GARUT, bisniswisata.co.id: Klaim Malaysia terhadap batik Indonesia tahun 2008, malah memberi berkah tersendiri terhadap perajin batik dalam negeri, tak terkecuali di Garut, Jawa Barat. Berkah itu membuat nama Batik Garut atau kerap disebut batik garutan juga ikut terkenal bahkan naik daun.
Sebenarnya Batik Garutan di tanah tatar Sunda sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. “Saya sendiri merupakan generasi ke tujuh dari ambu atau ibu – dalam bahasa Sunda, ” ujar Ani Royani (50), perajin batik tulis Garutan Pudini.
Perajin batik Garutan yang nama brand-nya merupakan gabungan dari nama suami istri Pudin dan Ani tersebut, mampu bertahan hingga kini dengan kualitas batik kelas premium sejak dulu.
Rumah yang disulap sebagai gerai batik Garutan di Jalan Ciledug, Gang Gunung Kasur, Kota Kulon, Garut Kota itu, tak pernah sepi dari pecinta batik tulis kota dodol tersebut. “Kadang jika lagi momen tertentu, kami malah tidak bisa memenuhi banyaknya permintaan,” ujar Ani seperti dilansir laman Liputan6, Jumat (02/08/2019).
Dalam proses pembuatan batik tulis Garutan ada sekitar delapan tahap yang harus dilalui perajin yakni pemotongan bahan baku, ngateli, penganjian, ngemplong, ngarengreng, ngabiron, ngawarnaan, dan ngarorod.
Setelah naik daun dan melestarikan agar tidak punah, sayangnya batik garutan harus menghadapi ancaman serius. Ancaman itu dengan banyakan batik printing atau batik cap yang semakin menjamur yang harganya lebih murah, namun dari sisi kualitasnya ya batik garutan lebih unggul.
Ancaman lainnya dalam pengembangan batik tulis Garut adalah minimnya regenarasi. “Anak saya saja tiga orang tidak ada yang mau melanjutkan usaha batik ini, dan anak-anak muda di kampung juga enggan membatik,” lontar Ani dengan nada prihatin.
Memang membatik itu membutuhkan ketelitian, kesabaran, ketenangan dan kerapian, salah satu batu sandungan yang dihadapi perajin batik muda adalah lamanya proses pembuatan satu lembar motif batik tulis Garut. “Karena memang kami ingin mempertahankan kualitas sebagai budaya bangsa, sekaligus melestarikan agar tak punah,” sambung Ani.
Tak mengherankan dengan kondisi itu, banyak gerenasi muda lebih memilih bekerja di pabrik atau toko, daripada mengembangkan potensi membatik Garut, yang sudah mendarah daging di masyarakat.
Saat ini, jumlah perajin batik tulis Garutan hanya menyisakan beberapa orang, jauh dari masa keemasan batik tulis Garut periode 1967 hingga 1985 yang mencapai 126 unit usaha. “Pegawai saya saja hanya tingga enam orang, awalnya 12 orang,” kata dia.
Ia berharap dengan kondisi itu, meminta pemerintah daerah Garut turun tangan dengan memasukkan mata pelajaran muatan lokal membatik dalam kurikulum belajar siswa di sekolah. “Akan kami upayakan agar pemda mau turun tangan,” ujar dia.
Sebagai barang warisan dunia, Ani rela berbagi tips proses pencucian kain batik tulis Garut, untuk mempertahankan warna di kain. “Cukup pakai shampoo, kucek sedikit selesai,” ujar dia.
Selain itu, upayakan setiap kain batik yang telah digunakan untuk tidak direndam menggunakan deterjen atau sabun. “Cara menjemur pun tidak perlu langsung di bawah sinar matahari, cukup di tempat terbuka yang teduh,” kata dia.
Dengan perlakuan itu, warna kain tetap cemerlang tanpa mengalami luntur sedikit pun. “Biasanya kain batik Garut, semakin lama semakin mahal harganya,” dia menandaskan.
Sejarah Batik Garutan
Menurut Ani, sejarah batik Garutan telah dimulai sejak masa penjajahan Belanda. Saat itu, beberapa kalangan ningrat dan tokoh masyarakat sekitar mulai mengenalkan penggunaan baju dengan motif batik tulis Garutan. “Saat itu, motif yang dibuat masih sangat sederhana dengan pewarnaan pun masih menggunakan pewarna alami,” papar dia.
Berdasarkan cerita dari sang ibu, Kenah, batik Garutan Pudini sudah ada sejak 1930-silam. Meskipun nama merk batik terbilang baru, tetapi praktik pembuatan batik Garutan Pudini, tercatat lebih dari delapan dekade yang lalu. “Nah, saat itu (1930-an) sebenarnya Ibu Mamah (neneknya Kenah) menyatakan, jika ia pun merupakan penerus dari perajin sebelumnya,” papar dia.
Waktu berlalu, hingga akhirnya Kenah yang diwarisi keterampilan dari Mamah, terus berinovasi menghasilkan motif batik tulis Garutan yang lebih bervariasi. “Kebetulan Ma Kanah bisa melukis juga jadi lebih beragam, awalnya hanya beberapa, sekarang sudah lebih dari 100 motif,” kata dia.
Sebagian besar motif yang digunakan berlatar keindahan alam sekitar Garut, termasuk motif tumbuhan dan hewan yang ada di dalamnya. “Kecuali anjing, babi, itu jangan dipakai,” kata dia mengingatkan sesuai dengan petuah sang ibu.
Larangan penggunaan motif hewan yang dilarang tadi, ujar dia, dikhawatirkan memberikan petunjuk bagi masyarakat yang tidak paham terhadap hewan najis tersebut. “Tapi tentu kita pun terus berinovasi agar batik Garutan tidak menoton,” kata dia.
Dalam catatannya, ada beberapa motif legendaris batik Garutan yang masih eksis hingga kini. “Ada kurung ayam, merak, bulu ayam, bangau, lereng, mojang priangan, keraton, kopi pecah, tiga dara, kukupu (kupu-kupu), kendi,” kata dia. Namun dari jumlah itu, hanya lima batik Garutan yang akan dibahas.
#. Motif Kurung Ayam
Di antara deretan motif lawas batik Garut, motif ini dianggap paling sulit yang pernah dibuat perajin. “Saat ini, di Garut hanya tinggal satu perajin yakni Mak Ipah (88) yang tersisa dan lihai membuat motif itu,” kata dia.
Salah satu kesulitan motif ini terletak pada perpaduan getet atau garis-garis, sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama. “Kalau gambaranya terbilang biasa, tapi getetnya itu,” ujar dia.
Berdasarkan cerita turun-temurun, motif ini menggambarkan kondisi masyarakat Sunda terutama Garut, tempo dulu, yang selalu berdampingan dengan salah satu hewan unggas itu. “Makanya di dalam kain itu ada gambar ayam, kurung, wadah makanan, lisung (tempat menumpuk beras), termasuk beras buat makanan ayam,” ujar dia.
Tak mengherankan, saat ini hanya perajin Pudini yang masih memiliki motif kain batik Garutan itu, dengan harga yang mencapai Rp1,8 juta per helai kain berukuran 2,7 meter dengan lebar 110 sentimeter. “Ini koleksi lama, sudah berusia puluhan tahun,” kata dia sambil menunjukkan kain batik motif itu dengan bangga.
Dengan tingkat kesulitan tersebut, batik motif ini jarang digunakan sebagai pakaian resmi, tetapi lebih kepada benda berharga warisan sejarah zaman dulu. “Sayang kalau dipakai sehari-hari, orang tua dulu menjadikan batik sebagai aset,” ujar dia.
#. Motif Bulu Ayam
Motif kedua batik lawas Garutan yakni bulu hayam atau ayam. Motif ini terinspirasi dari keadaan lingkungan sekitar para perajin berada. “Dulu masyarakat memanggilnya motif sapu jagat, tapi belakangan menjadi bulu ayam,” kata dia.
Dalam motif kedua, perajin menyajikan perpaduan warna dan motif yang cukup ciamik, sehingga sehelai batik tulis Garutan yang dihasilkan tampak berwibawa saat digunakan. Kondisi alam Garut yang dikenal sejuk sejak lama, memberikan ruang tersendiri bagi perajin untuk berinovasi, menghasilkan motif yang berkualitas. “Kebetulan ayam sejak dulu memang menjadi hewan paling dekat dengan masyarakat,” kata dia.
Selain motif ayam, untuk memperindah batik tulis yang dihasilkan, para perajin, ujar dia, tak lupa menambahkan motif geometris diagonal, kemudian Bungan dengan warga yang cerah untuk memperindah kain. Saat ini, kain batik tulis motif ayam dengan kain primasima, harganya terbilang tinggi. “Kami jual kain ini dikisaran angka Rp 1,2 juta,” ujar dia.
Sedangkan, soal pengerjaan kain, rata-rata perajin bisa menghabiskan waktu antara 2-3 bulan untuk satu kain, tergantung tingkat kesulitan dari motif yang dibuat.
#. Motif Merak Ngibing
Motif Batik tulis Garutan lawas berikutnya yakni, merak ngibing atau burung merak yang tengah menari. Kondisi ini menggambarkan keceriaan yang ditampilkan sepasang burung merak, saat tengah memadu asmara. “Merak itu kan sejak dulu menggambarkan keindahan, motif merak yang ditampikan memberikan kesan ceria dan kegembiraan bagi pemakaianya,” kata dia.
Rata-rata warna yang ditampilkan dalam motif Batik Merak Ngibing yakni hijau, biru, kuning hingga cokelat. “Soal warna tentu kita mengikuti warna asli burung merak,” kata dia. Dengan keindahan warna yang ditampilkan, plus lukisan besar mengenai burung merak yang terlihat ciamik. Harga per lembar kain batik tulis Garut motif merak dipatok Rp1,4 juta. “Sekarang banyak yang mengincar motif ini, sebab warnnya cukup cerah,” kata dia.
Selain motif merak, beberapa hewan lain yang mulai digunakan di kain batik tulis Garutan yakni unggas, serangga, binatang berkaki empat. “Asal jangan haram saja seperti anjing, babi, haram kata orang tua mah,” kata dia dengan logat Sunda-nya.
#. Motif Kipas
Motif batik tulis Garutan yang mulai dipengaruhi budaya Tionghoa, terlihat pada motif kipas. Sejak munculnya budaya kain batik di masyarakat, akulturasi budaya Tionghoa mulai merasuki kebudayaan masyarakat Garut saat itu. “Wajar saja sebab sejak lama warga bangsa China sudah ada di Indonesia,” kata dia.
Pada motif kipas, beberapa warna kebesaran bangsa Tiongkok seperti oranye, mampu menghidupkan motif kain yang dirancang perajin. “Saat itu juga berdasarkan keterangan orang tua, justru lebih banyak warga China yang mengoleksi batik tulis asli Garut,” kata dia.
Dengan masuknya budaya mereka pada kain batik tulis Garut, masyarakat Tiongkok yang telah lama bermukim di Garut, memiliki kebanggaan tersendiri untuk mengoleksi kain batik tulis Garut motif ini. “Rata-rata orang China zaman dulu memiliki kain batik motif kipas ini,” ujar dia.
Saat ini, kain batik tulis motif kipas, ujar dia, dijual dengan harga Rp1,2 juta per lembar. “Meskipun terlihat sederhana, namun banyak makna yang terkandung di dalamnya,” kata dia.
#. Motif Adu Manis
Salah satu motif kain batik tulis Garutan yang cukup memiliki corak warga paling beragam adalah ‘Adu Manis’. Sesuai namanya, motif ini mampu menggabungkan empat motif sekaligus dalam satu lembar kain batik tulis yang dibuat. “Ada lereng, limar, hingga motif bunga,” kata dia.
Awalnya motif itu, menjadi salah satu motif kebanggaan pecinta batik, tetapi seiring berjalannya waktu, khususnya kalangan generasi muda, motif itu mulai ditinggalkan. “Katanya terlalu ramai,” ujar dia.
Akhirnya, untuk menghilangkan kekhawatiran itu, saat ini rata-rata perajin hanya memunculkan dua motif pada kain batik tulis adu manis. “Paling lereng atau limar,” ujar dia.
Bahkan, untuk membedakan batik tulis garutan dan wilayah lainnya, para perajin mulai memasukan motif papangkah dengan latar hewan atau tumbuhan. “Intinya agar tidak mudah dijiplak pihak lain,” kata dia.
Saat ini, harga satu lembar kain batik tulis motif adu manis dijual dengan harga Rp1,2 juta per lembar. “Motif ini memberikan kesan lebih padu dan elegan bagi pengguna,” kata dia. (NDY)