasar di sini,sedang Vietnam membuat ‘Bali Baru’ sebagai destinasi unggulan mereka dalam upaya memenangkan persaingan di kawasaan pasar ASEAN khususnya dengan Indonesia.

Bagaimana Indonesia ke depannya, Pitana melihat dari kesiapan destinasi. Tahun 2019, ada pilpres dan pileg dan diprediksi berlangsung aman mengingat dari masa ke masa, pemilihan presiden berjalan aman dan terkendali.

Selain kondisi sosial politik di Indonesia, sambung dia, ada isu terorisme. Padahal terorisme bukan hanya di Indonesia melainkan terjadi pula di Perancis, Amerika, Jerman, dan banyak di negara lainnya.

Juga dari sisi bencana alam menguncang Lombok, Palu dan Dongala. “Bencana alam adalah hal yang biasa di mana saja, Jepang misal kerap di landa gempa. Karena itu jangan dibuat berlebihan,” sarannya.

Menurut, melihat kondisi itu maka kondisi pasar pariwisata di Indonesia semakin bertambah bagus, Indonesia sudah siap dan dianggap negara paling aman. “Destinasi tidak selamanya harus siap dahulu namun benahi secara perlahan untuk siap menerima wisatawan,” kata Pitana

Seminar sehari yang diprakasi Forum Wartawan Pariwisata (Forwapar) dihadiri sekitar 150 peserta menghadirkan nara sumber dari kalangan industri pariwisata, pemerintah, dan akademisi yang tampil dalam dua sesi pembahasan. Sesi pertama menampilkan Dewi Kanyiasari, Kadisbudpar Kota Bandung dan Sekretaris Deputi Bidang Pemasaran Pariwisata I Kemenpar Edy Wardoyo dimoderatori Guntur Sakti, Kepala Biro Komunikasi Publik Kemenpar. (END)

Endy Poerwanto