FASHION

Tenun Sumba Timur Melenggang di Milan Fashion Week 2019

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Kain tenun Sumba Timur melenggang apik pada acara Milan Fashion Week Spring/Summer 2019. Kain warisan leluhur masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) ini, ditampilkan desainer berbakat Adinda Moeda. Tenun asal NTT ternyata banyak dilirik khalayak ramai karena memiliki beragam corak, bahan, dan ukuran.

Event tahunan Fashion show ini, digunakan sebagai ajang untuk mengangkat potensi kain NTT di kancah Internasional. Adinda Moeda ingin meningkatkan potensi kain warisan leluhur. Adinda menampilkan tenun Sumba Timur yang dikemas dengan bentuk ready to wear untuk Milan Fashion Week Spring/Summer 2019 pada Jumat, (21/9/2018), di Principe di savoia, Piazza Della Repubblica, Milan, Italia.

“Kali ini saya membawakan tenun Sumba Timur, yang saya kemas dalam bentuk ready to wear. Tujuan saya mengemas rancangan lebih sederhana dengan mempertimbangkan biaya produksi dan harga dari kain itu sendiri karena untuk masuk ke pasar kita harus bisa membandingan dengan pesaing – pesaing kita,” papar Adinda dalam keterangan resmi yang diterima Bisniswisata.co.id, Kamis (4/10/2018).

Koleksi Adinda kali ini semakin menarik dengan menampilkan aneka motif tenun yang tidak terlalu ramai. Permainan warna yang digunakan pun bervariasi seperti kuning, jingga, merah, khaki, dan hitam. “Desain yang saya buat kali ini dengan look jumpsuit dan dua pieces produk yang dapat dijual terpisah,” tambahnya.

Harga produk yang dipamerkan Adinda di Milan Fashion Week Spring/Summer 2019 ini berkisar antara Rp500.000 sampai Rp2 juta. Model pakaiannya bisa dikenakan oleh para perempuan berusia 16 sampai 45 tahun.

Adinda mengatakan keikutsertaannya dalam ajang peragaan busana internasional sekelas Milan Fashion Week merupakan salah satu impian sebagai seorang desainer.

Pada ajang ini Adinda mendapatkan banyak pengalaman sekaligus pelajaran berharga tentang dunia mode. “Masuk ke Milan Fashion Week tidak hanya (karena faktor memiliki uang untuk] cukup mampu membayar, banyak juga hal yang mahal (yang bisa dipelajari) seperti persiapan yang harus matang dan konsep yang harus dapat di terima oleh penyelenggara,” tandasnya.

Sebelum tampil di Milan Fashion Week Spring/Summer 2019, Adinda Moeda memperkenalkan koleksi rancangan terbarunya pada show pertama di Indonesia Fashion Week 2018 bertajuk “Artistic Identity”. Memang rancangannya, bukan hanya unik, desain baju yang dipamerkan terlihat begitu cantik dengan ragam warna dan corak etnik yang begitu khas.

Kain tenun Sumba sendiri merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang memiliki nilai seni dan budaya begitu tinggi. Proses pembuatannya yang panjang dan melibatkan banyak elemen menjadikan harga kain tenun Sumba ini sering disebut-sebut mahal. Selembar kain tenun Sumba bisa dijual dengan harga jutaan bahkan puluhan juta, tergantung kesulitan corak dan pilihan warna yang digunakan untuk membuat tenun tersebut.

Salah satu alasan mengapa kain tenun Sumba Timur ini dijual dengan harga cukup tinggi? karena dalam pembuatannya, para pengrajin menggunakan bahan-bahan alami terbaik yang diambil langsung dari alam. Seperti misalnya dalam proses pewarnaan, pengrajin pun menggunakan bahan alami. Biasanya warna merah didapatkan dari akar mengkudu, biru dari nila (warna bitru dari daun tarum), cokelat dari lumpur atau kuning dari kayu.

Namun biasanya masing-masing pengrajin memiliki resep rahasia yang saling berbeda, dan mereka pun saling merahasiakannya. Inilah yang membuat kain tenun Sumba begitu kaya, meski dibuat dalam satu lingkungan yang sama.

Pemilihan bahan alami bukan tanpa alasan. Jika bagi masyarakat umumkain tenun Sumba hanya dilihat sebagai sebuah kain yang cantik untuk dikenakan, maka berbeda dengan warga Sumba itu sendiri. Mereka menjadikan kain tenun sebagai kain penutup, pembungkus bahkan pengawet mayat atau jenazah.

Tak banyak yang tahu jika untuk membuat satu helai kain tenun Sumba, pengrajin butuh waktu setidaknya enam bulan bahkan lebih. Tergantung dari bentuk corak yang akan dibuat. Dalam proses pembuatannya, pengrajin harus melewati 42 langkah termasuk membuat pewarna secara alami dan mewarnainya secara manual.

Sosok wanita-wanita tangguh di baliknya pun menyimpan perjuangan yang tak mudah untuk terus melestarikan peninggalan budaya dari masa sebelumnya. Sebut saja salah satunya Agustina Kahi Atanau atau lebih sering dikenal dengan nama Mama Dan. Dia adalah salah satu tokoh wanita pelestari tenun ikat Sumba dengan pewarna alami di Desa Lambanapu, Sumba Timur, NTT.

Setiap kain tenun Sumba memiliki makna yang berbeda di balik tiap coraknya. Misalnya, corak kuda dapat menggambarkan kepahlawanan, keagungan, dan kebangsawanan karena kuda adalah simbol harga diri bagi masyarakat Sumba.

Atau ada juga motif buaya atau naga yang mencerminkan kekuatan dan kekuasaan raja. Motif ayam menggambarkan tentang kehidupan wanita. Sedangkan motif burung yang biasanya menggunakan burung kakak tua melambangkan persatuan. Beberapa motif kuno bahkan juga menggunakan mahang atau singa, rusa, udang, kura-kura, dan hewan lain dengan corak yang khas.

Juga ada motif Ular Naga yang merupakan corak asli masyarakat China. Dikenal melalui guci-guci yang masuk ke wilayah Sumba. Corak ular naga merupakan bukti pada masa lampau telah ada interaksi dagang dengan masyarakat Tiongkok yang membawa keramik porselin berupa piring, guci, mangkok dan lain-lain untuk ditukarkan dengan kayu cendana.

Bahkan ada Corak Gajah. Memang Gajah tidak terdapat di Sumba dan dijadikan Corak. dalam Kain Tenun Ikat menunjukkan bukti bahwa pada masa lampau telah ada interaksi dagang dengan dunia luar yang mengekspor gading ke Sumba. Sampai sekarang raja-raja atau bangsawan tertentu di Sumba Timur memiliki gading batangan dan gelang gading masih merupakan bagian dari isi “mbola ngandi” (wadah terbuat dari daun siwalan yang berisi kain, sarung, gelang gading, muti salak atau manik-manik, pisau) yang harus dibawa oleh penganting perempuan dari rumah orang tuanya. Ungkapan sastra adat Sumba tentang Gajah tidak ditemukan.

Selain itu, Corak Singa atau Mahang. Corak ini merupakan pengaruh gaya Renaissance di Eropa dari masa Raja Hendry III pada pertengahan abad XVI, masuk ke Indonesia melalui kebudayaan Hindu. Ungkapan tentang Singa dalam bahasa sastra adat Sumba, tidak ditemukan, hal ini membuktikan di Sumba Timur, Sumba umumnya tidak terdapat Singa. Dijadikan corak dalam tenun ikat Sumba Timur, menunjukkan bahwa sekak dahulu masyarakat sumba telah mengenal hubungan dengan dunia luar. (redaksibisniswisata@gmail.com)

Endy Poerwanto